Konten dari Pengguna

Mengulik Relasi Penampilan, Pakaian, dan Pendidikan

Rintan Dwi Anggraini
Mahasiswi Pendidikan Teknik Busana, Universitas Negeri Yogyakarta
15 Oktober 2024 11:26 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rintan Dwi Anggraini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi siswa-siswi menggunakan seragam sekolah dari berbagai jenjang pendidikan. (Sumber: Akun resmi Instagram @kemdikbud.ri)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi siswa-siswi menggunakan seragam sekolah dari berbagai jenjang pendidikan. (Sumber: Akun resmi Instagram @kemdikbud.ri)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Coba bayangkan seorang siswa datang ke sekolah dengan rambut acak-acakan, pakaian lusuh, dan sepatu yang sudah usang. Di sisi lain, seorang siswa lainnya muncul dengan penampilan rapi, seragam licin, dan sepatu mengilap. Hanya dengan pengamatan visual, kita mungkin sudah memiliki persepsi mengenai siapa yang disiplin dan siapa yang akan berhasil. Tapi apakah penampilan benar-benar berkaitan dengan kualitas pendidikan atau karakter seseorang?
ADVERTISEMENT
Kita sering kali tertipu oleh penampilan. Tidak sedikit pencuri uang rakyat yang tampil necis dalam balutan jas mahal, seolah-olah profesionalisme dan integritas adalah bagian dari diri mereka. Namun, apakah pakaian yang rapi tersebut mencerminkan kepribadian mereka yang sebenarnya? Jika orang dewasa saja bisa menyembunyikan tabiat buruk di balik penampilan, bagaimana kita bisa yakin bahwa seragam rapi di sekolah mampu menciptakan disiplin dan prestasi?
Di balik penampilan ini, ada aturan, sejarah, dan bisnis besar yang bermain di dunia pendidikan Indonesia. Dari seragam yang wajib dibeli di toko tertentu hingga kebijakan berpakaian yang mengundang pertanyaan, seperti apakah seragam masih relevan, ataukah kita seharusnya meniru negara yang memberikan kebebasan berpakaian di sekolah? Apakah disiplin dalam berpakaian sejalan dengan disiplin dalam belajar? Atau justru aturan seragam ini memperburuk akses pendidikan bagi mereka yang kurang mampu?
ADVERTISEMENT
Penampilan siswa dan tenaga pengajar dapat memengaruhi pandangan orang lain di lingkungan pendidikan. Ketika seorang tenaga pengajar tampil rapi dan profesional, timbul kecenderungan bahwa murid dan rekan kerja akan lebih menghargai serta memersepsikan mereka sebagai sosok yang kompeten. Sedangkan penampilan siswa yang rapi juga sering dianggap mencerminkan disiplin. Namun, apakah penampilan rapi selalu identik dengan prestasi atau kualitas pendidikan? Di sinilah perdebatan mulai muncul.
Berdasarkan realitas yang kini ada di suatu negeri bernama Indonesia, banyak sekolah yang menerapkan aturan bahwa peserta didik harus berpenampilan rapi, rambut pendek bagi laki-laki, tanpa make-up berlebihan bagi perempuan. Alasan yang sering digunakan adalah menciptakan suasana belajar yang kondusif dan mendidik disiplin. Namun, apakah ini benar-benar meningkatkan kualitas pendidikan? Atau hanya menciptakan homogenitas tanpa memerhatikan kebutuhan individu?
ADVERTISEMENT
Bila kita menilik sejarah seperti yang dituliskan oleh Darmaningtyas dalam bukunya “Pendidikan yang Memiskinkan”, ketentuan seragam sekolah mulai diberlakukan pada masa Pembangunan Lima Tahun (Pelita) III di era Orde Baru. Sejak saat itu, seragam sekolah menjadi bagian penting dari kehidupan pendidikan di Indonesia. Dan kini berdasarkan Pasal 3 Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 50 tahun 2022, jenis pakaian seragam sekolah diatur menjadi dua kategori yaitu pakaian seragam nasional dan seragam pramuka. Selain itu, sekolah juga memiliki kewenangan untuk menetapkan seragam khas sekolah bagi peserta didik. Namun, apakah keberadaan seragam sekolah benar-benar berkontribusi pada peningkatan kualitas pendidikan? Atau justru hanya sekadar simbol tanpa pengaruh signifikan terhadap proses belajar mengajar?
