Politik Amnesia

Monang Tobing
Pengamat Kejadian Publik
Konten dari Pengguna
29 Februari 2024 22:37 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Monang Tobing tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Penganugerahan pangkat Jenderal (HOR). Jokowi sepertinya lupa dengan sejarah. Politik amnesia menjadi mengemuka.
zoom-in-whitePerbesar
Penganugerahan pangkat Jenderal (HOR). Jokowi sepertinya lupa dengan sejarah. Politik amnesia menjadi mengemuka.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dengan suara yang sangat lantang dan menderu, Prabowo memuji-muji kinerja Presiden Jokowi di masa kampanye pemilihan presiden lalu. Kerja-kerja Jokowi memang luar biasa dan membius banyak masyarakat Indonesia. Di periode kampanye lalu, Prabowo seperti lebih menonjolkan Jokowi dari pada dirinya sendiri. Banyak orang kemudian berfikir bahwa Prabowo tidak memiliki prestasi yang layak ditonjolkan sebagai bahan jualan kampanyenya.
ADVERTISEMENT
Menilik ke belakang, dimana pada pemilihan presiden 2014 dan 2019, Prabowo merupakan rival dari Jokowi. Secara telak, dua kali Jokowi mengalahkan Prabowo. Pada masa itu, Prabowo benar-benar menggunakan berbagai cara dengan nada yang cenderung jauh dari memuji Jokowi. Semua kesalahan dunia ini seperti ditumpahkan pihak Prabowo kepada Jokowi. Semua keburukan ditancapkan secara mantap kepada Jokowi, meski Jokowi tidak bergeming.
Apa yang terjadi di 2014, 2019 dengan 2024 sangat jauh berbeda. Seperti bumi dan langit. Prabowo seperti sudah melupakan seluruh yang dia uarkan terkait Jokowi. Mulai dari antek asing, planga-plongo, komunis, anak haram dan berbagai tuduhan lainnya, menjadi hal yang dikenakan ke Jokowi. Prabowo, yang bahkan pernah ditolak oleh Amerika untuk memasuki negaranya, karena dugaan terkait pelanggaran hak azasi manusia, bisa melenggang dengan sukses di 2024, salah satu kemungkinannya karena lupa dengan yang lalu.
ADVERTISEMENT
Tampaknya semua cerita 2014 dan 2019 seperti tidak berbekas. Seperti tidak ada rasa yang mengganjal ketika di 2024, Jokowi dan Prabowo bahkan bersanding saling mesra membangun jalan super mulus menuju kekuasaan. Terlebih lagi, Jokowi baru-baru ini menganugerahkan pangkat jenderal penuh kepada Prabowo. Cerita pemecatan Prabowo di 25 Agustus 1998 seperti hilang dari ingatan para elit Indonesia yang mendukung penganugrahan ini. Tangisan Ibu dan Bapak yang anaknya hilang di masa reformasi 1998 itu belum kering. Kegiatan Kamisan menjadi selalu pengingat akan hilangnya nyawa anak-anak muda yang meneriakkan kebebasan. Pemberian gelar jenderal kehormatan kepada Prabowo seperti menghilangkan semua kisah kelam 1998 itu.
Semua cerita kusam masa lalu seperti tertelan bumi dan hilang entah kemana. Apa sebetulnya yang sedang terjadi. Apakah itu hanya bagian dari sebuah sandiwara? Atau memang, apa yang keluar dari mulut para politikus itu sama seperti kertas tisu? Gunakan, buang dan lupakan. Seperti itu kah politik di negeri kita?
ADVERTISEMENT
Masa Lalu Berbahaya
Politik memang aneh dan tidak selalu dapat dimengerti semua orang. Seorang politikus hari ini, dengan segala ucapan dan perkataannya, dapat berubah dalam waktu singkat. Ucapan, sikap, pandangan dan semua tentangnya dapat berbeda jauh. Kita harus menerima kenyataan ini. Sudah seperti itu politik itu. Mereka seperti orang-orang yang gampang lupa. Mereka seperti orang-orang yang mengalami amnesia. Orang lupa dengan siapa dirinya kemarin. Seakan-akan kesadarannya dan pengetahuannya, serta memorinya terhapus begitu saja. Seperti ada virus yang menghancurkan segala data-data yang tersimpan di super storage di otaknya. Para politikus ini seperti kehilangan konteks masa lalunya. Para politikus ini seperti mengalami amnesia. Politik di negeri ini menjadi semacam politik amnesia.
