Polusi Mental

Monang Tobing
Pengamat Kejadian Publik
Konten dari Pengguna
1 Maret 2024 23:22 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Monang Tobing tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Polusi Mental, dipicu oleh berbagai polutan mental yang terjadi sejak kita kecil dan berakumulasi, yang bersumber dari berbagai hal dalam hidup kita. Sumber: Merdeka.com
zoom-in-whitePerbesar
Polusi Mental, dipicu oleh berbagai polutan mental yang terjadi sejak kita kecil dan berakumulasi, yang bersumber dari berbagai hal dalam hidup kita. Sumber: Merdeka.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sangat menggetarkan jiwa. Ungkapan ini mungkin sangat tepat untuk menggambarkan perasaan, kondisi atau pemikiran dari masyarakat ketika menyaksikan cuplikan video itu. Video itu menyajikan pemandangan, yang dalam pandangan awam dan nilai-nilai umum, sebagai sadis. Bagaimana tidak? Seorang anak melakukan kekerasan yang luar biasa kepada teman sebayanya. Kekerasan yang sebelumnya tidak terbayangkan dapat dilakukan seorang anak, dan kala itu masih pelaku masih berbalut seragam sekolahnya. Hal yang paling membuat miris yakni ketika pelaku kekerasan tersebut berfoto dengan latar belakang korban yang sudah terkapar. Tampak seperti sebuah momen selebrasi. Tidak ada kesan menyesal. Tampak hanya rasa puas. Kejadian itu di Cilacap, beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
Satu lagi kejadian yang menghentak perasaan dan pikiran masyarakat adalah kekerasan yang dilakukan seorang anak muda kepada seorang anak lainnya, yang katanya terkait perkara asmara. Kekerasan yang melibatkan anak pejabat di sebuah kementerian yang mengurusi uang negara. Lagi-lagi, setelah melakukan penyiksaan tiada tara yang mengakibatkan korban koma, pelaku melakukan selebrasi. Sepertinya ada yang salah.
Itu hanyalah 2 cerita kekerasan yang disajikan. Namun, faktanya kekerasan terjadi setiap hari. Kekerasan sepertinya telah menjadi menu harian masyarakat kita saat ini. Kekerasan tidak hanya terjadi di jalanan, di lingkungan terdekat pun terjadi. Bahkan, di lingkungan yang seharusnya tidak selayaknya kekerasan ini terjadi, yakni di sekolah dan kampus. Pelaku bisa siapa saja; anak-anak, remaja, orang dewasa, perempuan, pejabat, pemimpin, seorang ibu, seorang ayah, dan bahkan pengasuh. Sungguh-sungguh memilukan. Kondisinya, sudah darurat.
ADVERTISEMENT
Dalam catatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, selama tahun 2023, telah terjadi 29.883 kejadian kekerasan. Sementara di Januari hingga Februari 2024, telah terjadi 3.299 kejadian kekerasan. Dengan melihat kekerasan demi kekerasan yang disajikan berbagai media, tampaknya angka ini akan besar juga di 2024. Perlu dicatat, angka yang tertera itu tidak menunjukkan realitasnya. Tersebab, banyak juga korban yang tidak melaporkan melalui jalur kementerian ini. Dalam data ini, disajikan kekerasan paling banyak terjadi di keluarga. Kekerasan seksual merupakan kekerasan yang paling sering terjadi, mencapai Juga terdapat korban yang mengalami lebih dari dua kekerasan. Kekesaran yang dicatat yakni kekerasan fisik, psikis, seksual, eksploitasi, perdagangan manusia, dan penelantaran. Sungguh sebuah catatan suram negeri ini.
ADVERTISEMENT
Pemicu Kekerasan
Apa yang memicu seseorang melakuan kekerasan? Menurut American Academy of Child and Adolescent Psychiatry, beberapa penyebab seseorang melakukan kekerasan yakni salah satunya pelaku pernah jadi korban kekerasan. Selain itu, beberapa faktor lainnya seperti mengalami bullying, adanya paparan kekerasan di lingkungan terdekatnya seperti rumah dan komunitas tempat tinggal, terpapar dengan gambar-gambar kekerasan di berbagai media termasuk media online, dan kombinasi kondisi sosial-ekonomi keluarga termasuk kemiskinan, keretakan rumah tangga, orang tua tunggal, kondisi pengangguran, dan hilangnya dukungan dari keluarga besar.
