Kumparan Plus - Orang Keren.

Orang Keren Tidak Menengok ke Arah Ledakan

Rio Johan
Kumpulan cerpennya berjudul Aksara Amananunna (2014) terpilih sebagai Buku Prosa Pilihan Tempo 2014. Novelnya berjudul Ibu Susu (2017) meraih Kusala Sastra Khatulistiwa 2018 untuk kategori Karya Pertama dan Kedua.
7 Februari 2022 2:16 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Setelah menyampaikan kabar yang sukses membikin pemuda lugu itu hampir-hampir hilang kesadaran, sang pria bersetelan dan berkacamata hitam menyodorkan kontrak; si pemuda lugu meraihnya dengan tangan bergetar.
“Selamat, dari sekitar satu miliar lelaki sehat berusia 15 sampai 20 tahun di muka bumi, Anda yang terpilih menjadi penerus Pahlawan Biru,” begitulah kabar yang diucapkan pria itu tadi. Padahal baru seminggu yang lalu si pemuda beserta seisi dunia meratapi berita pensiunnya Pahlawan Biru di berbagai surat kabar dan portal media.
Selagi membaca daftar pedoman, peraturan, ketentuan, dan sanksi pelanggaran dengan gigi bergemeletuk, pemuda itu tak bisa tidak membayangkan betapa keren dirinya nanti ketika menjadi Pahlawan Biru...
🦹🦹🦹
Pemuda yang kemudian dikenal sebagai Pahlawan Biru, atau sekadar Biru, itu bergabung dengan empat kawan lainnya: Merah, Hijau, Pink, dan Kuning—sesuai dengan warna seragam masing-masing. Berlima mereka dikenal sebagai kwintet pahlawan super, pembela kebenaran penjaga keadilan pengemban kebajikan. Tentu saja Biru tak lagi pemuda lugu seperti dulu; dia kini gagah dan tegap, pijakannya mantap, dan dia sendiri tidak bisa tidak mengakui kalau gayanya sekarang keren juga.
Kali pertama Biru muncul di muka publik, dia dan empat kawannya berhadapan dengan segerombolan berandal di perbatasan kota. Dengan kekuatan super yang mereka miliki, dalam hitungan menit dan sekian jurus saja gerombolan pembuat onar itu bisa ditaklukkan. Orang-orang yang menyaksikan bersorak-sorai, mengelu-elukan Biru dan kawan-kawannya sekalian.
Tapi aksi yang paling melambungkan sosoknya ialah ketika gembong perampok bersenjata menyerbu suatu bank di pusat kota. Untungnya Agen Slablabla—pria berjas dan berkacamata hitam yang menyodorkan kontrak pada Biru—cekatan memberi kabar, juga berkat kecepatan super kwintet pahlawan itu, dalam sekejap saja, bahkan belum juga pimpinan perampok sempat menyudahi pidato ancaman, keadaan sudah bisa dikendalikan. Para hadirin yang tadinya gemetar ketakutan kini mengelu-elukan para pahlawan. Di depan tempat kejadian, kwintet pahlawan itu memamerkan pose gagah masing-masing, lalu difoto bersama sekalian perampok yang sudah diringkus dan besoknya dipampangkan di halaman depan surat kabar, majalah-majalah, dan portal berita.
Sekali lagi, Biru tidak bisa tidak mengakui betapa kerennya dirinya di foto itu. Untungnya, tak seperti pahlawan super di tivi dan komik-komik, dia dan kawan-kawannya tak perlu memakai setelan spandeks atau lateks yang teramat ketat, tak perlu bertopeng menutup muka, sebaliknya malah begitu bergaya!
“Memangnya kita dominatriks?” begitulah ujar Pink sewaktu Biru utarakan lelucon setelan spandeks-lateks seusai membaca berita tentang aksi mereka. Kawan-kawannya yang lain ikut tertawa-tawa mendengarnya.
Pada aksi kelimanya, Sang Pahlawan Biru pun dihadapkan dengan ledakan:
Nun jauh di suatu area pinggiran, kwintet pahlawan super menghadang bandit-bandit yang hendak memboyong paket bertingkat-bahaya-gawat-darurat memasuki kota. Gampang saja bagi mereka melumpuhkan puluhan bandit-bandit bersenjata itu; dan berhubung Agen Slablabla sudah memerintahkan bahwa paket bertingkat-bahaya-gawat-darurat itu—yang konon merupakan material-material mentah untuk sebuah senjata pemusnah massal—dihancurkan, kontainer-kontainer tersebut mau tidak mau harus diledakkan. Bunyi dentuman berentetan muncul dari kontainer yang satu ke kontainer lainnya, sementara lima pahlawan itu berjalan menjauh, membelakangi bubungan ledakan dengan gaya khas masing-masing—Si Hijau, misalnya, menyempatkan diri untuk menyisir membetulkan jambulnya dan memasang kacamata hitam. Tidak sekali pun mereka menoleh ke belakang.
