Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Perempuan dan Harga Beras
18 Januari 2018 6:17 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:12 WIB
Tulisan dari Rini Hartono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sejak Desember lalu hingga dua pekan awal Januari tahun ini, harga beras terus merangkak naik. Rakyat miskin, terutama kaum perempuan, paling merasakan dampaknya.
ADVERTISEMENT
Di Jakarta, seperti dilansir infopangan.jakarta.go.id pagi (13/1/2017) ini, harga beras sudah menyentuh Rp 14.000 per kilogram. Oleh beberapa pedagang beras di Pasar Induk Beras Cipinang, seperti dikutip DetikFinance dan BBC Indonesia kenaikan beras kali merupakan yang tertinggi.
Seperti biasa, setiap terjadi kenaikan harga sembako, apalagi beras, kaum perempuanlah yang paling memutar otak. Kaum perempuan harus berjibaku memastikan ketersediaan beras sebagai bahan makanan utama untuk keluarganya.
Berdampak Langsung
Kenaikan harga beras berdampak langsung pada ekonomi keluarga. Khususnya keluarga yang berpendapatan menengah ke bawah.
Sebagaimana diakui oleh Biro Pusat Statistik (BPS), bahwa harga beras berkontribusi beras mendorong laju inflasi. Kemudian, komoditi makanan, terutama beras, juga berpengaruh besar terhadap garis kemiskinan: 73 persen.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, setiap kenaikan harga beras pasti akan berdampak langsung pada kemampuan rumah tangga dalam memastikan ketersediaan bahan makanan pokok untuk keluarganya.
Dan tentu saja, situasi tersebut paling dirasakan oleh perempuan. Sebab, perempuan yang berperan sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT) bertugas sebagai pengelola keuangan dan ekonomi rumah tangga.
Belum lagi, ada anggapan sosial selama ini yang menganggap bahwa urusan domestik adalah urusan kaum perempuan. Termasuk soal menyediakan makanan bagi keluarga. Hal inilah yang membuat kaum perempuan sangat rentan dengan berbagai kebijakan ekonomi pemerintah, terutama yang berkaitan dengan kenaikan harga kebutuhan pokok.
Hal ini akan sangat terasa pada perempuan dari keluarga miskin. Bayangkan, dengan pendapat keluarga yang pas-pasan, kaum perempuan ini diharuskan bisa memastikan ketersediaan makanan bagi keluarganya. Seringkali, soal pangan ini memicu kekerasan dalam rumah tangga.
ADVERTISEMENT
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat, hampir 60 persen kekerasan yang terjadi terhadap perempuan terjadi di dalam rumah tangga. Dan sebagaian besar kasus kekerasan dalam rumah tangga dipicu oleh persoalan ekonomi.
Tidak jarang juga, tekanan ekonomi memicu terjadinya kasus bunuh diri. Dan untuk diketahui, banyak kasus bunuh diri dilakukan oleh kaum perempuan. Terutama dari mereka yang berasal dari lapisan ekonomi terbawah.
Begitu juga dengan perempuan yang bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT), yang biasanya bertanggungjawab langsung terhadap urusan pengadaan bahan makanan rumah tangga majikannya.
Suara Perempuan
Masalahnya, ketika harga beras meroket naik, suara perempuan jarang didengar. Padahal, dalam soal pangan ini, perempuan terkait dua hal.
Pertama, perempuan juga, disamping laki-laki, merupakan pelaku utama urusan bahan pangan, dari hulu ke hilir. Perempuan terlibat dalam urusan produksi, rantai pasokan, distribusi, pemasaran, hingga penyajiannya dalam bentuk bahan makanan siap santap di meja makan.
ADVERTISEMENT
Merujuk ke data BPS 2016, dari sekitar 45 juta perempuan yang bekerja di sektor pertanian, kehutanan dan perikanan, sekitar 13,7 juta diantaranya adalah perempuan. Sementara dari Sensus Pertanian 2013, dari 31,70 juta petani di Indonesia, sebanyak 7,34 atau 23 persennya adalah petani perempuan.
Belum terhitung jumlah perempuan yang terlibat dalam rantai pasokan dan tata-niaga beras. Artinya, keterlibatan perempuan dalam ihwal pangan ini sangat besar.
Kedua, karena masih kuatnya anggapan patriarkal yang memenjarakan perempuan atas nama domestifikasi, bahwa tugas perempuan adalah mengurus rumah tangga, termasuk urusan dapur, maka kenaikan harga beras paling memukul perempuan.
Sayang sekali, berbagai kebijakan di bidang pangan belum mendengar suara jerit perempuan. Dalam penentuan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras, misalnya, hampir tidak ada andil perempuan di dalamnya. Begitu juga dengan kebijakan terkait pangan lainnya.
ADVERTISEMENT
Menurut saya, mengatasi persoalan harga beras ini, pemerintah jangan lagi mengajukan solusi temporer dan parsial. Tidak cukup mempan dengan operasi pasar, yang daya jangkaunya sangat pendek dan terbatas.
Saya kira negara ini butuh lembaga semacam Dewan Pangan, yang mengurusi soal pangan dari hulu hingga ke hilir. Dewan ini yang akan merumuskan bagaimana meningkatkan produksi, memastikan data pangan, mengatur kebijakan impor, stok pangan, mengatur rantai pasokan, pendanaan pangan, menentukan harga, hingga memastikan kualitas pangan.
Melalui Dewan Pangan ini, suara perempuan harus ada. Organisasi perempuan duduk berdampingan dengan pemerintah, organisasi petani, pelaku usaha pangan (hulu dan hilir), Bulog, BUMN/BUMD/Koperasi, untuk merumuskan kebijakan pangan dari hulu ke hilir.
Rini Hartono, Pengurus Dewan Pimpinan Pusat Aksi Perempuan Indonesia (API) Kartini
ADVERTISEMENT