Demokrasi dengan Partai Politik yang Tidak Demokratis

Monang Tobing
Pengamat Kejadian Publik
Konten dari Pengguna
6 Agustus 2020 23:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Monang Tobing tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi partai politik. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi partai politik. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Terbayang sebuah teriakan serentak yang aklamatif menyeru dari setiap paru-paru anggota partai yang hadir di Rapat Kerja Nasional mereka. Pastinya lokasinya di ruang pertemuan besar, yang biasanya di sebuah hotel.
ADVERTISEMENT
Teriakan seirama untuk memilih ketua partai baru. Ketua partai baru tetapi stok lama. Sepertinya, ada sebuah kesepakatan yang tulus dan mulus untuk menentukan kepemimpinan partai. Biasanya untuk lima tahun berikutnya. Proses yang kadang di awal dimulai dengan sedikit drama, namun berakhir lancar dan jaya karena kepemimpinan ketua baru tersebut. Begitulah kemungkinan jawaban jika ditanyakan alasan terjadinya aklamasi dalam pemilihan ketua partai.
Proses yang sama terjadi hampir di semua partai politik. Pemimpin-pemimpin yang selalu menjuarai kepemimpinan partai politik merupakan orang yang sama. Pemimpin yang dianggap paling mampu dari kader-kader partai. Kader yang kadang disebut juga petugas partai, tidak memiliki kecakapan memimpin partai. Padahal, kata kader itu seharusnya diikuti dengan kata kaderisasi. Sebuah proses membangun keberlanjutan kepemimpinan sebuah partai dari anggota yang kapasitasnya ditingkatkan secara sistematis dan terprogram. Tujuannya, agar partai tetap berjaya di setiap musim dan pesta politik.
ADVERTISEMENT
Tidak ada proses berjenjang dalam pemilihan ketua partai. Jika pun ada, hanyalah untuk membedaki muka agar tampak mulus. Selalu hanya ada calon tunggal yang dimajukan dan dipilih secara bulat tanpa ada penyimpangan sedikit pun. Padahal, secara keilmuan, standar deviasi itu selalu ada. Tidak mungkin bulat seratus persen. Pasti ada yang berbeda pendapat. Tetapi, tampaknya itu tidak berlaku di partai politik Indonesia. Mungkin mereka malas untuk memilih. Mungkin juga sudah dipastikan kalau masih ingin di partai, pastikan manut dengan ketua.
Jika pun ada pemimpin partai baru dengan wajah baru, prosesnya tidak dilakukan juga dengan mulus, tidak demokratis. Kecuali kita menerima bahwa perkelahian merupakan bagian dari demokrasi. Ada gontok-gontokan yang seru. Kursi melayang dan adu fisik terjadi. Alih-alih adu argumentasi, yang ada adalah proses banal.
ADVERTISEMENT
Tidak ada rasa malu untuk benar-benar melaksanakan sistem yang membuatnya berada pada titik itu. Sistem demokrasi yang telah dicoba dianut sejak merdeka. Meskipun, untuk menghindari dicap tidak demokratis, diciptakanlah demokrasi Pancasila. Demokrasi di Indonesia itu adalah demokrasi Pancasila. Tidak murni bulat-bulat diterjemahkan seperti demokrasi yang digadang-gadang Amerika. Negara yang menganggap dirinya kampiun demokrasi itu.
Semua proses pemilihan ketua partai, tidak mencerminkan sebuah proses demokrasi. Jika pun aklamasi dianggap bagian dari demokrasi, akan kemudian menjadi aneh, jika mengakui prosesnya itu sebagai produk demokrasi. Terlebih, orang yang sama memimpin untuk jangka waktu yang lama, bahkan seumur hidup, bukanlah wajah demokrasi. Itu sama saja dengan Kim Jong Un mengatakan negaranya, Korea Utara, juga merupakan negara demokratis. Hanya karena telah melakukan pemilu. Pemilu yang menghasilkan suara seratus persen memilihnya. Kim Jong Un bersabda bahwa negaranya demokratis. Lalu negara lain tertawa-tawa. Tampak seperti itulah partai politik di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kemudian menjadi aneh tapi nyata, jika kita menerapkan sistem demokrasi melalui pilarnya partai politik yang sama sekali tidak menerapkan prinsip demokrasi itu sendiri. Demokrasi dimaknai adanya proses terbuka dan mendengarkan suara dari rakyat. Jika di partai politik, mendengarkan suara dari bawah bahkan yang berbeda sekalipun. Sangat meragukan jika ada klaim yang mengatakan selama bertahun-tahun akar rumput akan tetap memilih ketua yang itu-itu saja. Jika itu terjadi, berarti sistem itu tidak demokratis sama sekali. Itu sistem yang oligarkis.
