Menata Ulang Format Pemilu Serentak

Rino Irlandi
Alumni Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya yang meminati kajian hukum tata negara, pemilu, partai politik dan antikorupsi
Konten dari Pengguna
22 April 2021 10:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rino Irlandi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Dokumen Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Dokumen Pribadi
ADVERTISEMENT
Pemilu 2019 yang lalu, adalah pemilu serentak pertama yang diselenggarakan di negara kita. Pengalaman pertama itu sayangnya menyisakan kenangan pahit dan luka yang mendalam. Bagaimana tidak, berdasarkan catatan dari Kementerian Kesehatan, kurang lebih ada 527 jiwa panitia pemilihan yang meninggal dan 11.239 panitia pemilihan yang jatuh sakit.
ADVERTISEMENT
Jatuhnya korban jiwa dan sakit, awal-awalnya menimbulkan banyak pertanyaan dari semua orang. Pertanyaan paling sentimen saat itu, misalnya, mungkinkah jatuhnya korban jiwa disebabkan oleh racun yang sengaja diberikan kepada panitia pemilihan?
Selang beberapa waktu kemudian, pertanyaan sentimen itu dibantah sekaligus terjawab oleh hasil riset dari tim peneliti UGM yang dalam temuannya tidak menyebut racun sebagai sebab kematian panitia pemilihan. Kalau begitu, apa penyebabnya?
Jika merujuk pada hasil riset dari tim peneliti UGM, salah satu penyebabnya adalah karena beban panitia pemilihan yang terlalu berat baik sebelum, selama, dan sesudah hari pemilihan. Logikanya memang masuk akal karena pemilu 2019 menggabungkan lima pemilu (Pilpres dan Pileg DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota) sekaligus dalam satu kali pemilihan.
ADVERTISEMENT
Karena pengalaman pahit tersebut, kita seharusnya belajar dari masa lalu dan sudah seharusnya kita menata ulang model pemilu serentak kita. Buku yang berasal dari naskah kertas posisi ini menawarkan gagasan model pemilu serentak yang mungkin lebih menguntungkan daripada model pemilu serentak 2019.
Apa dan bagaimana gagasan yang ditawarkan buku ini? Apa untungnya bagi kita jika mengadopsinya? Apakah gagasan dalam buku ini dapat menjadi solusi atas permasalahan pada pemilu 2019? Hingga pertanyaan paling mendasar, seperti, mengapa kita harus melaksanakan pemilu serentak, akan coba saya jabarkan secara ringkas berdasarkan buku ini.
Mengapa Harus Pemilu Serentak?
Sebelum menjawab pertanyaan mengapa harus pemilu serentak, perlu kiranya saya meluruskan terlebih dahulu atas pemahaman yang keliru dari sebagian besar orang yang menganggap bahwa pemilu serentak hanya terbatas pada penggabungan waktu pemilu presiden dan pemilu legislatif.
ADVERTISEMENT
Dalam buku ini, penulis meluruskan apa yang sesungguhnya dimaksud dengan pemilu serentak. Menurut mereka, pemilu serentak adalah pemilu yang menyelenggarakan pemilihan pejabat publik dari beberapa lembaga sekaligus pada waktu yang bersamaan.
Dengan pengertian seperti itu, para penulis buku ini menyebut bahwa sesungguhnya kita sudah menyelenggarakan pemilu serentak sejak lama, termasuk ketika kita menyelenggarakan pemilu 2014 yang lalu. Sebab, pada waktu itu, kita menggabungkan seluruh pemilu legislatif ditingkat pusat dan daerah pada waktu yang bersamaan, yakni pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Namun, pemilu serentak seperti itu bukan pemilu yang kita butuhkan. Menurut penulis buku ini, pemilu serentak model seperti itu hanya didesain untuk mengisi keanggotaan DPR, DPD, dan DPRD saja, tidak kurang dan tidak lebih. Bagi para penulis, tujuan pemilu serentak harus ditarik lebih jauh sehingga manfaatnya betul-betul dirasakan alias tidak asal-asalan.
ADVERTISEMENT
Mengenai manfaat tersebutlah yang menjadi alasan mengapa kita harus menyelenggarakan pemilu serentak. Dijelaskannya oleh para penulis buku ini, bahwa hasil pemilu harus mampu mendorong efektivitas pemerintahan hasil pemilu itu sendiri. Dalam pengertian tersebut, efektivitas pemerintahan yang dimaksud adalah efektivitas sistem presidensial yang ditandai dengan mampunya presiden terpilih memerintah secara efektif untuk rakyat.
