Kemampuan Literasi Adalah Hal Penting untuk Eksis di Dunia yang Dinamis

Rinaldi Syahputra Rambe
Pustakawan Perpustakaan Bank Indonesia Sibolga. Anak desa yang suka membaca, menulis, dan berkebun.
Konten dari Pengguna
15 Maret 2023 12:32 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rinaldi Syahputra Rambe tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Perpustakaan Bank Indonesia Sibolga. Foto: Bank Indonesia Sibolga
zoom-in-whitePerbesar
Perpustakaan Bank Indonesia Sibolga. Foto: Bank Indonesia Sibolga
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bila membahas topik tentang literasi banyak orang yang terjebak dalam pemahaman yang terbatas. Literasi diartikan sebagai kemampuan membaca dan menulis. Literasi sejatinya bukan hanya persoalan tentang kemampuan membaca atau melek huruf. Tetapi lebih kompleks pada kemampuan orang untuk membaca, menulis, dan memahaminya secara utuh untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Literasi berperan penting dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis seseorang. Kemampuan sumber daya manusia untuk bersaing pada abad 21 bergantung pada kemampuan berpikir kritis dan kreatif serta kemampuan komunikasi dan kolaborasi. Oleh karena itu perlu menyamakan persepsi tentang literasi itu sendiri.
Dalam skala makro, kemampuan literasi berpengaruh terhadap daya saing suatu bangsa. Kemampuan literasi akan berbanding lurus dengan produktivitas suatu bangsa. Banyak riset yang menyebutkan bahwa literasi salah satu faktor kunci yang harus dimiliki setiap orang untuk mendapatkan kehidupan yang layak.
Misalnya, hasil penelitian yang dilakukan oleh The National Institute for Literacy USA, menyebutkan 43 % orang dewasa dengan tingkat literasi rendah hidup dalam kemiskinan dan 70 % dari penerima bantuan sosial berasal dari orang dewasa yang memiliki tingkat literasi yang rendah. Artinya, terdapat korelasi yang jelas antara kemampuan literasi yang lebih tinggi dan pendapatan yang lebih tinggi.
ADVERTISEMENT
Riset lain yang dilakukan oleh Hadzimustafa S. & Rakipi R. (2017), masa depan negara yang berkelanjutan secara keseluruhan dapat dipastikan jika warga negara memiliki pengetahuan kunci dan literasi fungsional yang menentukan daya saing global, kohesi sosial, dan lingkungan yang sehat. Lebih jauh, mereka berpendapat bahwa keberlanjutan literasi harus terus digalakkan. Promosi pembelajaran sepanjang hayat adalah sesuatu yang perlu ditanamkan di benak orang, terutama di dunia yang dinamis tempat mereka hidup saat ini.

Catatan Literasi Kita

Ilustrasi membaca di toko buku. Foto: Shutterstock
Pada tahun 2019, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud) merilis Indeks Aktivitas Literasi Membaca (Alibaca). Dalam penilaian Adibaca, Kemendikbud mengadopsi konsep Miller dan McKenna (2016) dalam buku World literacy: How countries rank and why it matters, mengenai faktor-faktor yang memengaruhi aktivitas literasi, yaitu: (1) Proficiency (kecakapan) merupakan syarat awal agar seseorang dapat mengakses bahan literasi; (2) Access (akses) ialah sumber daya pendukung di mana masyarakat mendapatkan bahan literasi, seperti perpustakaan, toko buku, dan media massa; (3) Alternatives (alternatif) yaitu beragam pilihan perangkat teknologi informasi dan hiburan untuk mengakses bahan literasi; dan (4) Culture (budaya) ialah kebiasaan yang turut membentuk habitus literasi.
ADVERTISEMENT
Dari hasil analisis yang dilakukan Indeks Dimensi Kecakapan sebesar 75,92; Indeks Dimensi Akses sebesar 23,09; Indeks Dimensi Alternatif sebesar 40,49; dan Indeks Dimensi Budaya sebesar 28,50. Secara keseluruhan, Indeks ini menunjukkan hanya sembilan provinsi yang masuk dalam kategori sedang, 24 provinsi berkategori rendah, dan satu provinsi termasuk sangat rendah. Rata-rata indeks Alibaca nasional berada di titik 37,32%. Belum ada satu pun wilayah yang memiliki kemampuan literasi tinggi. Terlihat bahwa literasi kita masih sangat rendah.
Dari empat dimensi yang di ukur, terlihat yang paling menonjol adalah dimensi kecakapan. Perlu dicatat bahwa dimensi kecakapan terdiri dari dua indikator penilaian, yaitu melek huruf latin dan rata-rata lama sekolah.
Terlihat bahwa angka melek huruf kita sudah tinggi, sayangnya ini hanya menggambarkan kemampuan untuk membaca teks, bukan kemampuan literasi. Indikator kedua rata-rata lama sekolah, juga sudah cukup tinggi. Hal ini terjadi karena adanya kewajiban wajib belajar yang ditentukan oleh pemerintah. Sayangnya, lagi-lagi kualitas pendidikan kita belum merata. Masih timpang di sana sini, lama sekolah tidak menjamin literasi seseorang akan baik.
ADVERTISEMENT
Sekali lagi, literasi buka hanya persoalan membaca. Bila literasi diukur hanya sebatas kemampuan membaca teks maka literasi kita sudah tinggi. Data dari Bank Dunia (2022) menunjukkan kemampuan membaca teks dan kalimat di Indonesia telah mencapai 96 persen, di atas rata-rata global yang 86,3 persen. Hal senada juga terlihat dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (BPS, 2020), angka melek aksara di Indonesia 98 persen.
Sangat timpang bila dibandingkan dengan tiga dimensi lain. Indeks dimensi akses sangat rendah. Hal ini terjadi akibat dari kurangnya fasilitas pendukung seperti perpustakaan dan SDM pengelolanya. Indeks dimensi alternatif juga masih tergolong rendah. Hal ini terjadi karena kurangnya akses yang merata di setiap provinsi. Salah satunya akses internet. Data BPS tahun 2021 menyebutkan terdapat 5.098 desa/kelurahan yang belum mendapat sinyal ponsel. Pada akhirnya keterbatasan yang ada akan berpengaruh terhadap kebiasaan dalam berliterasi. Terbukti dimensi budaya literasi juga masih sangat rendah.
ADVERTISEMENT
Perlu dilihat lebih jauh, dari hasil studi Programme for International Student Assesment (PISA) 2018, tingkat literasi siswa Indonesia masih rendah, di bawah rata-rata negara yang tergabung dalam Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Komponen yang dinilai meliputi kemampuan membaca, matematika dan sains.
Grafik skor PISA Indonesia 2000-2018. Sumber: katadata.co.id
Test PISA pertama kali dilakukan pada tahun 2000. Indonesia menjadi salah satu peserta sejak awal. Itu artinya, telah dua dekade negara kita mengalami penghakiman literasi rendah di dunia internasional. Tidak ada yang salah dengan keikutsertaan Indonesia dalam PISA. Namun, dengan rentang waktu yang begitu lama kenapa peringkat literasi kita masih rendah?. Bertengger 10 terbawah.
Lalu kemudian, apakah saran-saran yang diberikan oleh PISA tidak dijalankan?. Atau memang tidak cocok diterapkan di negara kita?. Selain itu, sejak Indonesia merdeka telah dilakukan 11 kali revisi kurikulum pendidikan. Setiap perubahan kurikulum terjadi perubahan secara radikal pada tatanan pendidikan yang membutuhkan adaptasi yang terus menerus.
ADVERTISEMENT
Dalam rentang waktu yang begitu lama, apakah diagnosa masalah literasi kita belum terlihat?. Sehingga solusi yang tepat pun belum ditemukan. Jangan-jangan, patut kita menduga terjadi kesalahan diagnosa dan di waktu yang bersamaan terjadi pula kesalahan pemberian solusi. Sistem pendidikan kita juga terkesan seperti trial and error. Cenderung meniru konsep pendidikan negara lain yang telah maju. Bukankah setiap negara memiliki karakter masing-masing?.
Negara yang telah maju sistem pendidikannya bergerak dengan caranya sendiri, misalnya Finlandia yang dikenal dengan pendidikan yang santai namun berkualitas. Berbeda dengan sistem pendidikan di China, siswa dididik dengan sangat keras dan waktu yang padat. Nyatanya kedua negara tersebut mampu memajukan pendidikannya dengan pendekatan masing-masing. Artinya, Indonesia semestinya punya karakter pendidikan sendiri tanpa harus mengikuti negara lain.
ADVERTISEMENT

Langkah yang Harus Dilakukan

Upaya peningkatan literasi sering tidak menyentuh persoalan hulu, hanya menilai persoalan di hilir. Cenderung menilai hasil bukan proses yang dilakukan. Bila kemampuan literasi hanya difokuskan pada pengukuran bukan pada pembentukan pada akhirnya akan menyisakan gap yang tak pernah habis.
Persoalan literasi tidak lepas dari SDM yang terlibat di dalamnya, misalnya guru, dosen, pegiat literasi, dan pemangku kepentingan lainnya. Sampai saat ini, kita belum melihat upaya serius dalam peningkatan SDM yang berhubungan erat dengan pengembangan literasi. Misalnya guru, masih dianggap profesi marjinal yang tidak menjanjikan. Musababnya, di hulu adalah pendidikan guru yang belum berkualitas. Di hilir, banyak guru yang belum kompeten.
Universitas Indonesia. Foto: Shutter Stock
Perlu melihat persoalan dari hulu sampai ke hilir. Perguruan tinggi di bidang pendidikan sangat mudah kita temukan. Dari kota besar sampai daerah terpencil, dari bangunan mewah sampai dengan ruko yang disulap jadi kampus. Fakultas keguruan juga termasuk fakultas yang paling mudah menerima mahasiswa. Simpulannya, tidak ada seleksi yang ketat dan standar yang tepat terhadap proses di hulu.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, banyak mahasiwa yang kuliah dibidang pendidikan bukan karena panggilan hati. Lebih disebabkan salah pilih jurusan atau tidak ada pilihan lain. Seharusnya, sejak awal pendidikan ilmu keguruan dijadikan sebagai jurusan paling bergengsi. Seleksi yang ketat diterapkan kepada kampus penyelenggara pun penerapan seleksi yang ketat kepada mahasiswa yang ingin mengambil jurusan pendidikan. Disaat yang bersamaan gaji dan tunjangan guru harus dinaikkan dan ditetapkan berdasarkan kompetensinya. Pun pegiat literasi yang lain, perlu peningkatan kompetensi dan dukungan yang berkelanjutan.
Selain SDM, fasilitas yang berhubungan dengan peningkatan literasi juga harus diperbaiki. Sekolah, kampus, perpustakaan dan lain sebagainya. Terutama di daerah yang aksesnya masih terbatas. Termasuk di desa-desa utamanya di wilayah 3T.
Kesimpulannya, literasi merupakan alat yang paling penting untuk tetap eksis di dunia yang serba dinamis. Literasi menjadikan kita berdaya dan memiliki daya saing yang mumpuni untuk menentukan jalan kehidupan yang lebih baik ke depan.
ADVERTISEMENT