Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.91.0
Konten dari Pengguna
Mengenal Standar Hidup Layak: Klarifikasi atas Misinterpretasi Data (Lokus DIY)
4 Desember 2024 16:54 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Rio Kuncoro Jatikusuma, SST tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Standar hidup layak adalah salah satu dimensi penyusun Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dihitung berdasarkan pengeluaran riil per kapita (yang disesuaikan). Selain itu, ada dua dimensi lainnya yaitu dimensi Umur Panjang dan Hidup Sehat (diukur dengan Umur Harapan Hidup), serta dimensi Pengetahuan (diukur dengan Harapan Lama Sekolah dan Rata-rata Lama Sekolah).
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka standar hidup layak, dengan angka pengeluaran riil per kapita untuk tahun 2024 tercatat 12,34 juta rupiah setahun atau sekitar 1,02 juta rupiah per bulan. Angka tersebut dianggap terlalu rendah dan tidak mewakili kondisi ekonomi saat ini sehingga memicu perdebatan.
Memahami "Per Kapita" dan "Riil"
Penyebab timbulnya perdebatan diantaranya misinterpretasi istilah "per kapita" dan "riil". Istilah "per kapita" yang berarti per orang sering hilang dalam penjelasan. Sedangkan "riil" yang digunakan dalam penghitungan perekonomian, berbeda dengan pemahaman umum masyarakat.
Penghitungan pertumbuhan ekonomi menggunakan selisih PDB (Produk Domestik Bruto) atau PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) antar tahun dengan menggunakan data menurut harga konstan. PDB/PDRB sendiri terdiri dari dua jenis:
ADVERTISEMENT
Misal jika harga beras pada 2012 adalah 8.000 rupiah per kg dan naik menjadi 14.000 rupiah per kg pada 2024. Angka nominal akan mencakup inflasi, sehingga yang ditampilkan adalah nilai apa adanya.
Sementara angka riil akan menghilangkan efek inflasi dan membandingkan dengan harga pada tahun dasar. Sehingga angka yang ditampilkan sesuai harga di tahun dasar yang notabene lebih rendah, sebab tidak ada efek inflasi di dalamnya.
Pengeluaran Riil di Yogyakarta
Angka pengeluaran riil per kapita dihitung berdasarkan paritas daya beli dengan menggunakan 96 komoditas (66 makanan dan 30 non-makanan). Data untuk wilayah DIY menunjukkan angka pengeluaran riil sebesar 15,36 juta rupiah per kapita setahun atau 1,28 juta rupiah per kapita per bulan, lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional 1,02 juta rupiah per kapita per bulan.
ADVERTISEMENT
Untuk mempermudah pemahaman, kita ambil contoh pengeluaran untuk beras (wakil komoditas makanan) dan listrik (wakil komoditas non makanan). Pada tahun 2012, harga beras adalah 8.000 rupiah per kg dan tarif dasar listrik 700 rupiah per kWh. Dengan pengeluaran riil 1,28 juta rupiah per bulan, seseorang dapat membeli 80 kg beras dan 914 kWh listrik.
Namun, jika dihitung menggunakan harga di 2024, harga beras 14.000 rupiah per kg dan tarif listrik 1.444 rupiah per kWh. Maka 80 kg beras akan menghabiskan 1,12 juta rupiah dan 914 kWh listrik menghabiskan 1,32 juta rupiah. Jadi, pengeluaran nominal di Yogyakarta dengan harga berlaku adalah sekitar 2,44 juta rupiah per kapita per bulan.
Permisalan tersebut hanya untuk mempermudah pemahaman. Nilai pengeluaran nominal (dengan harga berlaku) yang sebenarnya perlu dihitung dengan 96 komoditas dan dengan metode yang disesuaikan.
ADVERTISEMENT
Pengeluaran Riil Bukan Tolok Ukur
Pengeluaran riil per kapita bukanlah tolok ukur kelayakan hidup seseorang. Angka ini lebih merupakan indikator statistik yang menunjukkan rata-rata pengeluaran per orang, berdasarkan harga tahun 2012.
Sebagai analogi, nilai rata-rata kelas adalah 60, sedangkan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) adalah 75. Meskipun nilai seseorang di atas rata-rata, tidak serta merta dikatakan mencapai KKM. Demikian juga, pengeluaran riil per kapita bukanlah ukuran kelayakan hidup, melainkan hanya angka rata-rata yang digunakan untuk perbandingan dengan harga-harga tahun dasar.
Secara keseluruhan, pengeluaran riil per kapita yang diumumkan BPS bukanlah ukuran mutlak untuk menilai hidup layak atau tidak, tetapi indikator relatif yang mencerminkan pengeluaran rata-rata di masyarakat, dengan basis tahun 2012.
Agar lebih relevan dengan kondisi saat ini, angka ini harus dikonversi ke angka nominal yang mencerminkan harga-harga yang berlaku. Dengan pemahaman yang tepat, masyarakat diharapkan dapat menghindari misinterpretasi data.
ADVERTISEMENT
Sumber: