Konten dari Pengguna

Radikalisasi Warga: Jalan Pembaruan Indonesia

Miftah Rinaldi Harahap
Pegiat komunitas New Native Literasi, Gerilyawan Partai Hijau Indonesia, Instagram:@rinaldiharahap2023
10 Juni 2024 15:07 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Miftah Rinaldi Harahap tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Alam semesta sedang mencari pola begitupula dengan dunia. Alam semesta berubah dari masa ke masa seiring dengan kerusakan yang dilakukan oleh sebagian besar umat manusia. Pada saat yang bersamaan alam semesta mengantarkan manusia kepada dua pilihan yaitu apakah kalian akan melanjutkan kerusakan – kerusakan tersebut ? Ataukah kalian akan menghentikan segala macam kerusakan yang kalian lakukan lalu kalian saling bahu – membahu membangun tatanan kehidupan yang baru ?
ADVERTISEMENT
Sialnya, sebagian besar manusia memilih untuk melanjutkan kerusakan. Kemudian, alam semesta pun menunjukkan kepada manusia akibat dari pilihan yang mereka putuskan. Deret – deretan peristiwa pun terjadi secara berkala dan tidak jarang saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Pada tahun 2020 dunia dikejutkan sebuah virus bernama COVID- 19.
Virus ini kemudian melumpuhkan seluruh dunia, korban – korban bergelimpangan bahkan perekonomian pelbagai di dunia lumpuh. Ketika dunia belum sepenuhnya pulih dari pandemi, invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022 mengakibatkan harga – harga energi melonjak dan menyebabkan inflasi. Rantai pasokan yang sempat kacau dikarenakan pandemi mengalami kekacauan.
Bahkan Eropa menghentikan sebagian besar hubungan perdagangan dengan Rusia yang merupakan negara pemasok energi terpenting.Memang inflasi di beberapa negara maju mulai terkendali pada saat itu tetapi belum bisa dikatakan stabil, para gubernur bank central ragu dan enggan mengambil keputusan secara gegabah. Disisi lain beberapa ahli menyampaikan situasi yang tidak cukup mengenakkan. Sebab mereka menyampaikan bahwa perekonomian dunia belum mencapai titik nadir yang sebenarnya.
ADVERTISEMENT
Perekonomian akan mencapai titik nadir pada tahun 2024. Seperti yang disampaikan oleh Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan OECD memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi pada tahun 2024 menyentuh angka 2,7% . Angka ini lebih kecil dari para pertumbuhan ekonomi pada tahun 2023 lalu yang menyentuh 2,9%. Berbeda dengan perkiraan sebelumnya, Dana Moneter Internasional menyebutkan pertumbuhan ekonomi akan menyentuh angka 2,9 %. Sedangkan, Bank Central Ekonomi melontarkan perkiraan yang sangat optimis yaitu menyentuh angka 3 %.
Krisis Ekonomi karena Covid-19 https://www.shutterstock.com/id/create/editor
Disisi lain kondisi perekonomian dunia juga dipengaruhi oleh beberapa hal lain yaitu transisi energi ramah lingkungan dipelbagai sektor untuk meredam perubahan iklim dan perkembangan teknologi kecerdasan buatan yang menjadi perbincangan utama dalam dunia bisnis. Tetapi lagi – lagi pelbagai macam tantangan global tersebut hanya bisa dihadapi jika sebuah negara mempunyai stabilitas politik yang solid. Lantas, apakah Indonesia memenuhi prasyarat tersebut agar mampu menghadapinya?
ADVERTISEMENT
Jika melihat proses sebelum, saat, setelah pemilu 2024 berlangsung, stabilitas politik terus mengalami dinamika. Sebelum memasuki momentum pemilu 2024, ada pelbagai macam peristiwa yang terjadi diantaranya adalah Revisi Undang – undang KPK, Perampasan ruang hidup warga, Tragedi Kanjuruhan, Kasus Korupsi Ditjen Pajak, Kasus Pembunuhan Brigadir J , Skandal Konsorsium 303, dan pelbagai peristiwa lain yang mengikutinya.
Saat memasuki momentum pemilu Presiden Joko Widodo melakukan “cawe- cawe” politik yang kemudian mengantarkan pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Seperti yang sudah kita ketahui bahwa “cawe – cawe” politik ini merupakan rancangan yang tersusun secara terstruktur, sistematis, masif dengan memanfaatkan segala macam perangkat – perangkat kekuasaan untuk melanggengkan dinasti politik Joko Widodo.”Cawe – cawe” politik yang dilakukan oleh Joko Widodo membuat demokrasi Indonesia mengalami dekadensi.
