Menguji AD/ART Partai Politik

Rino Irlandi
Alumni Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya yang meminati kajian hukum tata negara, pemilu, partai politik dan antikorupsi
Konten dari Pengguna
9 November 2021 15:48 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rino Irlandi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Andesta Herli/kumparankumparan
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Andesta Herli/kumparankumparan
ADVERTISEMENT
Konflik internal partai segitiga biru terus berlanjut. Setelah gagal mendapat pengakuan hukum dari negara melalui Kemenkumham, kubu Moeldoko buru-buru mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung. Tidak tanggung-tanggung, kuasa hukum yang digandeng adalah advokat kondang Yusril Ihza Mahendra.
ADVERTISEMENT
Sesungguhnya, yang menarik dari usaha kubu Moeldoko kali ini adalah perihal objek yang dimohonkan untuk diuji di Mahkamah Agung. Ya, objek yang akan diuji tersebut adalah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Demokrat.
Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 secara eksplisit menegaskan salah satu wewenang Mahkamah Agung adalah menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Persoalannya, apakah AD/ART suatu partai politik tergolong sebagai peraturan perundang-undangan sehingga dapat menjadi objek pengujian di Mahkamah Agung?

Dua Aliran Penafsiran

Sebuah pengujian peraturan perundang-undangan memerlukan aktivitas penafsiran hukum yang berfungsi sebagai sarana penggalian makna yang terkandung dalam suatu norma peraturan perundang-undangan sehingga seorang hakim dapat menilai secara objektif apakah suatu materi yang diujikan memiliki pertentangan norma dengan peraturan di atasnya atau tidak.
ADVERTISEMENT
Dalam praktiknya, setiap hakim memiliki aliran penafsiran yang tidak tunggal alias berbeda-beda. Dua aliran utama yang berkembang pesat pada era modern ini adalah aliran penafsiran positivisme hukum dan aliran penafsiran hukum progresif. Keduanya berangkat dari kesadaran yang berbeda, sehingga menghasilkan pendekatan yang berbeda dalam berhadapan dengan setiap perkara pengujian.
Aliran positivisme hukum berangkat dari kesadaran bahwa hukum adalah apa yang dibuat oleh penguasa dan apa yang tertulis di dalamnya. Bila norma hukum mengatakan "A", maka "A" adalah hukumnya. Sebaliknya, apabila norma hukum mengatakan "B", maka "B" tersebutlah hukumnya. Dengan kata lain, aliran positivisme hukum memandang bahwa penafsiran hukum tidak boleh keluar dari konteks norma hukum yang tertulis.
Jika model penafsiran positivisme hukum yang mendominasi pemikiran hakim di Mahkamah Agung, permohonan kubu Moeldoko pasti akan ditolak. Sebab, AD/ART suatu partai politik menurut Pasal 7 junto Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bukan termasuk sebagai rezim peraturan perundang-undangan.
ADVERTISEMENT
Yang termasuk rezim peraturan perundang-undangan menurut pasal tersebut adalah UUD 1945, TAP MPR, Undang-undang/Perppu, Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), Perda Provinsi, Perda Kabupaten/Kota, peraturan yang ditetapkan oleh lembaga/badan/komisi negara, serta peraturan yang dibuat oleh kepala daerah dan kepala desa atau yang setingkat.
Berbeda dengan aliran positivisme hukum, aliran penafsiran hukum progresif yang dipelopori oleh Satjipto Raharjo berangkat dari kesadaran bahwa hukum itu dibuat untuk melayani manusia. Pada titik ini, hukum dipandang sebagai alat manusia untuk mencapai apa diharapkan dan dicita-citakan, sehingga hukum dapat diselaraskan dengan keinginan nurani keadilan manusia.
Dalam menafsirkan hukum, aliran hukum progresif tidak hanya menjadikan teks norma hukum sebagai pegangan tetapi juga memperhatikan konteks dan kontekstualisasi kondisi kekinian. Dalam bahasa Mahrus Ali (2010) seorang hakim yang berpandangan hukum progresif tidak melihat hukum secara kaku dan tidak hanya bertumpu pada otonomi teks hukum semata tetapi lebih memandang hukum sebagai sesuatu yang hidup (living law).
ADVERTISEMENT
Jika model penafsiran aliran hukum progresif yang mendominasi paradigma hakim-hakim di MA, maka ada peluang permohonan kubu Moeldoko diterima. Sebab, bisa saja para hakim akan melakukan terobosan hukum dengan dalil (ratio legis) semata-mata untuk menciptakan tertib norma hukum secara berjenjang yang merupakan esensi dari pengujian suatu peraturan perundang-undangan dan dalam rangka menjaga agar demokrasi di internal partai politik tetap berjalan sehat.
Begitu pula dengan perdebatan (pro-kontra) di ruang publik akhir-akhir ini bisa jadi hanya merupakan akibat dari perbedaan aliran penafsiran. Ada pakar hukum yang lebih condong pada penafsiran positivisme hukum, dan ada pakar hukum yang lebih condong pada aliran hukum progresif. Perdebatan tersebut saya pikir bagus bagi demokrasi kita. Hanya saja, perlu dipahami bahwa keputusan apakah AD/ART bisa diuji materil atau tidak ada pada hakim-hakim Mahkamah Agung.
ADVERTISEMENT
Jadi, mereka yang sekarang berdebat pada akhirnya harus menerima keputusan MA nanti, termasuk para pihak yang berperkara. Intinya, harus legowo!