Sementara itu, aspek psikologisnya ternyata berpengaruh, seperti diutarakan di situs Virginia Commonwealth University, Amerika Serikat, kekerasan dipicu oleh emosi negatif seperti kemarahan dan ketakutan. Namun, fakta lain, emosi positif juga memicu kekerasan, seperti disampaikan oleh Nathan Dewall, Ph.D, ahli psikologi dari Universitas Kentucky. Dia menyatakan bahwa emosi positif terkait kekuasan dan dominasi memicu seseorang melakukan kekerasan. Hal ini dipicu oleh karena perasaan baik atau nyaman setelah melakukan sesuatu, termasuk kekerasan itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Lalu, apa yang harus dilakukan. Lebih lanjut, disampaikan bahwa kontrol diri merupakan faktor penting untuk mengatasi kekerasan ini. Kemampuan mengontrol diri untuk berhenti ketika ada dorongan untuk melakukan kekerasan yang dapat merusak dan merugikan. Disinilah letak masalahnya.
Melihat dari penjelasan di atas, perlu dipahami bahwa kekerasan terjadi ketika lepasnya kontrol dimana seseorangD tidak dapat melakukan pengendalian emosi, yang selanjutnya menghilangkan kemampuan untuk menganalisa, berfikir, dan menghentikan suatu dorongan kuat melakukan kekerasan. Emosi yang meledak tanpa terkendali, dan mendorong otak secara cepat untuk melakukukan tindakan kekerasan, sangat erat dengan kondisi kestabilan mental kita. Dalam kondisi ini, dapat dikatakan mental kita sedang tidak sehat.
Polutan Mental
Seseorang dikatakan memiliki mental sehat, sesuai dengan kriteria yang digariskan oleh World Health Organization, organisasi di bawah PBB yang menangani kesehatan, yakni 1) mampu mengatasi tekanan hidup yang terjadi; 2) dapat bekerja produktif; 3) menyadari potensi yang dimiliki; 4) berkontribusi positif terhadap masyarakat. Selain itu, ada juga yang mengaitkan dengan kemampuan menerima berbagai perasaan dan memahami realitas.
ADVERTISEMENT
Menganalisa kekerasan yang dilakukan dengan kriteria-kriteria mental sehat seperti dijabarkan di atas, dapat dikatakan bahwa pelaku kekerasan mengalami berbagai gangguan yang mengakibatkan mentalnya terdisrupsi, sehingga tidak mampu mengatasi persoalan dan kekerasan menjadi jalan keluar yang dipilih. Hal ini juga berkaitan dengan ketidakmampuan untuk menerima berbagai perasaan. Perasaan marah, tertekan, dendam, ingin menguasai, ingin mendominasi, dan perasaan negatif lainnya, tidak bisa dikendalikan. Mencerna realitas juga tidak dapat dilakukan.
Mentalnya telah terpolusi oleh berbagai polutan mental yang bisa muncul dari mana saja dan terakumulasi sejak dari masa kecil hingga dewasa. Kumpulan polutan mental ini, seperti disampaikan di atas, membunuh berbagai kapasitas yang menjadikan mental seseorang terganggu. Polutan-polutan mental ini, nyata-nyatanya sangat banyak dan terjadi dalam waktu yang tiada henti.
ADVERTISEMENT
Paparan kekerasan di ruang-ruang tertutup dan maya dapat berkontribusi pada gangguan mental seseorang. Perilaku buruk yang diterima pada masa lampau juga berkontribusi. Bisa jadi, kekalahan calon presiden pilihan termasuk pemicu. Kebijakan pemerintah yang buruk juga bisa menjadi polutan ini. Kehidupan yang makin sulit, membuat jiwa goyah. Polutan-polutan penyebab polusi mental ini berseliweran masuk ke jiwa-jiwa kita tanpa ada penghalang. Disini letaknya kita harus membangun kapasitas kita seperti yang diuraikan pada kriteria kesehatan mental.
Lingkungan tentunya menjadi faktor juga. Lingkungan bisa di keluarga, masyarakat, kantor dan lokasi-lokasi kita berkegiatan dan bersosialisasi, harus menjadi tempat yang subur untuk menghilangkan polutan mental. Ujungnya, kesehatan mental terjaga, dan polusi mental dapat dimitigasi. Pada gilirannya, kekerasan dapat dikurangi, bahkan harapannya, kekerasan dapat dihilangkan.
ADVERTISEMENT