Konten dari Pengguna

Daerah Istimewa Surakarta: Menagih Janji Menggugat Konstitusi

Rio Ramabaskara
Advokat/Konsultan Hukum/Penyuka Sejarah
29 Juli 2024 9:29 WIB
·
waktu baca 12 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rio Ramabaskara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Cover Buku Rio Ramabaskara: Menagih Janji Menggugat Konstitusi. Sumber : Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Cover Buku Rio Ramabaskara: Menagih Janji Menggugat Konstitusi. Sumber : Istimewa
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Penulis menyadari bahwa seiring waktu, semakin banyak tulisan yang membahas terkait Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran yang diakui Negara Indonesia sebagai daerah yang memiliki sifat istimewa, Pengakuan tersebut didasarkan atas Piagam Penetapan Presiden RI tertanggal 19 Agustus 1945.
ADVERTISEMENT
Namun Sayangnya, Mayoritas tidak menghadirkan fakta yang lebih jauh terkait Keberadaan Daerah Istimewa Surakarta ini, bahkan cenderung hanya menyimpelkan dengan mengatakan bahwa oleh Karena adanya perselisihan kedua kerajaan yang ada maka status Istimewa pada Surakarta dicabut.
Padahal jika ditelusuri lebih jauh dalam berbagai arsip hukum dan sejarah, khususnya dalam rentang waktu Tahun 1945 sampai dengan Tahun 1950, maka akan ditemukan banyak fakta lain terkait Keberadaan Daerah Istimewa Surakarta
Sehingga Penulis merasa sangat perlu untuk mengangkat fakta-fakta lain tersebut ke permukaan, sebagai suatu fakta hukum yang kelak akan membuat terangnya suatu keadaan.
Perlu diketahui bahwa di tahun 1946, daerah Surakarta diliputi situasi yang mencekam, sehingga Pemerintah Pusat pada saat itu kerap kali mengutus Menteri Dalam Negeri Dr. Soedarsono ke Karaton Surakarta untuk membicarakan permasalahan yang ada. Diantaranya terjadinya Penculikan-penculikan terhadap Pepatih Dalem, Wakil Pepatih Dalem, dan Para Pegawai Pamong Praja, hal tersebut membuat situasi semakin menjadi untuk melakukan Pendiskreditan kepercayaan Publik terhadap Pemerintahan Daerah Surakarta.
ADVERTISEMENT
Akibat hal tersebut, beberapa Kabupaten mulai memutuskan hubungan dengan Pemerintah Daerah Surakarta yang berkedudukan di Kota Surakarta. Untuk mengatasi hal tersebut maka Paku Buwono XII yang menjadi Raja Kasunanan Surakarta pada waktu itu, bertindak cepat untuk Mengangkat Wakil Pepatih Dalem yang baru yaitu KRMH Woerjaningrat pada tanggal 15 April 1946.
Setelah Pengangkatan tersebut, KRMH Woerjaningrat segera menlaksanakan pertemuan dengan Pamong Praja di Kantor Kepatihan untuk menjelaskan tentang tugas dan kewajiban Pamong Praja serta terkait Daerah Istimewa.
Tentang Pamong Praja, KRMH Woerjaningrat mengatakan bahwa :
