Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Cara Kerja Nadiem Berseberangan Jauh dengan Birokrasi
4 Agustus 2020 23:18 WIB
Tulisan dari Rinsan Tobing tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bisa jadi, dalam pembicaraan telepon antara Nadiem dan Jokowi, ketika penunjukannya bos Gojek itu menjadi menteri, mungkin kaya dan semerbak dengan hal-hal berbau teknologi. Teknologi yang diimajinasikan akan mendorong upaya-upaya perbaikan di sektor pendidikan di negara yang sedang bertarung keras dengan Corona ini.
ADVERTISEMENT
Pendidikan di Indonesia masih bisa dikatakan tertinggal. Kita tidak usah dulu berbicara pendidikan di tempat-tempat nun jauh negeri ini. Kota besar kita pun masih diliputi persoalan pendidikan yang tidak pernah usai. Persoalan kemampuan dan etika, serta masih tingginya tawuran pelajar dan masyarakat. Ini tentunya dapat diklaim sebagai cerminan pendidikan yang buruk.
Hal yang paling nyata dan sering sekali digunakan sebagai acuan yakni tingkat literasi dan tes-tes internasional lainnya. Meski tidak bisa dipungkiri, ada beberapa siswa Indonesia yang berprestasi internasional, tetapi itu hanyalah seperti debu dari sekitar 68 juta siswa Indonesia saat ini, yang bernaung di bawah sistem pendidikan yang tidak pernah berkembang.
Persoalan-persoalan yang telah ditangkap Nadiem akan diselesaikan dengan semangat muda, kreativitas dan juga teknologi yang memudahkan. Setidaknya, itu dapat digambarkan sedemikian karena latar belakang Nadiem yang memang luar biasa. Pria, kelahiran Singapura pada 1984, ini pastinya langsung menggerakkan pikiran dan rancangan yang dibantu teknologi, technology-assisted design.
ADVERTISEMENT
Bolehlah kita menggunakan istilah itu. Teknologi yang membantunya di perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pada gilirannya akan memajukan pendidikan di Indonesia. Ada juga staf ahlinya yang mumpuni lulusan universitas terbaik dunia, Harvard dan Wharton, yang juga milenial. Fresh mind, tenaga kencang dan segudang keahlian di bidang teknologi serta pengalaman di luar negeri dan membawahi perusahaan unicorn, tentunya menjadi modal dan jaminan bagi bakal berkembangnya sektor pendidikan di Indonesia.
Kecele di Awal
Seperti yang diyakini orang kebanyakan, kadang impian tidak seindah kenyataan. Mimpinya mau ke bulan, naik sepeda pun tidak bisa. Keinginannya mau kaya, tetapi modal pun tidak punya. Keinginan memajukan sektor pendidikan, modal sudah punya, kemampaun ada, tetapi nyatanya, tetap tidak bisa bergerak. Ini malah lebih parah. Termasuk kejadian terbaru di bawah Kementerian Pendidikan.
ADVERTISEMENT
Nadiem pastinya tidak pernah menyangka dalam tidur lelap dan mimpi indahnya bakal mengalami ‘tragedi’ program Guru Penggerak. Program ini merupakan penerjemahan dari metoda Merdeka Belajar. Secara konsep memang sangat bagus. Guru Penggerak dicita-citakan untuk memajukan pendidikan Indonesia dengan menciptakan pembelajaran yang berpusat pada murid. Program ini juga ingin mewujudkan sebuah lingkugan pembelajaran yang lebih baik. Program ini menempatkan murid sebagai center of the universe-nya.
Tidak diketahui persis, apakah Nadiem ikutan dengan kebiasaan lama. Setiap Menteri baru akan mencipatakan sesuatu yang baru. Tetapi, konsep Merdeka Belajar dan Guru Penggerak tidak lebih dari pembaruan istilah saja. Dari jaman dulu, pendidikan selalu dicita-citakan menciptakan anak didik yang merdeka dan mandiri serta berakhlak tinggi.
ADVERTISEMENT
Program ini dijalankan dengan melibatkan banyak lembaga di luar kementerian. Organisasi non-pemerintah ini akan memberikan pelatihan kepada guru dan kepala sekolah di tiga tingkatan. Pemerintah menyediakan pendanaan dan juga modul-modulnya. Dengan demikian terjadilah proses pembelajaran yang lebih variatif sesuai dengan karakter masing-masing organisasi. Terdapat lebih dari 100 organisasi yang dilibatkan.
Sebelum berbunga dan berbuah, program Guru Penggerak ini menuai kontroversi dan menjadi diskusi publik. Proses yang tidak transparan dan jelas menjadi salah satu alasan keluarnya dua organsiasi besar yang menjadi pemenangnya, yakni dari Muhammadyah dan Nahdatul Ulama. Bahkan dari pihak Nahdatul Ulama menyampaikan bahwa ada kesan mereka dipaksakan menjadi pemenang. Prosesnya terpilihnya terjadi di last minute.