Artikel SBY soal cawe-cawe Jokowi. Foto: Dok. Istimewa
Dekadensi demokrasi terlihat jelas ketika film “Dirty Vote” rilis ke publik dan memberikan gambaran secara jelas dan terperinci tentang bagaimana rancangan “cawe – cawe” politik tersebut dijalankan oleh Joko Widodo. Setelah pemilu 2024 berlangsung dekadensi demokrasi juga semakin diperparah dengan upaya untuk menghapus ingatan bangsa Indonesia terhadap peristiwa pelanggaran HAM 1997/1998. Upaya untuk menghapus ingatan ini terlihat pemberian pangkat istimewa oleh Presiden Joko Widodo kepada Prabowo Subianto.
ADVERTISEMENT
Pemberian pangkat istimewa ini sama saja dengan mencoba untuk menghapus ingatan tentang status Prabowo Subianto sebagai terduga pelaku pelanggaran HAM 1997/1998. Belum cukup dengan peristiwa itu, dekadensi demokrasi juga ditandai dengan rencana TNI AD untuk menambah jumlah komando daerah militer (kodam). Rencana ini mendapat kritik tajam dari Kontras ( Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan ) , Wakil Ketua Wakil Koordinator Bidang Eksternal Kontras, Andi Muhammad Rezaldy, menilai rencana ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI. Melalui revisi UU TNI saat itu, sesungguhnya ada dorongan untuk menghapus konsep komando teritorial (koter) dari tubuh TNI.
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto didampingi Panglima TNI Agus Subiyanto dan Kapolri Listyo Sigit Prabowo meninjau kendaraan alutsista dan pasukan di halaman GOR Ahmad Yani, Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Rabu (28/2/2024). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Hal ini sejalan dengan amanat reformasi yang mendesak dihapuskannya dwifungsi militer di sektor sipil. Teranyar upaya untuk memberangus kebebasan sipil juga dilakukan melalui RUU Penyiaran. Belum selesai sampai disitu penderitaan juga ditambah dengan UU Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang memungkinkan negara memotong gaji setiap warga negara. Pelbagai macam peristiwa yang telah dijelaskan sebelumnya seperti menegaskan bahwa stabilitas politik Indonesia akan terus bergejolak. Bahkan akan membuat wacana tentang proses radikalisasi warga menemukan momentumnya.
ADVERTISEMENT
Radikalisasi Warga
Radikalisasi warga adalah manifestasi dari kemuakan warga terhadap pelbagai macam tindakan pemerintah yang terus – menerus menghina dan merugikan warga. Pelbagai macam aksi massa yang terselenggara di pelbagai wilayah di seluruh Indonesia adalah proses dari radikalisasi warga. Proses radikalisasi warga ini akan mencapai puncaknya ketika aksi massa tersebut berubah menjadi amuk massa. Tentu, proses perubahan ini akan semakin cepat berlangsung ketika pemerintah terus menerus melakukan pelbagai macam tindakan yang menghina dan merugikan warga.Ketika amuk massa menjadi trend politik di pelbagai wilayah di Indonesia maka perlahan – lahan legitimasi pemerintah akan menghilang.
Ilustrasi aksi radikal. Sumber: Pixabay.
Jika menelisik sejarah Indonesia radikalisasi warga di negara ini selalu ditandai dengan sebuah peristiwa besar dan dipengaruhi oleh dua hal yaitu kegagalan pemerintah untuk merespon situasi politik global dan kegagalan pemerintah dalam menjaga stabilitas politik nasional. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa proses radikalisasi warga di Indonesia selalu ditandai dengan sebuah peristiwa besar. Melalui hal itu warga mendapatkan pendidikan politik berupa gambaran secara utuh tentang realitas sosial, politik, ekonomi yang sedang terjadi di Indonesia. Melalui hal ini pula kesadaran politik warga tumbuh. Biasanya setiap peristiwa besar yang terjadi di Indonesia tidak lepas dari situasi politik global. Maksudnya pelbagai macam dinamika politik global secara langsung maupun tidak langsung turut mempengaruhi pelbagai macam dinamika politik yang terjadi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pada masa orde lama proses radikalisasi warga ditandai dengan jatuhnya Bung Karno. Jatuhnya Bung Karno tidak bisa dilepaskan dari dinamika perang dingin yang terjadi pada saat itu. Perang dingin merupakan pertarungan antara dua negara besar yaitu Amerika Serikat dengan Blok Barat-nya dan Uni Soviet dengan Blok Timur-nya. Pertarungan pengaruh antara dua negara besar ini turut mempengaruhi bahkan pada titik tertentu ikut campur dalam urusan internal politik negara – negara berkembang termasuk Indonesia.