ADVERTISEMENT
Faktanya seragam bukan penentu kualitas pendidikan. Mari kita tinjau konsep berpakaian dalam dunia pendidikan di beberapa negara maju. Amerika Serikat, Finlandia, hingga Jerman membebaskan siswa untuk memilih pakaian mereka sendiri ke sekolah. Konsep ini dilandasi oleh kebebasan berekspresi dan mendorong kreativitas. Namun, apakah hal ini relevan diterapkan di Indonesia? Jika kita memberikan kebebasan berpakaian kepada siswa yang mayoritas masih labil, dikhawatirkan akan muncul persaingan tren di antara mereka. Alih-alih fokus belajar, siswa bisa jadi lebih sibuk memikirkan pakaian apa yang harus dipakai agar tidak kalah gaya dari teman-temannya. Dalam jangka panjang, hal ini bisa menimbulkan kesenjangan sosial di antara siswa. Salah satu akhir buruknya yaitu ketika siswa dari keluarga mampu dapat membeli pakaian yang lebih modis, sementara siswa dari keluarga kurang mampu justru merasa terpinggirkan.
ADVERTISEMENT
Salah satu sisi gelap dari aturan seragam sekolah adalah fenomena bisnis di baliknya. Beberapa sekolah sering kali mewajibkan siswa membeli seragam dari toko atau vendor tertentu, dengan spesifikasi kain dan warna yang sangat spesifik. Hal ini menyulitkan siswa dari keluarga kurang mampu. Bukannya seragam menjadi alat untuk menyamakan status sosial, justru menjadi beban finansial yang membuat pendidikan semakin sulit diakses. Bukankah lebih baik jika seragam tetap diterapkan, namun tanpa memberi spesifikasi yang terlalu rumit? Misalnya, bahan kain bisa disesuaikan dengan kemampuan orang tua dan ketentuan warna yang lebih general. Dengan cara ini, kesetaraan bisa tetap terjaga tanpa memberatkan keluarga yang kurang mampu.
Pasal 4 dari Permendikbudristek No 50 Tahun 2022 juga menyebutkan bahwa Pemerintah Daerah dapat mengatur pengenaan pakaian adat bagi peserta didik. Namun, kenyataannya penerapan ini belum merata. Tidak semua daerah menjalankan kewenangannya untuk mengenalkan dan membudayakan pakaian adat di sekolah. Padahal, penerapan pakaian adat secara berkala bisa menjadi sarana yang baik untuk memperkenalkan budaya lokal kepada generasi muda, sekaligus memperkuat identitas budaya bangsa di tengah arus globalisasi.
ADVERTISEMENT
Seragam sekolah harus dilihat dalam konteks yang lebih luas. Seragam memang bisa menjadi alat untuk menciptakan kesetaraan di sekolah. Namun jika diimplementasikan secara kaku dan campur tangan bisnis seragam terus terjadi, tujuan tersebut tidak akan tercapai. Lebih baik jika aturan seragam memberikan fleksibilitas, baik dalam hal bahan maupun tempat pembelian, sehingga tidak membebani siswa dari keluarga kurang mampu. Cara ini bisa menjadi opsi di mana seorang anak tidak akan kehilangan kebanggaan menjadi peserta didik di sekolah dan orang tua juga tidak dihadang hambatan ekonomis untuk membeli seragam yang terlampau kaku & detail. Selain itu, implementasi pakaian adat yang lebih merata juga bisa menjadi cara untuk memperkaya pengalaman belajar siswa sekaligus melestarikan budaya lokal. Pendidikan seharusnya menjadi hak yang dapat diakses oleh semua kalangan, tanpa terkendala oleh aturan-aturan yang justru menambah beban. Kita tidak ingin cita-cita dan jiwa patriotisme anak muda (lihat ilustrasi) hancur karena keterbatasan ekonomi dan keterbatasan akses pendidikan. Dengan reformasi yang tepat dalam aturan seragam, kita dapat menciptakan pendidikan yang lebih inklusif dan berkeadilan bagi seluruh masyarakat.
ADVERTISEMENT