1. Pamong Praja adalah Pegawai Negeri yang menjadi perantara antara Pemerintah dan Rakyat;
2. Pamong Praja adalah Bapak atau Pemimpin Rakyat;
3. Pamong Praja adalah Wakil Pemerintah Setempat;
ADVERTISEMENT
4. Pamong Praja harus berdisiplin kepada Pemerintah dan Mengetahui Keadaan Rakyat.
Dalam hal Daerah Istimewa KRMH Woerjaningrat mengatakan sebagai berikut :
“Dalam UUD RI Pasal 18 telah ditetapkan langsungnja Daerah Istimewa. … bahwa berdirinja Daerah Istimewa sudah tertjantum dalam UUD. Adanja dimaksud disitu sudah dengan pikiran jang dalam. Tidak dapat sesuatu badan lebih-lebih suatu orang mengubah UUD. Jang berhak mengubah hanja Permusjawaratan Rakjat. … Saudara-saudara pamong-pradja, saja ulangi lagi Daerah Istimewa itu djuga daerahnja Republik Indonesia. Isinja Daerah Istimewa mulai Radja sampai saudara sekalian djuga kepunjaan RI. Ketjuali ada Radjanja djuga ada Perwakilan Rakjat. Oleh karena berdasarkan kedaulatan rakjay, maka jang berkuasa ialah rakjat…
Untuk menguntji pidato saja ini, saja mendoa moga-moga saudara-saudara, kantja-kantja, pamong pradja dapat berteguh hati, tidak gojang oleh goda, antjaman dan budjukan, terus menepati kewadjiban berdasarkan hati jang sutji dan benar”.
ADVERTISEMENT
Pada tanggal 22 Mei 1946 Perdana Menteri Sutan Sjahrir beserta beberapa menterinya dating ke Surakarta untuk membicarakan masalah ketegangan yang terjadi di Surakarta. Pada tanggal 22 Mei – 23 Mei 1946 diadakan rapat di gedung Javasche Bank Surakarta antara Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan Menteri Dalam Negeri Dr Soedarsono dengan Sinuwun Paku Buwono XII beserta Wakil Pepatih Dalem KRMH Woerjaningrat dengan KGPAA Mangkunegoro beserta Pepatih KRMT Partono Handojonoto. Dalam rapat tersebut Perdana Menteri Sutan Sjahrir ingin mendengarkan usul KRMH Woerjaningrat terkait bagaimana caranya agar kekacauan di Surakarta dapat diredakan.
Menanggapi hal tersebut, KRMH Woerjaningrat mengemukakan bahwa sebagaimana yang pernah beliau kemukakan kepada Menteri Dalam Negeri Dr Soedarsono ketika dating di Kasunanan Surakarta, bahwa Pihak Kasunanan tidak dapat menahan jalannya kekacauan karena sebagian besar pegawai-pegawai di luar central bestuur Negeri hendak memutuskan hubungan, malahan ada diantara anggota Direktorium yang turut campur. Pada saat itu gerakan belum sampai pada central bestuur, bila sudah sampai central bestuur Negeri maka kekacauan akan sampai juga ke Kasunanan. Oleh karenanya sebelum terlanjut, mohon ada perlindungan dari Pemerintah Pusat Republik Indonesia. Jika disetujui caranya adalah sebagai berikut :
ADVERTISEMENT
1. Civiele-lijst seyogyanya tidak melalui Negeri, tetapi dari pusat langsung kepada Kasunanan, karena jika melalui Negeri dikhawatirkan aka nada usaha-usaha menghambat pengiriman tersebut;
2. Agar kekacauan dapat reda, pemerintah Daerah Istimewa sementara diserahkan kepada Pemerintah Pusat, sambal memikirkan langkah-langkah yang dapat digunakan untuk menentramkan kembali keadaan;
3. Untuk Daerah Surakarta hendaknya diadakan commissarissen yang anggota-anggotanya terdiri dari: seorang wakil Sipil, seorang wakil Militer, seorang wakil Rakyat, dan wakil-wakil dari Kasunanan dan Mangkunegaran. Pemerintah Negeri Kasunanan–Mangkunegaran jadi satu di tangan Commissarissen. Semua peraturan Commissarissen harus disahkan Pemerintah Pusat. Usulan yang dikemukakan di atas hanya untuk sementara (voorlopig). Jadi, jika keadaan sudah baik maka pemerintahan akan dikembalikan lagi kepada Zelfbesturen.
Selanjutnya, Perdana Menteri Sutan Sjahrir menanyakan kepada pihak Mangkunegaran, dan ternyata Patih Mangkunegaran KRMT Partono Handojonoto menyatakan setuju, hanya saja tidak perlu diadakan commissarissen cukup commissaris saja, karena hal itu hanya bersifat sementara. Kemudian masalah ini dikembalikan kepada KRMH Woerjaningrat dan KRMH Woerjaningrat menyatakan terserah kepada Pemerintah Pusat. Pada akhir rapat, Sutan Sjahrir mengatakan bahwa usul nomor satu disetujui yaitu civiele-lijst dikeluarkan dari Pusat langsung ke Kasunanan,s edangkan dalam menanggapi usul lainnya Perdana Menteri Sutan Sjahrir mengatakan andaikata usul tersebut diterima oleh Pemerintah Pusat, maka beliau minta bantuan sekuat-kuatnya dari pihak Kasunanan dan Mangkunegaran.
