Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Quo Vadis Pegawai KPK
20 September 2021 14:22 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Rino Irlandi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Apabila kita mengikuti perkembangan mutakhir isu-isu antikorupsi, tentu kita pasti akan tahu polemik yang tengah dihadapi oleh KPK saat ini.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan Surat Keputusan Nomor 1354 Tahun 2021, KPK secara resmi akan memecat 57 pegawainya terhitung pada 30 September 2021 nanti. Keputusan ini dibuat pasca yang bersangkutan dinyatakan tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang merupakan bagian dari proses peralihan status pegawai KPK menjadi ASN.
Peralihan status pegawai KPK menjadi ASN adalah konsekuensi hukum dari diundangkannya revisi UU KPK. Yang mana, Pasal 24 ayat (2) UU KPK edisi revisi menyatakan: Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan anggota korps profesi pegawai aparatur sipil negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Diundangkannya revisi UU KPK dinilai banyak pihak telah melemahkan KPK. Tidak saja karena mengamputasi independensi KPK, tetapi juga karena dengan diundangkannya revisi undang-undang ini, pegawai KPK yang selama ini dianggap berada pada garda terdepan dalam upaya memberantas korupsi akan tersingkirkan.
ADVERTISEMENT
Mereka adalah 57 pegawai yang akan dipecat pada akhir bulan ini. Dari sekian nama itu, ada nama Harun Al Rasyid yang digelari raja OTT; Yudi Purnomo Harahap yang merupakan mantan Ketua Wadah Pegawai KPK; dan Novel Baswedan yang namanya sudah tidak asing di telinga.
Ini adalah masa-masa yang sulit bagi mereka. Bagi sang aktivis anti korupsi yang selama ini dikenal giat dan gigih memberantas korupsi. Mereka akan dibuang, didepak dan disingkirkan. Akankah ini adalah akhir dari perjuangan melawan korupsi?
Upaya Perlawanan
Ketika tahu 57 pegawai KPK akan diberhentikan, banyak pihak mulai melakukan upaya perlawanan. Dari aksi di jalanan, mengajukan judicial review ke MK, sampai melakukan pengaduan ke Ombudsman dan Komnas HAM.
ADVERTISEMENT
Upaya mengajukan judicial review UU KPK pasca revisi tidak menemui hasil yang memuaskan. Payung hukum peralihan status pegawai KPK menjadi ASN dinyatakan konstitusional. Tapi, dalam putusannya MK tidak membenarkan proses peralihan status pegawai KPK menjadi ASN merugikan hak setiap pegawai KPK.
Namun, pendapat hukum MK dalam putusan tersebut belumlah cukup untuk menyelamatkan pegawai KPK yang akan disingkirkan. Harus ada upaya ekstra yang dilakukan untuk menyelamatkan mereka. Sehingga, pihak-pihak yang merasa belum puas kemudian mengadukan proses pelaksanaan peralihan status pegawai KPK menjadi ASN kepada Ombudsman dan Komnas HAM.
Secercah harapan kemudian muncul. Ombudsman menyatakan terdapat praktik malaadministrasi dalam proses peralihan pegawai KPK menjadi ASN. Ada tiga malaadministrasi dalam temuan Ombudsman: pertama, pada proses pembentukan kebijakan proses peralihan pegawai KPK menjadi ASN; kedua, pada tahapan pelaksanaan peralihan pegawai KPK menjadi ASN, dan yang; ketiga terjadi pada tahap penetapan hasil asesmen tes wawasan kebangsaan atau TWK.
ADVERTISEMENT
Kejanggalan pada tahapan proses yang sama juga ditemukan oleh Komnas HAM. Lembaga ini mengungkap pelanggaran HAM yang terjadi pada proses Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Ada sebelas pelanggaran HAM yang terjadi, yakni: Hak atas Keadilan dan Kepastian Hukum; Hak Perempuan; Hak untuk Tidak Didiskriminasi; Hak atas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan; Hak atas Pekerjaan; Hak atas Rasa Aman; Hak atas Informasi; Hak atas Privasi; Hak atas Kebebasan Berkumpul dan Berserikat; Hak untuk Berpartisipasi dalam Pemerintahan dan; Hak atas Kebebasan Berpendapat.
Sayang beribu sayang, temuan Ombudsman dan Komnas HAM belum pula cukup menyelamatkan posisi pegawai KPK yang kini berada di ujung tanduk. Karena kedua lembaga ini sama sekali tidak memiliki kewenangan untuk memulihkan status pegawai KPK. Lantas, apa yang harus dilakukan?
ADVERTISEMENT
Mendesak Presiden
Satu-satunya harapan yang ada saat ini adalah mendesak Presiden Jokowi untuk memulihkan status pegawai KPK yang terancam dipecat. Sebab menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, Presiden selaku kepala pemerintahan adalah pimpinan tertinggi untuk urusan kepegawaian sehingga ia berwenang memulihkan status pegawai KPK.
Dalam pertemuan dengan sejumlah pemimpin redaksi media di Istana Kepresidenan, Presiden Jokowi menyatakan sedang menunggu Putusan MA dan MK sebelum mengambil keputusan terkait kisruh pemecatan pegawai KPK. Jika hal ini yang sedang ditunggu Presiden, maka pendapat hukum MK dalam putusan pengujian undang-undang KPK edisi revisi sudah terang benderang menyatakan bahwa proses alih status pegawai KPK menjadi ASN tidak boleh menebas hak-hak pegawai KPK. Dan kita tau jika Ombudsman dan Komnas HAM sudah mengungkap fakta terjadinya pelanggaran hak pegawai KPK dalam proses alih status pegawai KPK menjadi ASN.
ADVERTISEMENT
Demikian pula dengan MA pun yang sudah memutuskan jika tindak lanjut asesmen TWK KPK merupakan kewenangan Pemerintah. Jadi, apa lagi yang ditunggu Presiden Jokowi? Padahal, ia sendiri sebelumnya pernah membela pegawai KPK yang terancam dipecat dengan mengatakan jika hasil TWK tidak boleh dijadikan satu-satunya dasar pemecatan pegawai KPK.
Maka, kini sudah saatnya ucapan pembelaan itu berwujud dalam tindakan ketika Pimpinan KPK tak sedikit pun gentar membuang pegawainya yang tak lulus TWK. Tindakan yang diharapkan itu adalah menggagalkan upaya pemecatan pegawai KPK yang tinggal menghitung hari. Inilah yang sedang dinanti-dinanti oleh banyak pihak.
Rino Irlandi, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, anggota Asosiasi Mahasiswa Hukum Tata Negara Seluruh Indonesia (AMHTN-SI))