Saat itu pelbagai macam gejolak terjadi di Indonesia. Di bidang ekonomi terjadi hiperinflasi, saat itu inflasi indonesia mencapai 600%. Di bidang sosial – politik terjadi gerakan penolakan terhadap Partai Komunis Indonesia dan Soekarno. Keadaan ini yang kemudian membuat legitimasi kekuasaan Soekarno semakin melemah. Melemahnya legitimasi kekuasaan Soekarno membuat kelompok terpelajar yang saat itu didukung penuh dengan kekuatan militer berhasil menjatuhkan rezim Soekarno.
ADVERTISEMENT
Setelah rezim orde lama jatuh Indonesia masuk ke rezim orde baru. Masa ini adalah masa Soeharto yang menguasai tampuk kekuasaan. Sama dengan masa orde lama, proses radikalisasi warga juga ditandai dengan jatuhnya Soeharto dari tampuk kekuasaannya setelah 32 tahun berkuasa. Kejatuhan rezim Soeharto adalah manifestasi dari krisis ekonomi yang kemudian bermetamorfosis menjadi krisis politik. Eep Saefulloh Fatah (1997) menyampaikan bahwa ada beberapa argumentasi yang mencoba untuk menjelaskan kaitan antara kedua fenomena ini diantaranya :
ADVERTISEMENT
Lantas, bagaimana dengan masa demokrasi seperti sekarang? Pada masa ini kekuasaan berjalan secara brutal, tindakan – tindakan seperti yang sudah disebutkan pada awal tulisan ini terus berlangsung. Disisi lain dinamika politik global terus mendorong setiap warga untuk segera memberikan keputusan atas dekadensi demokrasi yang sedang terjadi. Sejatinya warga sudah memberikan keputusan dengan menggelar aksi massa di pelbagai wilayah di Indonesia. Aksi massa adalah manifestasi dari kemuakan warga atas pelbagai macam peristiwa yang sedang berlangsung.
Tentu, proses ini hanya tahap awal dan akan mencapai puncaknya ketika aksi massa menjelma menjadi amuk massa yang merupakan manifestasi dari kemarahan warga. Dari pelbagai macam penjelasan sebelumnya jelas terlihat bahwa ada kesamaan pola dari proses terjadinya radikalisasi warga pada masa orde lama , baru , dan demokrasi yaitu adanya resistensi warga yang berhadapan dengan situasi sosio-ekonomi-politik, sikap aparatur negara , dan kebijakan – kebijakan pemerintah. Sepintas hal ini memang suatu keharusan yang akan terjadi sebagai respon dari sikap pemerintah tetap bertindak secara semena – mena.
ADVERTISEMENT
Tetapi disisi lain kita perlu memberikan evaluasi agar radikalisasi warga yang sedang – akan berlangsung bisa efektif untuk mengantarkan bangsa ini menuju pembaruan. Evaluasi tersebut adalah radikalisasi warga tidak boleh hanya berhenti pada level “ kemarahan warga” seperti pada masa orde lama dan orde baru tetapi harus berlanjut pada level “politisasi warga”. Pada level “politisasi warga” proses perlawanan warga akan lebih terkonsep , memiliki target dan mempunyai ideologi gerakan. Secara garis besar level ini ingin menegaskan proses degelitimasi kekuasaan tidak boleh berhenti pada tataran simbolik tetapi harus beranjak ke tataran konkret dan formal – prosedural.
Namun, untuk mencapai tahap ini memang harus melewati fase “kemarahan warga “ dan melahirkan pelbagai macam contoh potret sosial. Misalnya, dari pelbagai macam contoh yang mungkin terjadi, ada satu contoh yang seharusnya bisa terjadi jika melihat realitas sosial –politik saat ini yaitu adanya pejabat pemerintah dari level nasional atau daerah yang terkena amuk massa. Tentu, jika contoh potret sosial ini bisa terealisasi maka akan memberikan pendidikan politik yang berharga untuk bangsa ini . Sebab, seperti yang sudah dijelaskan pada awal tulisan ini bahwa bangsa ini mendapatkan pendidikan politik dari peristiwa demi peristiwa yang sudah- sedang berlangsung.
ADVERTISEMENT