ADVERTISEMENT
Beberapa hari kemudian, Pemerintah Pusat menetapkan Gubernur Soerjo untuk menjabat sebagai Commissaris di Surakarta. Selanjutnya untuk mengetahui dengan pasti tentang tugas Commissaris, maka KRMH Woerjaningrat secara langsung menanyakan kepada Gubernur Soerjo tentang tugas-tugas yang dibebankan kepadanya. Ternyata jawaban Gubernur Soerjo telah sesuai denga nisi kesepakatan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah Surakarta.
Beberapa hari sebelum rapat di gedung Javasche Bank tersebut diadakan, Perdana Menteri Sjahrir dan Wakil Pepatih Dalem KRMH Woerjaningrat juga telah membicarakan tentang sebab-sebab timbulnya gerakan pengacau, dan pembicaraan itu juga diadakan di Javasche Bank. Dari pembicaraan itu akhirnya dapat diduga bahwa gerakan-gerakan yang timbul itu bukanlah murni dari rakyat, melainkan dari golongan-golongan/kelompok-kelompok atau perorangan saja, dan Surakarta hanyalah menjadi batu loncatan untuk menentang kekuasaan Pemerintah Pusat Republik Indonesia. Dengan itu ternyata benar, terbukti dengan adanya usaha-usaha menghentikan kekuasaan Gubernur Soerjo dan Soetardjo sebagai wakil-wakil Pemerintah Republik Indonesia di Surakarta, penculikan terhadap Residen ISkak Tjokroadisoerjo, dan sebagai puncaknya adalah penculikan terhadap Perdana Menteri Sutan Sjahrir serta Pemberontakan PKI Muso
ADVERTISEMENT
Sebagai perwujudan usul dari Wakil Pepatih Dalem KRMH Woerjaningrat dalam rapat di Gedung Javasche Bank, maka pada tanggal 15 Juli 1946 Pemerintah Pusat Republik Indonesia mengeluarkan Penetapan Pemerintah Nomor 16/SD Tahun 1946
Penulis mencoba untuk mencari dokumen-dokumen selama Periode tahun 1946, dengan tujuan agar mampu melihat Peristiwa Keluarnya Penetapan Pemerintah Nomor 16/SD Tahun 1946 tersebut secara utuh. Ternyata benar, setelah Penulis memperoleh “Buku Penuntun Untuk Segenap Golongan Pegawai Negeri Republik Indonesia tentang Himpunan Undang-undang, Peraturan-peraturan, Penetapan-penetapan Pemerintah Republik Indonesia Tahun 1946”, yang dihimpun oleh Koesnodiprodjo (Pegawai Kantor Urusan Pegawai Negeri, Penulis selain mendapatkan Penetapan Pemerintah Nomor 16/SD Tahun 1946 tersebut, Penulis menemukan beberapa Peraturan lain yang terkait dengan kondisi gonjang-ganjing di Daerah Surakarta pada tahun itu. Hal ini penting Penulis Sampaikan, agar kita dapat memotret kondisi Surakarta secara utuh, tidak seperti yang dinyatakan oleh kebanyakan orang bahwa Karena Perebutan kekuasaan internal bahkan parahnya ada anggapan bahwa Surakarta dianggap pro terhadap penjajah belanda, maka Pemerintah mengambil alih status Keistimewaan Surakarta
ADVERTISEMENT
Berikut Penulis Tampilkan hasil penelusuran Penulis tentang Penetapan Pemerintah Nomor 16/SD Tahun 1946 :
Penetapan Pemerintah 1946 No 16/SD. Sumber : Buku Penuntun Untuk Segenap Golongan Pegawai Negeri Republik Indonesia tentang Himpunan Undang-undang, Peraturan-peraturan, Penetapan-penetapan Pemerintah Republik Indonesia Tahun 1946”, yang dihimpun oleh Koesnodiprodjo (Pegawai Kantor Urusan Pegawai Negeri
Dalam Penetapan Pemerintah Nomor 16/SD Tahun 1946, terdapat Konsideran, Mengingat : “Makloemat Presiden Nomor 1 Tahun 1946”
Kesetiaan Kepada Republik tersebut tak pernah luntur sedikitpun, meski pada 15 Juli 1946 keluar Penetapan Pemerintah Nomor 16/S.D/1946 yang pada diktum kedua menyatakan : "Sebeloem bentoek soesoenan pemerintahan daerah Kasoenanan dan Mangkoenegaran ditetapkan dengan OEndang-OEndang, maka daerah terseboet oentoek sementara waktoe dipandang meroepakan Karesidenan, dikepalai oleh seorang Residen jang memimpin segenap pegawai pamong praja dan polisi serta memegang segala kekoeasaan sebagai seorang Residen di Djawa dan Madoera loear daerah Soerakarta dan Jogjakarta".
Penetapan tersebut dapat diartikan sebuah Janji yang sampai saat ini belum pernah ditepati.
ADVERTISEMENT
Ada yang menyatakan Status Keistimewaan Surakarta 'tercabut' oleh Penetapan Pemerintah tersebut. Namun jika dicermati secara mendalam surat yang ditulis 3 tahun lebih 59 hari setelah Penetapan Pemerintah Nomor 16/S.D/1946 itu keluar, Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran tetap disebut dengan Redaksi : Daerah Istimewa.
Artinya Tak ada Pencabutan status keistimewaan sama sekali. Yang ada hanyalah : 'Janji' yang belum terealisasi. 'Janji' untuk Menetapkan Keistimewaanya dalam bentuk Undang-undang tersendiri, sebagaimana diktum kedua Penetapan Pemeringah Nomor 16/S.D/1946 tersebut
Sedangkan yang dimaksud dengan Makloemat Presiden Nomor 1 Tahun 1946, adalah sebagai berikut :
Makloemat Presiden 1946 No. 1. Sumber : Buku Penuntun Untuk Segenap Golongan Pegawai Negeri Republik Indonesia tentang Himpunan Undang-undang, Peraturan-peraturan, Penetapan-penetapan Pemerintah Republik Indonesia Tahun 1946”, yang dihimpun oleh Koesnodiprodjo (Pegawai Kantor Urusan Pegawai Negeri
Jika kita perhatikan Makloemat Presiden Nomor 1 Tahun 1946 tersebut di atas, tertulis : "Berhoeboeng dengan kedjadian-kedjadian dalam Negeri jang membahajakan keselamatan Negara dan Perdjoeangan kemerdekaan kita, Maka kami Presiden Repoeblik Indonesia dengan Persetoedjoean kabinet dalam sidangja pada tanggal 28 Djoeni 1946 mengambil Kekoeasaan Pemerintah Sepenoehnja oentoek Sementara waktoe, sampai kembalinja keadaan biasa, jang memoengkinkan kabinet dan lain-lain badan resmi bekerdja sebagai mestinja"
ADVERTISEMENT
Maklumat tersebut ditandatangani oleh Presiden Soekarno di Jogjakarta, Jam 1 Malam, tanggal 29 Juni 1946
95 Hari kemudian, tepatnya tanggal 2 Oktober 1946, Presiden Soekarno Mengeluarkan Makloemat Presiden Nomor 2 Tahun 1946, pada tanggal 2 Oktober 1946. Ditandatangani di Jogjakarta Jam 11.
Makloemat Nomor 2 dimaksudkan untuk Mencabut Maklumat sebelumnya, dimana pada Maklumat Nomor 2 tersebut berbunyi :
"Oleh Karena keadaan dalam negeri telah kembali biasa sehingga kabinet dan lain-lain badan resmi dapat bekerdja sebagaimana mestinja, maka dengan ini Makloemat Presiden Nomor 1 Tahun 1946 kami Tjaboet kembali"
Dengan adanya Pencabutan Makloemat Presiden Nomor 1 harusnya mengandung Konsekwensi Logis dan Yuridis keberadaan Penetapan Pemerintah Nomor 16/S.D/1946 juga dicabut
Mengapa? Karena Keadaan saat itu sudah normal kembali.
