Konten dari Pengguna

6 Alasan Mengapa Poligami Harus Ditolak

Rini Hartono
Penulis dan penggiat pergerakan perempuan. Pengurus Dewan Pimpinan Pusat Aksi Perempuan Indonesia (API) Kartini
23 Agustus 2017 14:21 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
Tulisan dari Rini Hartono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
6 Alasan Mengapa Poligami Harus Ditolak
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Sejak kelahirannya gerakan perempuan memperjuangkan penghapusan poligami. Namun, berabad-abad perjuangan itu berlangsung, budaya dekaden masyarakat patriarkal itu belum juga terkikis habis di bumi Nusantara ini.
Perjuangan kaum perempuan untuk membuat undang-undang yang mengatur ihwal perkawinan memang banyak direspon oleh pemangku kebijakan. Dalam hal ini, Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Hanya saja, UU tersebut masih memberi celah kepada suami untuk beristri lebih dari satu, meskipun dipagari dengan syarat-syarat (istri tidak dapat menjalankan kewajibannya, cacat badan/penyakit tak tersembuhkan, dan tidak dapat melahirkan keturunan).
Mengenai poligami ini, Kartini menggelar penolakan keras. Pelopor gerakan emansipasi perempuan ini bahkan menyebut poligami setara dengan dosa, karena menyebabkan kaum perempuan tersiksa dan menderita.
ADVERTISEMENT
Dan hingga sekarang, poligami terus menjadi persoalan bagi kaum perempuan. Apalagi, seiring dengan cara beragama yang sangat fundamentalistik, kampanye dan praktek menghalalkan poligami sedang berlangsung massif.
Berikut ini saya uraikan 6 alasan mengapa poligami harus diakhiri.
Pertama, poligami merupakan bentuk patriarki dalam perkawinan. Patriarki adalah konstruksi sosial yang menempatkan laki-laki otoritas utama/pemegang kuasa utama dalam organisasi sosial, dari politik hingga keluarga. Dalam masyarakat patriarkal, perempuan ditempatkan sebagai masyarakat kelas dua.
Dalam sejarah, kebangkitan patriarki selaras dengan munculnya pemilikan pribadi. Dan bagi kaum patriark, perempuan adalah milik laki-laki dalam keluarganya. Family (Familia) berasal dari bahasa Romawi, famulus, yang berarti budak rumah tangga.
Dan karena perempuan identik dengan pemilikan, maka kekuasaan seorang patriark seringkali ditunjukkan dengan berapa jumlah istri/perempuan yang mereka punyai. Tidak heran, dalam sejarah awalnya, poligami merupakan hak istimewa kaum kaya dan bangsawan/pemilik budak (Baca: The Origin of the Family, Private Property and the State, Frederick Engels, 1884).
ADVERTISEMENT
“Karena seorang istri menjadi hak milik layaknya seorang budak, seekor hewan penghela, atau sebuah benda bergerak, adalah wajar jika seorang laki-laki memiliki istri sebanyak yang ia suka,” tulis feminis Perancis, Simone de Beauvoir, dalam bukunya “Second Sex”.
Kedua, poligami merupakan sarana untuk mengeksploitasi tubuh perempuan. Masyarakat patriarkal memposisikan tubuh perempuan sebagai alat reproduksi, pemuasan (seksual), dan pelayanan (melayani suami/laki-laki).
Mereka yang berpoligami seringkali karena dorongan pemenuhan kebutuhan seksual. Kadang-kadang juga karena istrinya tidak bisa memberi keturunan. Atau karena istrinya tidak bisa menjadi pelayan yang baik dan setia. Nah, argumentasi-argumentasi di atas masih dalam batas-batas berpikir patriarkal.
Sayangnya, syarat-syarat dibolehkannya Poligami, sebagaima diatur dalam UU Perkawinan, masih dicekoki oleh anggapan patriarkal dalam memposisikan tubuh perempuan.
ADVERTISEMENT
Ketiga, poligami memicu terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Banyak organisasi perempuan, termasuk Kongres Ulama Perempuan baru-baru ini, menyebut poligami sebagai bentuk kekerasan dalam rumah tangga.
Kendati poligami seringkali dibungkus dengan alasan “bisa berlaku adil”, tetapi laki-laki beristri banyak selalu sulit untuk menegakkan keadilan secara substantif. Seringkali perempuan yang dipoligami dijangkiti rasa persaingan dan cemburu, akibat merasa diperlakukan berbeda dari suaminya. Ini yang memicu pertengkaran dan banyak kasus KDRT.
Apalagi di kalangan laki-laki miskin. Masyarakat patriarkal menempatkan laki-laki sebagai “pencari nafkah utama”, sedangkan istri sebagai “pencari nafkah tambahan”. Nah, ketika si laki-laki tidak bisa memenuhi kebutuhan ekonomi istri-istrinya, bukan saja menyebabkan si istri dalam kesulitan ekonomi, tetapi seringkali juga berujung pada KDRT.
ADVERTISEMENT
LBH APIK pernah melakukan riset terhadap 107 istri yang dipoligami oleh suaminya. Hasilnya: 37 istri mengaku tidak diberi nafkah, 21 orang mengalami tekanan psikis, 23 orang ditelantarkan suami, 11 pisah ranjang, 7 penganiayaan fisik, 6 diceraikan oleh suami, dan 2 mendapat teror dari istri kedua.
Keempat, poligami memelihara rantai kemiskinan. Laki-laki miskin atau berpendapatan kecil yang memaksakan poligami, sangat rentan memelihara rantai kemiskinan.
Bayangkan, dengan pendapatan yang terbatas, si laki-laki harus membiayai banyak istri dan anaknya. Sementara si laki-laki dalam konstruksi masyarakat patriarkal berperan sebagai pencari nafkah utama.
ADVERTISEMENT
Ini juga berefek pada anaknya: mereka akan kesulitan mengakses pendidikan sebaik mungkin. Ini yang menyebabkan rantai kemiskinan turun-temurun ke anak-cucu.
Kelima, poligami bisa menyebabkan hak anak terabaikan. Anak-anak dari ibu yang dipoligami, akan kurang mendapat perhatian dari ayahnya. Juga kurang mendapat dukungan moral dan material yang berguna bagi pengembangan hidupnya.
Keenam, poligami bertentangan dengan cita-cita kemerdekaan: mewujudkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan sebagai warga negara, termasuk dalam keluarga. Poligami melanggengkan dominasi laki-laki dalam hukum perkawinan dan keluarga.
Seperti dikatakan aktivis perempuan sekaligus Menteri Sosial di masa awal RI, Maria Ulfa Santoso, tidak mungkin perempuan bisa berperan besar sejajar dengan laki-laki dalam memajukan bangsa, jika mereka tidak mendapat kemerdekaan yang sama dengan laki-laki.
ADVERTISEMENT
“Bagaimana mungkin perempuan Indonesia memenuhi harapan kita untuk mengasuh bangsa yang baru, jika laki-laki Indonesia tidak ingin melepaskan kedudukan mereka sebagai raja dalam perkawinan? Bebaskan kekuasaan itu. Perempuan memiliki perasaan, perempuan memiliki pemikiran, sebagaimana laki-laki. Kami, perempuan Indonesia, ingin memiliki hak asasi manusia (BBPIP, 1939: 67).”
Penulis adalah pengurus Dewan Pimpinan Pusat Aksi Perempuan Indonesia (API) Kartini