Partai Politik 'Dipaksa' Pragmatis

Rino Irlandi
Alumni Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya yang meminati kajian hukum tata negara, pemilu, partai politik dan antikorupsi
Konten dari Pengguna
8 Juni 2021 6:36 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rino Irlandi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi partai politik. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi partai politik. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Belakangan, elite politik mulai sibuk menjajaki kemungkinan koalisi untuk Pemilihan Presiden 2024. Yang paling panas, tentu saja statemen dari Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Hasto Kristiyanto, yang mengatakan partainya “menutup pintu koalisi” dengan PKS dan Partai Demokrat karena berbeda ideologi.
ADVERTISEMENT
Sontak, dilansir dari detikcom (28/5), Andi Arief, Ketua Bapilu Partai Demokrat menanggapi statemen itu dengan mengatakan jika Partai Demokrat berkoalisi dengan PDI-P sama artinya dengan bunuh diri. Disisi lain, Ahmad Syaikhu, Presiden PKS, dalam orasinya di HUT ke-19 PKS (30/5) menganggap pernyataan Hasto sebagai hal yang biasa.
Pernyataan Hasto Kristiyanto menandaskan bahwa ideologi menjadi “faktor” yang menentukan untuk membangun koalisi. Jujur saja, saya agak ragu bahwa semua partai politik, tanpa terkecuali, betul-betul mempertimbangkan kesamaan “ideologi” manakala membangun koalisi, termasuk untuk Pilpres 2024 nanti. Pasalnya, ditinjau dari aspek regulasi, partai politik memang “dipaksa” membangun koalisi dengan pendekatan yang “pragmatis”.
Dipaksa Pragmatis
Dari aspek aturan konstitusi, syarat pengajuan pasangan capres cawapres diatur dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Pasal tersebut mengatur bahwa pasangan capres cawapres harus diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu. Frase “gabungan partai politik” memberikan legitimasi bagi pembentukan koalisi parpol dalam pengajuan pasangan capres cawapres.
ADVERTISEMENT
Nahasnya, aturan konstitusi tersebut “dibajak” oleh DPR dan Presiden sebagai pembentuk undang-undang. Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengatur pembatasan pengajuan pasangan capres cawapres. Aturan tersebut menyatakan parpol atau gabungan parpol baru dapat mengajukan pasangan capres cawapres jika memenuhi presidential threshold 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah secara nasional pada pemilu DPR periode sebelumnya.
Dengan adanya presidential threshold, pertimbangan partai politik dalam membangun koalisi tentulah bukan semata karena faktor kedekatan ideologi atau kesamaan platform kebijakan tetapi “berapa banyak jumlah kursi” sang calon partner koalisi. Sebab, adalah percuma membangun koalisi ideologis tetapi tidak bisa mengajukan pasangan capres cawapres karena tidak memenuhi syarat presidential threshold. Bagi saya, aturan inilah yang memaksa partai politik membangun koalisi dengan pendekatan yang “pragmatis”.
ADVERTISEMENT
Dalam kasus pernyataan Hasto Kristiyanto, saya yakin keberaniannya berkata “menutup pintu koalisi” bagi PKS dan Partai Demokrat, karena partainya, PDI-P, sudah mengantongi 128 kursi di DPR. Angka ini setara dengan 22 persen kursi DPR yang keseluruhannya adalah 575 kursi. Dengan total kursi sebanyak itu, PDI-P punya bargaining position untuk berkoalisi dengan siapa saja. Bahkan, mereka bisa memajukan pasangan capres cawapres tanpa berkoalisi.
Disisi lain, tiga partai (PDIP-PKS-Demokrat) yang “dianggap” berbeda ideologi tersebut begitu mesra berkoalisi di daerah. Misalnya, pada Pilkada 2020, PDIP dan PKS berkoalisi mengusung pasangan Hj. Putu Selly Andayani dan TGH Abdul Manan dalam kontestasi Pilkada Kota Mataram. Begitu juga di Pilkada Belitung Timur pada 2020, PDI-P dan Partai Demokrat mengusung pasangan Yuri Kemal dan Nurdiansyah.
ADVERTISEMENT
Fakta-fakta demikian tidak bisa dianggap angin lalu. Itu adalah bukti bahwa partai politik sekarang ini sesungguhnya tidak benar-benar komitmen membangun koalisi dengan pendekatan ideologi. Belakangan juga muncul wacana membangun koalisi partai islam. Tetapi, kita juga patut mempertanyakan “motif” koalisi tersebut. Sebab, nyatanya koalisi “keumatan” untuk Pilpres 2019 lalu “bubar” pasca pasangan calon yang diusung kalah dalam Pilpres. Jangan-jangan, wacana membangun koalisi ideologis semacam itulah hanyalah “magnet” penarik perhatian pemilih.
Hapus Presidential Threshold
Kita tentunya harus mendukung jika elite politik berniat membangun koalisi berdasarkan kesamaan ideologi atau platform kebijakan. Sebab, meminjam Syamsuddin Haris (2016), konsekuensi logis dari “motif” koalisi yang tidak berdasarkan kesamaan ideologi dan platform politik, dengan kata lain, hanya berbasis kepentingan pragmatis adalah lemahnya ikatan dan soliditas koalisi. Akibatnya, dukungan parpol pada pemerintah sering ditentukan oleh “mood politik”.
ADVERTISEMENT
Oleh karenanya, menurut saya, langkah awal mendorong parpol berkoalisi berdasarkan kesamaan ideologi atau platform kebijakan adalah menghapus ketentuan presidential threshold. Sebab, karena adanya aturan ini, parpol akan jauh lebih mempertimbangkan jumlah kursi calon partner koalisinya di DPR daripada kesamaan ideologi dan platform kebijakan.
Kunci untuk membuka pintu penghapusan presidential threshold tentu saja berada di tangan Presiden dan DPR sebagai pembentuk undang-undang (Pasal 5 ayat 1 dan Pasal 20 UUD 1945). Keduanya seperti diketahui berasal dari partai politik. Jadi, dengan kata lain, komitmen parpol membangun koalisi ideologis untuk Pilpres 2024 dapat dibuktikan dengan langkah awal menghapus presidential threshold dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Kalau parpol tidak berani menghapus ketentuan itu, anggap saja kemauan membangun koalisi ideologis hanya gurauannya kepada publik!
ADVERTISEMENT
Rino Irlandi, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, anggota Asosiasi Mahasiswa Hukum Tata Negara Seluruh Indonesia (AMHTN-SI)