ADVERTISEMENT
Maka, status Kasunanan dan Mangkunegaran yang "Oentoek Sementara waktu dipandang merupakan satoe karesidenan", harusnya sudah ditetapkan dengan Undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Penetapan Pemerintah Nomor 16/S.D/1946 tersebut
Oleh karena sampai saat ini belum juga ada Undang-undang yang khusus mengatur tentang "Bentoek Soesoenan Pemerintahan Daerah Kasoenanan dan Mangkoenegaran", Maka Menagih Janji tersebut adalah Sebuah Panggilan Sejarah, Budaya dan Kebangsaan.
Diantara Rentang Waktu Keluarnya Maklumat Presiden Nomor 1 Tahun 1946, dan sebelum keluarnya Maklumat Presiden Nomor 1 Tahun 1946 Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan Penetapan Pemerintah Nomor 19 B/SD Tahun 1946
Penetapan Pemerintah Nomor 19 B/SD Tahun 1946. Sumber : Buku Penuntun Untuk Segenap Golongan Pegawai Negeri Republik Indonesia tentang Himpunan Undang-undang, Peraturan-peraturan, Penetapan-penetapan Pemerintah Republik Indonesia Tahun 1946”, yang dihimpun oleh Koesnodiprodjo (Pegawai Kantor Urusan Pegawai Negeri
Ternyata jika diperhatikan dengan seksama, Penetapan Pemerintah Nomor 19 B/SD Tahun 1946 yang ditetapkan di Jogjakarta pada tanggal 25 September 1946 tentang : "Enclave Kasoenanan dan Mangkoenegaran", dalam Konsideran Mengingat mencantumkan Maklumat Presiden Nomor 1 Tahun 1946,
ADVERTISEMENT
Sedangkan dalam Konsideran Menimbang, disebutkan yaitu : "Bahwa oentoek mendjamin keamanan dan ketentraman oemoem dalam enclave Kasoenanan disekitar Pasarean pasar - gede dan himogiri serta dalam enclave Mangkoenegaran di Ngawen, semoeanja terletak dalam Daerah Istimewa Jogjakarta perloe diadakan pengawasan sebaik-baiknja"
Berdasarkan hal tersebut, maka Pemerintah Memutuskan, yang isinya: "Oentoek Sementara waktoe, Kepala Daerah Istimewa Jogjakarta (S.P Soeltan) diserahi pengawasan atas enclave Kasoenanan disekitar Pasarean Pasar-Gede dan Himogiri, serta atas enclave Mangkoenegaran di Ngawen dan diberihak oentoek mengambil tindakan-tindakan jang perloe oentoek mendjamin keamanan dan ketentraman oemoem didaerah-daerah tersebut".
Jika disandingkan dengan Penetapan Pemerintah Nomor 16/SD Tahun 1946, juga terdapat frasa "oentoek sementara waktoe". Ini nampaknya semacam frasa yang sudah biasa digunakan pada zaman awal Republik. Frasa inilah yang menjadikan Penulis berkesimpulan bahwa adanya Janji Pemerintah Republik Indonesia kepada Daerah Surakarta yang belum terealisasi
ADVERTISEMENT
Selain itu, Wakil Presiden Mohammad Hatta dari Den Haag Belanda, Menulis Surat kepada Presiden dan Menteri Pertahanan di Yogyakarta.
Surat Wakil Presiden tertanggal 12 September 1949. Sumber : ANRI
Surat Wakil Presiden tertanggal 12 September 1949 tersebut menyatakan bahwa : “dengan surat ini dikabarkan, bahwa dalam perundingan KMB tetap diturut sikap dan pendirian, bahwa semenjak penyerahan piagam pengakuan pada penghabisan tahun 1945 oleh Pemerintah Republik Indonesia, maka zelfbestuurende landschappen Surakarta dan Mangkunegaran mempunyai kedudukan daerah istimewa menurut UUD Republik Indonesia”.
