Konten dari Pengguna

Pseudo Pemilu

Miftah Rinaldi Harahap
Pegiat komunitas New Native Literasi, Gerilyawan Partai Hijau Indonesia, Instagram:@rinaldiharahap2023
14 Oktober 2023 18:41 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Miftah Rinaldi Harahap tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pemilu. Foto: Dok Kemenkeu
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pemilu. Foto: Dok Kemenkeu
ADVERTISEMENT
Pemilu di Indonesia memang sangat menarik untuk diamati sekaligus dicemooh karena mempunyai warna dan ciri khas tersendiri. Di Indonesia pemilu adalah perayaan untuk sebuah janji yang diulang berulang kali. Inilah festival janji-janji terbesar yang pernah ada dalam lembar sejarah peradaban manusia.
ADVERTISEMENT
Dalam perayaan pemilu janji dilontarkan oleh makhluk yang bernama politikus kepada rakyat yang selalu berstatus sebagai korban dalam setiap perayaan pemilu. Janji yang diucapkan politikus selalu muncul dalam berbagai nuansa.
Ada yang membakar semangat, mendayu-dayu, dan yang paling unik adalah janji yang diucapkan dalam nuansa ketuhanan. Maksudnya para politikus menggunakan firman-firman Tuhan untuk melegitimasi janji-janjinya.
Janji adalah tanda dari sebuah pengharapan kepada hal-hal yang belum terwujud. Ibarat mantra sakti, janji membuat seseorang mempertaruhkan kepercayaannya untuk orang lain, sembari mengikhlaskan dirinya untuk menunggu realisasi dari janji-janji tersebut.
Namun, ketika janji-janji tidak kunjung terealisasi yang tertinggal hanyalah perasaan untuk mengikhlaskan, sembari larut dalam kebingungan dan diakhiri dengan mengutuk diri sendiri. Itulah potret suasana kebatinan rakyat setiap perayaan pemilu, selalu berstatus sebagai korban.
ADVERTISEMENT
Meskipun rakyat selalu berstatus menjadi korban, tidak lantas membuat rakyat kehilangan pengharapan kepada para politikus. Buktinya dalam setiap perayaan pemilu selalu masih ada saja rakyat yang datang ke tempat pemungutan suara untuk memberikan suaranya.
Tentu ini adalah fenomena yang menarik sekaligus memprihatinkan karena di satu sisi menarik mengamati uniknya relasi antara rakyat dengan para politikus. Di sisi lain khawatir karena bisa jadi, ini adalah puncak ketidakpercayaan rakyat kepada politikus .

Relasi yang Terbangun Berdasarkan Nuansa

Ilustrasi Partai Peserta Pemilu Foto: Fitra Andrianto/kumparan
Relasi antara politikus dan rakyat terbangun dan dibangun berdasarkan nuansa. Nuansa yang diciptakan oleh media mainstream dan sosial media membuat rakyat selalu ditipu secara halus oleh para politikus.
Citra yang dibangun oleh para politikus selalu membius rakyat sebegitu rupa sampai-sampai terkadang rakyat hanya menilai para politikus berdasarkan penampilan yang sering dicitrakan di pelbagai media. Politikus seakan membuat media sebagai panggung dagelan yang menempatkan rakyat sebagai korban yang siap dibolak-balikkan perasaannya.
ADVERTISEMENT
Seperti aktor dan aktris para politikus mulai memainkan peran yang sebelumnya telah diskenariokan oleh partai. Tentu skenario yang dibuat oleh partai telah mempertimbangkan dua faktor penting untuk menunjang terciptanya nuansa yang diinginkan. Dua faktor penting itu adalah budaya like and dislike dan mental feodal yang masih bercokol di kalangan rakyat.
Dalam dunia media massa dan sosial media, ada suatu budaya baru yang berkembang di kalangan rakyat yaitu budaya like and dislike. Budaya like and dislike membuat rakyat terbiasa menilai argumentasi seseorang tidak berlandaskan pada apa yang disampaikan tetapi lebih kepada siapa yang menyampaikan.
Bukan lagi mencari apa yang benar tetapi mencari siapa yang benar. Kemudian budaya tersebut diperparah dengan mental feodal yang masih bercokol di dalam benak rakyat. Mental feodal membuat rakyat mudah percaya dengan orang lain, apalagi orang tersebut adalah orang terkenal, berpangkat, dan mempunyai reputasi.
ADVERTISEMENT
Dua faktor yang merugikan rakyat ini seakan dirawat oleh para politikus agar setiap skenario yang mereka rencanakan bisa dengan mulus dipentaskan. Politikus seakan menikmati jika rakyat selalu berada dalam posisi korban dalam setiap perayaan pemilu.
Seperti efek domino nuansa yang sesuai dengan skenario akan memudahkan para politikus untuk menyusun janji-janji yang akan disemburkan lagi kepada rakyat. Seakan para politikus ingin menegaskan bahwa perayaan pemilu hanya untuk para bangsawan yang sekarang berwujud politikus. Sementara rakyat hanya sebagai sekumpulan makhluk yang dianggap sebagai alat untuk mencapai kekuasaan.

