Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.97.1
Konten dari Pengguna
Pelajaran Berharga dari Likuefaksi (Bagian 1)
10 Oktober 2018 7:20 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Rini Mayasari, M.Soc.Sc. tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Satu unit kendaraan tertimbun akibat gempa 7,4 pada skala richter (SR), di kawasan Kampung Petobo, Palu, Sulawesi Tengah. (Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1538484899/dcmelbcje5aeifsxs0vn.jpg)
ADVERTISEMENT
Masih terbayang betapa paniknya saya ketika gempa di Jakarta terjadi. Saat itu saya berada di lantai 27, sebuah Gedung di Kawasan Mega Kuningan. Gempa dengan durasi beberapa menit ini benar-benar terasa seperti mengayun gedung tersebut, akan sangat tak terbayangkan jika tanah yang menyangga gedung amblas dan tak kuat lagi menopang gedung.
ADVERTISEMENT
Di antara ketakutan tersebut, saya semakin ngeri membayangkan apa yang akan terjadi jika apartemen yang biasa kami tempati ambruk, dan anak saya hanya ditemani sang babysitter kala itu.
Ini bukan pertama kalinya saya mengalami gempa. Ketika berkuliah di Los Angeles, Amerika Serikat, saya sering mengalami gempa, dan ketika lanjut master di Hamilton, Selandia Baru, pun beberapa kali mengalami gempa.
Ketakutan yang saya alami tentu tidak sebanding dengan kengerian dan trauma warga Palu, Donggala, Balaroa, dan Sigi yang menyaksikan langsung gempa, disusul dengan tsunami, dan likuefaksi.
Kejadian likuefaksi nampaknya cukup asing bagi warga Indonesia. Warga yang mengalami likuefaksi di Jono Oge mendeskripsikan kejadian ini sebagai “Tsunami Daratan”. Ada lagi yang menyamakannya dengan kasus “Lumpur Lapindo”.
ADVERTISEMENT
Likuefaksi sendiri bukan hal yang asing bagi saya. Istilah ini sering menjadi bahasan ketika masih kerap membahas topik mengenai Gempa Christchurch yang terjadi di tahun 2011.
Likuefaksi sebenarnya adalah kondisi di mana air tanah terdorong akibat gerakan seismic oleh patahan bumi yang menyebabkan bercampurnya lapisan tanah dengan air. Hal ini membuat permukaan tanah kehilangan kepadatannya dan pada akhirnya kehilangan kekuatan untuk menopang bangunan di atas permukaannya.
Tidak semua gempa bisa menyebabkan likuefaksi. Tanah dengan karakteristik tertentu, dan beberapa faktor dapat menyebabkan terjadinya likuefaksi setelah gempa.
Tanah yang kepadatannya “kurang baik”, misal jenis tanah alluvium, pasir, kerikil, dan bekas daerah rawa yang airnya tidak dikuras habis, kondisi air tanahnya tak jenuh (sangat dekat dengan permukaan tanah), berpotensi besar mengalami likuefaksi ketika terjadi gempa dengan skala yang cukup signifikan. Selain itu ada faktor lain yang bisa menyebabkan likuefaksi, yaitu jarak dengan sesar/patahan.
ADVERTISEMENT
Korban jiwa dan material yang besar dialami di Palu, Balaroa, dan Jono Oge, juga tak lain dikarenakan lokasi kejadian likuefaksi tepat berada di pemukiman padat penduduk. Mengingat kondisi Palu yang dilewati sesar Koro, harusnya pembangunan kembali Kota Palu mempertimbangkan untuk lebih bijak membangun di daerah yang “lebih aman” dan berdasarkan “data driven” dari studi kelayakan untuk daerah pemukiman.
Studi kelayakan untuk daerah pemukiman hendaknya mempertimbangkan beberapa faktor seperti litologi (data kualitatif komposisi tanah dan bebatuan), data air tanah, elevasi, resiko erosi, dan jarak terhadap patahan/sesar koro. Berikut contoh studi kelayakan area pemukiman yang pernah saya lakukan dengan automasi informasi geografik.
![Pelajaran Berharga dari Likuefaksi (Bagian 1) (1)](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1539130593/land_qye5es.jpg)
Kemungkinan besar warga yang mengalami likuefaksi harus direlokasi ke lokasi yang lebih aman. Karena kemungkinan terulang likuefaksi lagi ketika gempa terjadi. Relokasi sendiri bukan perkara mudah.
ADVERTISEMENT
Relokasi tidak sekedar memindahkan manusia dari satu tempat ke tempat lain. Karena asosiasi dengan sebuah tempat adalah sebuah cerita yang menyeluruh tentang identitas seseorang, tentang penghidupan dan mata pencaharian, serta tentang komunitas di mana seseorang bergaul.
![Kondisi rumah dan pohon yang hancur akibat gempa bumi di Petobo, Palu, Selasa (2/10/2018). (Foto: Soejono Saragih/kumparan)](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1538458630/mglm66alxxao8yjx3gwr.jpg)
Jika tidak dipersiapkan dengan baik, relokasi akan memberikan efek buruk jangka panjang. Pemerintah Palu harus memastikan bahwa warga-warga ini di lokasi yang baru penghidupannya dan mata pencahariannya akan tetap terjamin.
Fasilitas pendukung seperti sekolah, angkutan umum, dan sumber air bersih harus dipersiapkan dengan baik. Trauma usai mengalami gempa, dan likuefaksi ini juga hendaknya dipertimbangkan untuk penyediaan layanan konseling bagi warga.
Dengan kejadian likuefaksi di daerah pemukiman ini, hendaknya pemerintah lebih mengontrol perizinan pembangunan kawasan pemukiman dan mulai membuat studi kelayakan sebagai acuan dalam perizinan dan perencanaan pembangunan kota. Sudah saatnya perencanaan kota di Indonesia diarahkan “data driven planning”.
ADVERTISEMENT