Surat Wakil Presiden Republik Indonesia tersebut ditulis di Den Haag Belanda saat Konfrensi Meja Bundar, yang ditujukan Kepada Presiden dan Menteri Pertahanan di Jogjakarta. Maka surat Resmi tersebut haruslah dipandang sebagai sebuah Sikap yang didasarkan pada Fakta sebenarnya.
Jadi, sudah sangat jelas bahwa ketentuan yang ada dalam Penetapan Pemerintah Nomor 16/SD Tahun 1946 tersebut hanya untuk sementara waktu memandang daerah Surakarta yang bersifat Istimewa sebagai Karesidenan sebelum bentuk dan susunanya ditetapkan dengan Undang-undang. Dalam hal ini tidak ada maksud dan tujuan dari Pemerintah Pusat untuk menghapuskan daerah Surakarta dari sifat Keistimewaannya. Di samping itu, Daerah Surakarta yang dipandang sebagai Karesidenan tersebut masih mempunyai sifat-sifat istimewa yaitu tercermin dalam kata-kata “Pemerintahan di daerah-daerah Surakarta dan Jogjakarta berada langsung di bawah pimpinan Pemerintah Pusat”. dan secara de facto sifat istimewa tersebut masih terus diakui. Hal ini dapat dibuktikan dalam setiap pertemuan-pertemuan yang membicarakan atau ada sangkut pautnya dengan daerah Surakarta. Sebagai contoh, berikut ini kutipan ucapan Menteri Dalam Negeri Mr. Soesanto Tirtoprodjo dalam pertemuannya dengan para pembesar sipil dan militer, semua kepala jawatan, partai-partai, organisasi, dan golongan-golongan di gedung CHTH Surakarta, bahwa Karesidenan Surakarta adalah sementara (voorlopig) dan bersifat istimewa djuga.
ADVERTISEMENT
Usul yang dikemukakan oleh Wakil Pepatih Dalem Woerjoningrat kepada Perdana Menteri Sutan Sjahrir dalam rapat di gedung Javasche Bank didasarkan atas :
1. Keyakinan bahwa sifat istimewa dari daerah Surakarta tidak mungkin dapat dihapuskan karena ketentuan akan hal itu telah ada dalam Pasal 18 Undang-undang Dasar Tahun 1945;
2. kesadaran bahwa persatuan dan kesatuan bangsa harus tetap ditegakkan;
3. Piagam kedudukan dari Pemerintah Republik Indonesia yang diberikan kepada S,P Susuhunan Melalui Menteri Negara Mr. Sartono.
Wakil Pepatih Dalem KRMH Woerjaningrat dalam surat nya tertanggal 21 Desember 1951 yang dikirim kepada Para Menteri Republik Indonesia di Jakarta, mengatakan : “… Adanja saja mengusulkan supaja Pemerintahan Daerah Istimewa dipegang dahulu oleh Pemerintah Pusat dan setelah diatur dikembalikan lagi kepada S.P Ingkang Sinoehoen itu, karena pokoknja menurut dasar-dasar hukum ta’ dapat menghapuskan Daerah Istinewa, sebab masih tertjantum dalam Undang-undang Dasar. Djadi segala tindakan memutuskan perhubungan dengan Pemerintahan Daerah Istimewa itu malahan dapat dikatakan bertentangan dengan rechtsorde negara kita sendiri, sehingga Pemerintah harus tidak boleh meluluskanja. Djika hendak menghapuskan Daerah Istimewa harus dipikirkan dengan panjang dan dalam-dalam, tidak mudah, sebab Daerah Istimewa lainnya banyak jumlahnja dan telah lama adanja. Penghapusan Daerah Istinewa meskipun hanja satu sadja tidak dengan alasan-alasan jang tepat, umpamanja kesalahan merusak kepentingan umum, menurut pendapat saja, bertentangan pula dengan Pantjasila…”
ADVERTISEMENT
Ulasan Selanjutnya dapat dibaca dalam Buku yang berjudul : Menagih Janji Menggugat Konstitusi (Polemik Keistimewaan Daerah Surakarta).
Penulis : Rio Ramabaskara
Pembelian dapat dilakukan melalui : https://tokopedia.link/oeLGP8FNnLb