Dalam beberapa studi, dijelaskan bahwa salah satu syarat yang harus dipenuhi manakala hendak menghasilkan efektivitas sistem presidensial adalah bagaimana mendorong presiden terpilih mendapat dukungan yang memadai di legislatif.
Dalam konteks itu, beberapa studi pula mengatakan bahwa pemilu serentak yang dianggap mampu mendorong presiden terpilih mendapat dukungan dari legislatif adalah pemilu serentak yang menggabungkan pemilu presiden dan pemilu legislatif. Para sarjana menyebut pemilu model seperti ini dapat memunculkan efek ekor jas, yaitu ketika pemilih terdorong untuk memilih anggota legislatif yang berasal dari partai yang sama dengan calon presiden pilihannya.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, pemilu model seperti ini sudah diselenggarakan pada pemilu 2019. Sayangnya, sebagaimana sudah saya sampaikan di atas, pilihan terhadap model pemilu pada 2019 kurang tepat sehingga menimbulkan bermacam-macam problem, yang salah satunya beban yang terlalu berat bagi panitia pemilihan.
Pekerja merakit kotak surat suara Pilkada di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Solo, Jawa Tengah, Selasa (17/11/2020). Foto: Mohammad Ayudha/ANTARA FOTO
Gagasan Pemilu Serentak Nasional dan Daerah
Kalau pemilu serentak diartikan sebagaimana yang sudah saya sampaikan di atas, yakni pemilu yang menyelenggarakan pemilihan pejabat publik dari beberapa lembaga sekaligus pada waktu yang bersamaan, maka sebenarnya terdapat banyak varian pemilu serentak itu sendiri.
Dalam konteks itu, para penulis buku ini menyatakan bahwa varian-varian tersebut terdiri dari enam model:
Pertama, model pemilu serentak sekaligus yang memilih semua pejabat publik secara bersamaan.
ADVERTISEMENT
Kedua, pemilu serentak yang dilaksanakan untuk memilih seluruh anggota legislatif ditingkat nasional dan daerah secara bersamaan, yang setelah dilaksanakan pemilu serentak yang diselenggarakan untuk memilih pejabat eksekutif ditingkat pusat dan daerah secara bersamaan.
Ketiga, pemilu serentak dengan pemilu sela yang berdasarkan pada tingkatan pemerintahan. Pada model pemilu ini, ada dua tingkat pemilu yang diserentakkan. Yang pertama adalah pemilihan pejabat publik ditingkat nasional (Presiden, DPR, dan DPD). Yang kedua adalah pemilihan pejabat publik ditingkat daerah (kepala daerah dan DPRD Provinsi serta Kabupaten/Kota).
Model pemilu serentak keempat adalah pemilu serentak tingkat nasional dan daerah yang dibedakan waktunya secara interval. Dalam pemilu model seperti ini, pemilihan seluruh pejabat publik ditingkat nasional dilakukan bersamaan. Beberapa tahun sesudahnya, baru diadakan pemilu tingkat daerah, namun keserentakannya adalah serentak berdasarkan pengelompokan wilayah kepulauan tertentu.
ADVERTISEMENT
Model kelima adalah pemilu yang menyertakan pemilu tingkat nasional dan baru setelahnya dilaksanakan pemilu daerah di masing-masing provinsi.
Model yang terakhir, keenam, adalah pemilu serentak yang diawali dengan pemilu presiden dan legislatif tingkat nasional dan daerah dalam waktu yang bersamaan. Dan, baru setelahnya dilanjutkan dengan pemilihan serentak kepala daerah diseluruh Indonesia.
Lalu, berdasarkan model-model pemilu serentak tersebut, pemilu model mana yang dianggap para penulis buku ini yang juga merupakan pakar sebagai pemilu serentak yang paling cocok diterapkan di Indonesia?
Jawabannya, menurut para penulis, format pemilu serentak yang paling cocok diterapkan di Indonesia adalah pemilu serentak model ketiga, yakni pemilu serentak yang memisahkan pemilu serentak nasional dan pemilu serentak daerah. Artinya, ada dua tingkat pemilu yang diserentakkan. Yang pertama adalah pemilihan pejabat publik ditingkat nasional (Presiden, DPR dan DPD). Yang kedua adalah pemilihan pejabat publik ditingkat daerah (kepala daerah dan DPRD Provinsi serta Kabupaten/Kota).