Semua yang terjadi masa lalu, tidak akan pernah muncul lagi di masa kini. Semua harus dilupakan. Ada yang jauh lebih menarik dan menantang dari pada sekedar mengingat-ingat masa lalu yang bisa merugikan. Ada magnet kekuasaan, kedudukan, kepentingan yang menawarkan kenyamanan, kekayaan dan kontrol atas apa pun. Kontrol atas sumber daya yang menjanjikan kekayaan tidak bertepi. Semuanya ini menjadi hal yang sangat menggoda, dan sangat sayang sekali jika harus digantian dengan kenangan masa lalu. Tidak apa-apa berganti wajah, toh masih banyak topeng dijual di pinggir jalan. Ragam warna, ragam bentuk, ragam rasa. Para politisi itu tinggal memilih saja.
ADVERTISEMENT
Dalam salah satu bukunya, Laura Tingle - seorang jurnalis politik televisi ABC di Quartelly Essay, berjudul Political Amnesia: How We Forgot to Govern (2015), menyatakan bahwa amnesia politik ini sangat berbahaya bagi bangsa. Ketidaksinambungan memori dapat membelokkan tujuan dan cita-cita mulia satu bangsa. Seperti di dalam tulisannya tentang pemerintah Australia, bahwa politik amnesia ini mengakibatkan ketidaksinambungan mencapai tujuan bangsa. Kondisi masa lalu, membahayakan seperti ancaman bagi posisi sekarang. Bagi para politikus itu, masa lalu adalah bahaya.
Seperti dikisahkan Laura dalam bukunya tersebut, di masa kerajaan Romawi dulu, Publius Cornelius Tacitus atau yang disebut Tacitus saja (56 AD), seorang politikus dan sejarawan di masa Kaisar Agustus, mencatat bahwa pada masa itu orang-orang Romawi merasakan penting menciptakan rasa aman saat ini (safety of the present). Hadirnya rasa aman, dengan harga apa pun. Dengan demikian, masa lalu harus dihapuskan. Dihapuskan dengan segala macam cara yang mungkin. Disampaikan Tacitus, bahwa mengingat-ingat masa lalu akan menciptakan sentimen yang sangat berbahaya, sembari Sang Kaisar membawa semua kekuatan ke dalam tangannya, membungkam mereka yang bangkit melawan kekuasaannya, mencoba menyuap mereka yang bisa disuap. Lebih lanjut Tacitus berkata, “Jauh lebih mudah untuk melupakan”.
ADVERTISEMENT
Indonesia, sebuah negara dengan semboyan negri makmur loh jinawi ini sedang mengalami sesuatu yang sama sekali tidak menguntungkan negeri ini. Politik Amnesia sedang dijalankan di negeri dengan penduduk terbanyak kelima sejagat. Bahkan, masyarakat seperti menerimanya saja. Tidak ada gejolak yang memadai. Tidak muncul gerakan-gerakan yang memprotes keadaan ini. Para pengamat, yang tentunya mereka yang berseberangan dengan Jokowi, memang berteriak terjadinya keadaan yang sangat berbahaya bagi negeri. Adian Napitupulu, bahkan dalam media sosialnya sangat menyayangkan pemberian gelar jenderal bagi Prabowo. Jokowi memberikan gelar itu sembari melupakan segala sesuatu yang dulu pernah terjadi di negeri ini.
Kisah dan para pelakon politik amnesia ini memang masih akan terus melenggang. Para pelaku politik amnesia ini tidak hanya terjadi di tingkat paling elit. Tetapi juga di bawahnya. Partai-partai bahkan memasukkan calon anggota legislatif mereka dari para pelaku korupsi. Dan lagi-lagi, partai terbanyak mencalonkan narapidana korupsi adalah Gerindra, partainya Prabowo.
ADVERTISEMENT
Lalu Kita Bisa Apa
Sialnya, kita sebagai rakyat tidak bisa berbuat banyak. Pertarungan hidup mati dalam kondisi ekonomi yang menjadi sulit, dengan segala tekanan dari kenaikan harga bahan-bahan penopang kehidupan menjadi pengalih fokus. Cerita disana-sini terkait harga yang semakin mahal menjadi pusat perhatian rakyat, bukan politikus. Rakyat juga masih dijejali dengan berbagai kenaikan lain. Pajak kendaraan yang masih akan naik. Bahan bakar pasti masih akan naik.
Selanjutnya, kita akan menyaksikan betapa politik amnesia ini tidak akan membawa kita kemana-mana. Mereka akan melupakan masa lalu. Lalu, mereka juga akan melupakan kita, rakyat yang menempatkan mereka mengarungi politik amnesia ini. Rakyat yang mereka cintai sesaat dan lalu melupakannya.