Puncak Ketidakpercayaan Rakyat

Relasi yang dibangun berdasarkan nuansa adalah relasi yang semu, persis seperti dua orang yang baru berkenalan di sosial media yang hanya mencoba untuk saling mengenal dari melihat foto profil dan percakapan singkat.
ADVERTISEMENT
Begitulah relasi antara politikus dan rakyat, politikus selalu merasa mengenal rakyat hanya karena pernah bertemu rakyat pada saat momentum pemilu. Berkenalan, lalu tersenyum penuh maksud terselubung sembari melambaikan tangan kepada rakyat.
Itu membuat para politikus bertingkah seolah-olah pahlawan yang bertugas untuk membawa pesan-pesan pembebasan, padahal yang terjadi malah sebaliknya. Para politikus tidak pernah bertindak sebagai pahlawan yang membawa pesan-pesan pembebasan tetapi selalu membawa kekecewaan.
Perilaku politikus yang paling banyak membuat rakyat mengalami defisit kepercayaan adalah praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) yang banyak dilakukan oleh para politikus.
Ilustrasi. Foto: Shutter Stock
Bayangkan saja, berapa banyak uang negara yang dirampok oleh para politikus. Semua hal di Indonesia tidak ada yang tidak dikorupsi oleh para politikus mulai dari kitab suci sampai dana bansos untuk rakyat mereka korupsi.
ADVERTISEMENT
Bisa dikatakan setiap rakyat menghidupkan televisi atau melihat timeline sosial media selalu saja ada politikus yang terlibat melakukan pencurian uang rakyat. Betapa menyakitkan menjadi rakyat yang melihat para politikus yang setiap pemilu mengembuskan janji-janji.
"Saya dan partai saya tidak akan korupsi," tiba-tiba setelah diberi mandat oleh rakyat berubah menjadi pencuri uang rakyat dan mondar-mandir dipanggil oleh KPK (komisi pemberantasan korupsi ).
Oleh sebab itu, ketika perayaan pemilu dilaksanakan rakyat tidak benar-benar menganggap itu sebagai sesuatu hal yang penting atau yang sering dijadikan lip service oleh para politikus di layar televisi bahwa rakyat telah lama menunggu pemilu karena sangat ingin memilih pemangku kebijakan yang peduli dengan nasib mereka.
Padahal yang terjadi sebaliknya rakyat hanya menganggap perayaan pemilu seperti kentut, maksudnya pemilu hanya sebuah perayaan yang harus segera berlalu agar mereka lega dan tidak terus-menerus dianggap bodoh oleh para politikus.
ADVERTISEMENT
Ini yang kemudian membuat rakyat sering melontarkan ungkapan: “Bapak berani memberi saya uang berapa agar saya mau memilih bapak?" Ungkapan ini sejatinya bukanlah bentuk ketidakpahaman rakyat. Tetapi sebaliknya, ungkapan ini adalah bukti di mana rakyat sudah tidak percaya lagi kepada para politikus yang datang menemui mereka.