Dengan gambaran yang demikian, semakin sulit membayangkan Indonesia berada dalam sistem yang demokratis. Meskipun kita harus mengakui bahwa, seperti disampaikan Socrates, demokrasi bisa memunculkan apa saja, termasuk ‘demon’. Setidaknya dapat dimaknai seperti itu.
ADVERTISEMENT
Demokrasi bisa memunculkan demagog. Sehingga Socrates sampai pada tahap meragukan sistem demokrasi akan menciptakan kebaikan. Pada satu titik, Socrates membenci demokrasi. Seperti gambaran yang terjadi hari ini pada partai politik di Indonesia. Pemimpin memimpin seumur hidup. Sudah mirip Vladimir Putin di Rusia. Juga Xi Jinping di China sana. Bahkan, Erdogan pun berusaha mendapatkan juara selalu di pemilihan umum agar menjadi pemimpin seumur hidup di Turki. Pemimpin yang baru-baru ini bikin heboh, dengan mengubah Hagia Sophia dari museum menjadi mesjid.
Jika kemudian partai-partai ini hendak mengajak rakyat melakukan pesta demokrasi, seharusnya mereka melihat ke dalam dulu. Meskipun semua tahu bahwa rakyat hanya diperlukan sesaat. Sesaat agar prinsip demokrasi tampak seperti telah dilakukan. Fakta ini berulang terus. Sejak Soeharto melambaikan tangan dan membawa kopernya dari istana, tidak sekali pun proses demokrasi terjadi di partai politik. Partai politik bahkan telah menjadi domain orang atau keluarga tertentu.
ADVERTISEMENT
PDIP lekat dengan trah Soekarno. Hanya trah presiden pertama itu saja yang layak menjadi pemimpin partai itu. Partai-partai baru juga demikian kelakuannya. Partai Demokrat harus memiliki nama Yudhoyono untuk dapat memimpin. Tentunya Yudhoyono asli, bukan palsu. Harus ada cap Cikeas untuk menentukan Yudhoyononya kualitas pertama. Di Gerindra, tidak berbeda. Sepanjang hidup Prabowo, Gerindra akan selalu berada di bawah kendalinya. Tidak akan berubah. Sistem di partai yang lain sama juga. Proses yang tidak demokratis. Selalu ada ‘pertarungan’ dua kubu yang berakhir dengan keributan. Jika tidak aklamasi, maka pasti akan pecah.
Kita dengan begitu tidak bisa berharap banyak dengan partai politik ini. Sistem yang diharapkan akan demokratis, tidak mungkin dapat dilaksanakan partai politik yang di darahnya mengalir sistem yang tidak demokratis. Perlu kemudian melakukan definisi ulang sistem demokrasi di Indonesia. Bisa jadi demokrasi monopolistis. Nama demokrasi oligarkis juga mungkin menarik. Demokrasi Pancasila pun sepertinya tidak. Agak susah menemukan nilai-nilai Pancasila di dalam sistem demokrasi kita sekarang. Jika diterapkan nilai-nilai Pancasila, yang sebenar-benarnya, wajah partai politik yang menghasilkan kepada daerah yang koruptif tidak akan muncul. Sistem kepartaian yang menciptakan politik transaksional tidak akan mewujud. Sistem kepemimpinan partai yang tidak terbatas akan berakhir.
ADVERTISEMENT
Masih akan panjang perjalanan demokrasi di Indonesia. Demokrasi yang diimajinasikan seperti terjadi di kota Athena. Atau, mungkin demokrasi itu hanyalah sebuah ilusi. Demokrasi tidak mungkin dilakukan murni, terlebih lagi suara-suara rakyat telah diwakilkan kepada orang-orang yang mengabdi dan patuh kepada partai politik yang sama sekali tidak menerapkan demokrasi itu sendiri.