Ternyata, apa yang diimpikan Nadiem tidak seindah kenyataannya. Sang menteri muda, yang tahun ini akan berusia 36 tahun, harus melakukan klarifikasi dan selanjutnya meminta maaf bagi para peserta. Lalu beliau juga berjanji untuk memperbaikinnya. Damage has been done. Tidak mungkin ini tidak masuk radar Jokowi. Jabatan belum genap setahun, sudah harus mendapat masalah.
ADVERTISEMENT
Sistem tidak Kompatibel
Sistem dan cara kerja di Gojek dan birokrasi tentu tidak sama. Sebuah budaya telah terbangun, mungkin jauh sebelum Nadiem lahir, yang membentuk birokrasi di Indonesia. Dari jaman sebelum Jokowi, reformasi Aparat Sipil Negara telah dilakukan. Tetapi tidak berhasil. Sistem yang sudah terbangun menolak menyesuaikan. Penolakan karena kenyamanan sudah terbangun sekian lama.
Bahkan bisa dikatakan, terjadi semacam proses ‘pembusukan’ di dalamnya. Harus kita akui, menjadi aparat pemerintah tidak mudah. Pastinya diperlukan kepintaran. Tetapi, itu tidak tercermin pada kondisi pendidikan kita dan juga kejadian dengan program Guru Penggerak. Birokrasi tua ini bisa dijadikan tertuduh.
Sistem berteknologi canggih yang hendak diterapkan Nadiem tentunya dapat memecahkan persoalan ini. Akan tetapi, Nadiem lupa, sehebat apa pun sebuah sistem, pastinya tetap tergantung kepada manusia. Manusia masih bisa memencet tombol on dan off sebuah sistem itu.
ADVERTISEMENT
Di swasta, Nadiem sanggup mendisiplinkan ribuan staf dengan mudah. Ketergantungan menjadi kata kuncinya. Ada sistem stick and carrot disana. Semua diatur sedemikian rupa dan yang diatur manut. Karena tali pengikat karyawan dengan perusahaan sangat tipis. Hari ini masih bekerja, besok bisa jadi tidak. Tahun ini masih dikontrak, tetapi tahun depan belum tentu. Tidak berkinerja, besok sudah harus mencari kerja lagi.
Tidak demikian halnya dengan birokrasi. Sistem yang sangat berjenjang dan penuh dengan aturan, karena memang perlu untuk mengatur ukuran besar tanpa metode stick and carrot ini, sudah terbangun puluhan tahun lamanya. Nadiem tidak akan bisa menghentikan bawahannya yang tidak bisa bekerja. Paling bisa, mereka hanya digeser. Mereka tetap mendapatkan gaji dan tunjangan. Sebuah prestasi bisa jadi tidak mendapatkan pengakuan jika tidak mendekati puncak menara gading birokrasi. Tidak ada sistem yang memungkinkan memberikan tekanan yang cukup keras agar bekerja dengan serius.
ADVERTISEMENT
Nadiem juga tidak bisa buru-buru menerapkan sistem teknologi yang dirancang. Karena tentunya dia tidak bisa bekerja sendiri. Terlebih jika sistem itu hanya akan menggantikan kenyamanan, maka sistemnya itu akan ditolak mentah-mentah.
Kejadian dengan Guru Penggerak setidaknya dapat membuktikan dua hal, pertama, bahwa Nadiem belum bisa menerapkan teknologi tersebut. Hal kedua, Nadiem tidak punya pengalaman dan pemahaman terkait birokrasi yang sudah berkarat. Pemaksaan teknologi hanya akan menjadi sia-sia.
Teknologi bukanlah sesuatu yang dirayakan dalam sistem birokrasi pemerintah. Sistem yang mempercepat proses ini akan mengurangi jumlah dan juga terjadi penghematan serta keterbukaan. Ini tentunya bukan hal yang ‘diinginkan’ para birokrat disana. Jika semuanya terbuka, Nadiem memang akan mudah mengaturnya. Sayangnya tidak demikian.
ADVERTISEMENT
Sistem yang berlaku dibirokrasi tidak selaras dengan budaya dan sistem yang dibayangkan Nadiem. Akhirnya, Nadiem harus meminta maaf. Mungkin, jika Nadiem tidak bisa mendobraknya, dia akan meminta maaf lagi di lain hari. Sistem yang dibawa Nadiem dan dukungan muda cemerlang yang dibawanya, hanya akan terbentur dengan sistem birokrasi yang sudah kapalan yang ada di tempat Nadiem sekarang.