Sejak itu juga ledakan demi ledakan bermunculan dalam aksi-aksi Pahlawan Biru dan keempat kawannya: tangki meledak, kendaraan meledak, bangunan meledak; ledakan kecil, besar, seri, paralel, gabungan; ledakan elektrik, magnetik, subsonik, supersonik, transonik; ledakan yang membumbung tinggi sampai ke langit membentuk gumpalan asap hitam serupa jamur raksasa; ledakan yang mendentum, yang menggelegar, maupun yang bergemuruh; ledakan bom, granat, rudal, ranjau, bahan bakar atau gas bocor, trinitrotoulena, kompor, senjata api, pelontar api; suatu kali, sebuah truk besar menggelinding-gelinding menuruni jurang sebelum akhirnya meledak dahsyat—dan kelimanya selalu dan senantiasa berjalan menjauh dengan gaya acuh tak acuh. Betapa pun nyaring dan melengkingnya bunyi ledakan itu, betapa pun mencekam dan membahananya sampai-sampai mencakar-cakar ujung jumantara sana, langkah mereka tetap mantap, tak terkejut, tak tergoyahkan, tak juga gugup apalagi takut.
Orang keren tak pernah menoleh ke arah ledakan. Ilustrasi: Tim Kreatif kumparan
Tak jarang aksi mereka tengah melangkah menjauhi ledakan tertangkap oleh kamera, dan besoknya halaman-halaman depan memuat berita dengan ragam-macam foto mereka dari berbagai sudut. Satu kali, suatu ledakan membuat pasir dan kerikil sekitar berterbangan dan berjatuhan bagai hujan batu; untung kelima pahlawan itu diberkati kekebalan mahasupra, mereka tak merasakan apa-apa ketika batu-batu itu menimpa selagi mereka berjalan menjauh penuh gaya.
Kali yang lain, mereka sukses menyapu bersih markas mafia di pucuk tebing curam, bos mafia yang licik itu pun nekat meledakkan markasnya, berharap bisa menghancurkan kwintet pahlawan super itu bersama; tapi tentu saja kelimanya berhasil meloloskan diri dalam detik-detik genting sebelum markas itu meledak, dan mereka tetap bisa berjalan penuh gaya, tak sekali pun menoleh ke belakang, sekalipun ledakan tersebut meluluhlantakkan puncak tebing, meruntuhkan bebatuan dari pucuk sana, dan menimbulkan rentetan gemuruh yang luar biasa ributnya.
Satu hal yang patut dicatat: masing-masing mereka punya gaya melangkah sendiri-sendiri—dan ini diwartakan secara besar-besaran oleh media massa dan portal-portal berita. Pink, misalnya, dia punya cara melenggok yang aduhai dengan stileto 18 cm favoritnya dan semua yang menyaksikan bisa dipastikan sepakat dialah primadona pertunjukan.
Hijau selalu kepengin tampil paling keren tiap muncul ledakan: dia punya banyak jaket bermerek mahal berwarna hijau, rambutnya selalu berminyak dan siap tampil dalam tiap aksi, dan senyum yang memampangkan barisan rapi gigi-giginya yang berkilauan itu, siapa yang bisa tahan? Siapa?—senyum yang kerap kali tampil di sampul depan majalah gosip dan gaya hidup, bertanggung jawab atas lengkingan libido gadis remaja dan ibu rumah tangga, juga atas pencapaian-pencapaian sampingan, salah satunya misalnya: sebuah iklan parfum perempuan pernah menggunakan cuplikan slow-motion Hijau yang tengah berjalan menjauhi ledakan dan produk tersebut diborong habis-habisan pada hari pertama peluncuran, memunculkan lenguh, sauk, dan erang syahwat di berbagai sudut kota.
Lain lagi dengan Merah, sang pemimpin, yang paling menjunjung tinggi disiplin dan tanggung jawab, memegang teguh naluri memandu dan membimbing, menyunggi tiap komando dan koordinasi; sebagai epitome dari kebijakan dan kebajikan, dia tak akan menampilkan pose yang dangkal apalagi artifisial dan lebih memilih membawa segala harkat dan martabatnya dalam langkah-langkah sederhana tapi tegap, serius lagi mantap; inilah yang kemudian sering jadi ejekan Pink dan Hijau sebagai “robot tua karatan yang merusak pose keren di halaman depan surat kabar,” dan Merah akan membalas tegas, “Justru yang begitu itulah demonstrasi sangfroid yang paling sejati.”
Kuning lebih seperti malaikat surgawi tim ini, sosok yang memberikan sentuhan lembut dan halus pada tiap aksi; menghadapi tiap-tiap ledakan, langkah-langkahnya bagai membawa syafakat, tatapan matanya menyebarkan welas kasih, dan bibirnya akan menggetarkan suatu melankoli yang sejuk dan sentosa.
Biru sendiri? Dia belum betul-betul yakin apa gaya yang akan jadi ciri khasnya; untuk sementara ini, dia keranjingan melangkah dengan gaya yang dingin tapi menghanyutkan, belum betul-betul seikonik rekan-rekanya, tapi setidak-tidaknya dia berusaha, dia masih biru dan baru juga, yah setidak-tidaknya lumayan kerenlah menurutnya.
💣💣💣 Bersambung 💣💣💣
_________________ Catatan editor: sebagian teks pada cerita ini dialihmediakan menjadi audio. Putar media player untuk mendapatkan kisah secara utuh.
Baca cerita lengkapnya di sini:
Orang Keren. Foto: Tim Kreatif kumparan
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten