KPK Bukan Eksekutif, Hak Angket KPK Inkonstitusional

13 Juli 2017 8:45 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Aksi parodi koruptor dukung hak angket KPK. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Aksi parodi koruptor dukung hak angket KPK. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
ADVERTISEMENT
Pengamat Hukum dan Tata Negara Universitas Gajah Mada, Denny Indrayana, memberikan pendapatnya mengenai angket KPK, yang saat ini tengah bergulir di DPR. Dia menjelaskan awal mula munculnya bentuk hak angket dalam aturan tata negara di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Menurut Denny, angket, dalam sejarahnya, adalah hak parlemen dalam sistem parlementer. Ini merupakan salah satu karakter parlementer dalam sistem presidensial di Indonesia.
"Awalnya dalam UUD 1945, hak angket tidak ada. Dia muncul pada era parlementer kita dan dikuatkan dengan UU Angket Nomor 6 Tahun 1954. Hak angket baru muncul dalam UUD 1945, setelah amandemen, dengan dorongan aspirasi penguatan peran kontrol DPR kepada presiden," ujar Denny saat dihubungi kumparan (kumparan.com), Kamis (13/7).
Karena itu, secara konsep hak angket adalah hak investigasi parlemen atas kebijakan eksekutif atau pemerintah. Sementara pembatasan hak angket yang hanya berlaku pada kebijakan pemerintah yang strategis itu masih berlaku, utamanya sebelum perubahan UU MD3.
Denny mengatakan, dalam perubahan UU MD3 tahun 2014, mulai muncul konsep yang bisa dimaknai sebagai perluasan atas hak angket tersebut. Ada klausul yang disebut sebagai "pelaksanaan UU", yang menjadi pintu masuk bagi kelompok yang mendukung hak angket bagi lembaga di luar pemerintah, misalnya KPK.
ADVERTISEMENT
Penjelasan umum perubahan UU MD3, menguatkan kesan perluasan konsep hak angket tidak hanya pada pejabat di pemerintah saja, namun juga pejabat negara. Dalam Pasal 12 UU KPK, pimpinan KPK disebut sebagai pajabat negara, sehingga muncul penafsiran hak angket ke KPK dapat dilakukan. Argumen pendukung lainnya adalah KPK merupakan bagian dari pemerintah yang bermakna luas dan melihat kewenangan eksekutif KPK.
"Saya berpandangan, KPK bukanlah eksekutif. Dia adalah komisi negara independen sebagaimana KPU, misalnya. KPK adalah independen agency, bukan executive agency," kata Denny.
Kehadiran komisi negara independen ini, kata Denny, memang marak di abad ke-21. Salah satunya pernah dijelaskan oleh Bruce Ackerman dalam Harvard Law Review tahun 2003 melalui bukunya "The New Separation of Powers". Mantan ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP), Jimly Asshiddiqie, juga pernah menyebut bahwa komisi independen sebagai lembaga yang berwenang campur sari antara eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Denny Indrayana berpidato (Foto: Akun Facebook Denny Indrayana)
zoom-in-whitePerbesar
Denny Indrayana berpidato (Foto: Akun Facebook Denny Indrayana)
"Amandemen UUD 1945 kita membuat bab khusus Pemilu dan menegaskan adanya KPU yang independen sebagai upaya meninggalkan pemilu ala Orba. Di masa Orba, penyelenggara pemilu adalah eksekutif, yaitu Depdagri, yang berkontribusi pada tidak netralnya pelaksana pemilu," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Maka, di masa reformasi dibentuk KPU independen, bukan eksekutif, legislatif ataupun yudikatif. Di awal reformasi pula, di rasa perlu penguatan pemberantasan korupsi. Ada TAP MPR soal KKN dan akhirnya lahir KPK.
"KPK jelas bukan eksekutif. Ada beberapa alasannya. Satu, KPK independen dari semua cabang kekuasaan. Dua, KPK bukan executive agency sehingga presiden tidak punya hak prerogatif mengangkat pimpinannya. Berbeda dengan menteri dan LPNK. Tiga, putusan-putusan MK menegaskan KPK adalah lembaga negara yang terlait dengan kekuasaan kehakiman sesuai Pasal 24 ayat (3) UUD 1945," ucap dia.
Jadi, KPK adalah independent agency yang sesuai putusan MK adalah lembaga negara yang berkaitan dengan kekuasaan yudikatif. Karena dijamin independensinya itu, apalagi ada prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman, model pengawasan kepada KPK harus pas.
ADVERTISEMENT
Peta dukungan fraksi untuk pansus hak angket (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Peta dukungan fraksi untuk pansus hak angket (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
Bukan berarti KPK tidak bisa diawasi, tetapi pengawasan melalui angket berpotensi melanggar indepensi KPK, yang dijamin UU. Apalagi hak angket adalah pengawasan lembaga politik parlemen yang tidak pas untuk komisi negara independen di bidang yudikatif seperti KPK.
KPK tetap ada pengawasan. Keuangan oleh BPK, penyadapan di audit Kemenkominfo, pengawasan kebijakan bisa dengan rapat di DPR. Sedangkan kerja-kerja penegakan hukum KPK pengawasannya lebih tepat dilakukan oleh lembaga yudikatif melalui proses persidangan.
Denny menilai, seharusnya hak angket KPK memang tidak ada. Selain karena soal legalitas subyek, obyek dan prosedur yang bermasalah, juga karena jelas ada Conflict of Interest.
Meskipun hak angket adalah hak konstitusional anggota DPR, presiden memiliki kekuatan konsolidasi parpol pemerintah. Dalam pembahasan RUU Pemilu, khususnya presidential threshold misalnya, Presiden Jokowi melakukan komunikasi dengan pimpinan parpol.
ADVERTISEMENT
Mestinya komunikasi politik yang sama dilakukan untuk menghentikan angket KPK yang didukung para parpol pemerintah.
"Jangan sampai semua terlambat, KPK terlanjur dilemahkan apalagi dibubarkan. Hak angket KPK punya indikasi mengarah ke sana. Jangan sampai sejarah berulang, lembaga antikorupsi di bunuh karena mengganggu kenyamanan koruptor. KPK sudah berkali-kali diserang," tutupnya.