news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Bersama Sikh, Perjalanan Spiritual Dimulai Dari Sini

Rinjani Meisa Hayashi
Content Intelligence Reporter at kumparan
Konten dari Pengguna
28 Agustus 2022 5:55 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rinjani Meisa Hayashi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Penganut Sikh di Indonesia. Foto: Rinjani Meisa/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Penganut Sikh di Indonesia. Foto: Rinjani Meisa/kumparan
ADVERTISEMENT
Pertama kali bertemu dengan penganut Sikh, satu hal yang membuat saya penasaran dan antusias untuk saya tanyakan adalah soal turban. Awalnya, saya ingat salah satu scene di film Hotel Mumbai yang memperlihatkan seorang penganut Sikh memakai turban sedang mengalami gejolak batin hebat, lantaran harus terpaksa membuka penutup kepala itu.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya saya agak lupa apa yang membuat Arjun (tokoh penganut Sikh dalam Hotel Mumbai) pada akhirnya memutuskan untuk melepas turbannya. Karena sebelum akhirnya dia membuka, Arjun sempat beberapa kali menolak dan tetap teguh pada pendiriannya mempertahankan turban tersebut.
Akhirnya rasa penasaran saya pun terjawab setelah bertemu Pak Jaspal pada kesempatan liputan bersama kumparan di Sikh Temple Tanjung Priok, Minggu (14/8).
Pak Jaspal di Sikh Temple Tanjung Priok. Foto: Rinjani Meisa/kumparan
"Kita ini kaya orang Islam. Istilahnya dilarang buka jilbab gitu. Lebih baik mati, daripada harus buka turban. Kecuali kalau di rumah, itu boleh lepas. Tapi, di rumah saya masih pakai yang kecil. Kalau yang sekarang saya pakai kan itu panjang, hampir 5 meter. Kalau yang di rumah paling cuma 1 meter doang. Mending mati, daripada buka turban. karena kita punya mahkota ya ini. Wibawa kami itu ini," tegas Pak Jaspal.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya mudah untuk memahami gejolak batin Arjun, mengapa ia begitu berat melepas turban. Sedikit intermezzo, saat SMA saya pernah memakai kerudung. Tak sekadar kerudung, saya cukup serius menjalani kewajiban menutup aurat itu, bahkan dengan berpakaian syar'i sesuai syariat Islam.
Saya sangat menjaga agar aurat saya tertutup dengan sempurna, sebagaimana Pak Jaspal menutupi rambutnya dengan turban. Saya paham betul, ketakutan-ketakutan seperti ketika pakaian hingga kerudung saya bisa saja tersingkap tak sengaja, karena itu bisa memperlihatkan apa yang harusnya tak diperlihatkan. Ya, rasanya seperti itu lah.
Meskipun pada akhirnya saya tak bisa se-istiqomah Pak Jaspal, tetapi saya pernah merasakan berada di fase itu. Saya bilang mudah untuk memahami, karena aturan kewajiban menutup bagian atas kepala dengan turban bisa diasosiasikan dengan kewajiban menggunakan kerudung dalam agama saya sendiri, yaitu Islam.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, pengetahuan saya mengenai Sikh semakin bertambah. Ada satu hal lagi yang menarik ketika mendengar pembicaraan dari pendeta Sikh Temple Tanjung Priok, Giani Dalwinder Singh. Ia mengatakan bahwa bukan Tuhan yang mengkotak-kotakkan manusia.
"Sebenarnya itu hanya kemiripan-kemiripan saja (Sikh dengan Islam dan Hindu). Sikh yang dibawa oleh Guru Nanak De Jiv itu sebenarnya mengajarkan kita untuk cinta damai. Kita semua di sini adalah makhluk Tuhan, karena ketika seseorang lahir bukan karena suatu identitas. Ketika dunia ini terjadi pun, bukan Tuhan yang membentuk dan mengkotak-kotakkan," jelas pendeta Giani Dalwinder Singh.
Mungkin beberapa orang dari kalian akan merasa sedikit terganggu, ketika mendengar ini. Namun, saat dialog tersebut muncul langsung dari seorang pendeta Sikh, saya jadi semakin mempertanyakan sekaligus penasaran. Jika Tuhan Yang Maha Esa, agama jelas menjadi pengkotakkan yang cukup tegas antara manusia satu dengan manusia lain, hanya karena perbedaan ritus yang mencolok.
ADVERTISEMENT
Ini hanya penasaran saja, saya pun belum menemukan jawabannya. Maka dari itu, sepertinya tulisan ini akan menjadi awal perjalanan spiritual saya.
Namun, bagi saya agama memang dapat membantu dalam mencari kedamaian dan ketenangan hidup, misalnya, selama saya mengikuti proses peribadatan umat Sikh, doa dan puji-pujian yang mendayu terus dilantunkan dengan menggunakan bahasa India.
Pemberian makanan kepada umat Sikh yang sudah diberkati. Foto: Rinjani Meisa/kumparan
Tentu saya tidak mengerti artinya, begitu juga ketika saya mendengar maupun membaca huruf arab dalam Al-Quran. Akan tetapi, kekuatan agama yang mengajarkan kebaikan dan kesucian di dalamnya, tak menampik bahwa ada pancaran aura-in positive way yang dapat menenangkan jiwa.
Perasaan itu muncul juga saat saya mengikuti seluruh prosesi ibadah agama Sikh, mulai dari gerakan duduk, mengadah tangan, sujud, hingga makan kudapan yang telah diberkati dengan doa-doa dalam kitab suci Shree Guru Granth Saheb Ji.
ADVERTISEMENT
Selain menjadi perjalanan spiritual, tentu cerita di baliknya akan turut memperkaya pengetahuan. Baik lagi, ketika kita dapat memupuk rasa toleransi begitu besar di tengah keberagaman masyarakat di Indonesia. Semoga tulisan ini berlanjut seperti series Netflix ya hehe.