ADVERTISEMENT
Lalu, apa untungnya bagi kita jika mengadopsi format pemilu serentak yang memisahkan pemilu serentak nasional dan pemilu serentak daerah?
Dengan amat meyakinkan, dalam buku ini, para penulis memberikan penjelasan mengapa format pemilu serentak yang memisahkan pemilu serentak nasional dan pemilu serentak daerah dianggap sebagai pilihan terbaik yang harus dipilih ketimbang format pemilu serentak lainnya, terutama format pemilu serentak yang digunakan pada 2019.
Katanya, dengan amat meyakinkan, alasan pertama adalah karena menjanjikan terbentuknya pemerintahan hasil pemilu yang efektif. Kedua, rakyat dapat memberikan penilaian terhadap kinerja pemerintahan hasil pemilu. Misalnya, ketika kinerja pemerintahan hasil pemilu nasional serentak buruk, maka rakyat dapat menghukum partai politik pendukung pemerintahan tersebut pada pemilu serentak daerah. Pun begitu juga sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Ketiga, isu politik daerah yang selama ini tenggalam dapat terangkat melalui pemilu serentak daerah sehingga pemilih akan lebih cerdas menentukan pilihan mereka sesuai konteks isu politik daerah. Keempat, pemerintahan terpilih akan lebih akuntabel dalam bekerja karena kinerjanya akan dievaluasi pada pemilu serentak selanjutnya yang waktunya relatif lebih singkat.
Yang terakhir, kelima, format pemilu serentak seperti ini juga akan memberikam peluang yang lebih besar bagi elite politik daerah yang kinerja pemerintahannya berhasil untuk bersaing menjadi elite politik nasional. Alasan-alasan itulah yang menurut saya juga sangat menguntungkan ketimbang format pemilu serentak lainnya.
Meskipun para penulis tidak secara langsung menyatakan bahwa format pemilu serentak yang mereka rekomendasikan dapat memperbaiki salah satu kelemahan pemilu serentak 2019, yakni beratnya beban penyelenggara pemilu, saya amat yakin gagasan yang ditawarkan penulis dalam buku ini dapat memperbaiki kelemahan itu.
ADVERTISEMENT
Alasan yang mendasari argumentasi saya tersebut adalah karena dengan dipisahkannya pemilu serentak nasional dan pemilu serentak daerah, maka dalam satu kali pemilihan, hanya ada tiga pemilihan yang dilakukan dalam waktu yang bersamaan.
Dengan demikian, format pemilu serentak yang ditawarkan oleh para penulis dalam buku ini, menurut saya harus dipertimbangkan oleh pembentuk undang-undang, dalam hal ini DPR. Meskipun revisi undang-undang pemilu tidak masuk Prolegnas 2021, dan kecil kemungkinan pemilu 2024 mengadopsi gagasan yang ditawarkan buku ini, setidaknya, masih ada kesempatan pada pemilu-pemilu berikutnya agar mengadopsi format pemilu serentak nasional dan pemilu serentak daerah.
Akhir kata, sudah saatnya dan seharusnya pembentuk undang-undang lebih banyak mendengarkan pendapat-pendapat para ahli ketimbang mendengar bisikan nafsu politik yang senantiasa membisikinya. Para ahli dalam buku ini, menurut saya, sudah berusaha menawarkan gagasan terbaik untuk menata pemilu kita menjadi lebih baik dari sebelumnya. Apalagi, sudah banyak riset-riset yang searah dan sejalan dengan pemikiran para penulis dalam buku ini.
ADVERTISEMENT
Rino Irlandi
Mahasiswa Konsentrasi Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya
***
Judul Buku: Pemilu Nasional Serentak 2019
Penulis: Prof. Dr. Syamsuddin Haris, Prof. Dr. Ramlan Surbakti, Prof. Dr. Ikrar Nusa Bhakti, Prof. Dr. Saldi Isra, Dr. Kuskridho Ambardi, Dr. Nico Harjanto, Didik Supriyanto, S.IP., M.Si, Sri Nuryanti, S.IP., M.A, Dra. Sri Yuniarti, Moch. Nurhasim, S.IP., M.Si.
Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2012
Tebal: Ix + 176 hlm.