Konten dari Pengguna

Warisan Satu Dekade Kepemimpinan Jokowi: Kemajuan atau Kemunduran?

Rionaldy Akhmad Ghani
Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara Universitas Indonesia
14 Oktober 2024 10:23 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rionaldy Akhmad Ghani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Rapat Terakhir Kabinet di Masa Kepemimpinan Jokowi. (Sumber: Sekretariat Presiden)
zoom-in-whitePerbesar
Rapat Terakhir Kabinet di Masa Kepemimpinan Jokowi. (Sumber: Sekretariat Presiden)
ADVERTISEMENT

Menelusuri Jejak Kepemimpinan Jokowi

sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Diawali dengan hobinya yang identik dengan ‘blusukan’ menjadi pintu pembuka Jokowi menjabat selama dua periode. Ia dianggap sebagai pemimpin “yang merakyat” dan mau mendengarkan suara rakyat. Gayanya yang sederhana dan tampil apa adanya berhasil menarik perhatian masyarakat ditambah latar belakangnya yang bukan berasal dari elit partai politik maupun perwira militer. Agenda prioritas Pemerintahan Jokowi tertuang dalam Nawa Cita yang berisi visi-misi kepemimpinannya dengan sembilan agenda pokok. Jokowi dianggap berhasil karena salah satunya karena gencarnya program pembangunan infrastruktur di bawah kepemimpinannya. Akan tetapi, dibalik keberhasilannya, ada harga yang harus dibayar mahal dengan mundurnya demokrasi lantaran dituding mengintervensi konstitusi dan banyaknya penyalahgunaan wewenang pada masa kepemimpinannya. Pada masa kepemimpinannya, banyak kebijakan serta tindakan pemerintah yang represif dan anti-demokrasi. Gemuknya koalisi pemerintah dianggap sebagai jawaban atas banyak kebijakan kontroversial yang ditentang publik tetapi tetap disahkan. Kini, hampir sepuluh tahun Jokowi memimpin Indonesia melalui Kabinet Kerja dan Kabinet Indonesia Maju. Lantas, bagaimanakah penilaian atas sepuluh tahun kinerja pemerintahan Jokowi?
ADVERTISEMENT

Benarkah berhasil? atau justru gagalnya yang membekas?

Selama satu dekade masa kepemimpinan, Presiden Jokowi telah meninggalkan berbagai macam catatan penting dalam sejarah pemerintahan di Indonesia. Dua periode kepemimpinannya sejak terpilih dan menjabat sebagai presiden pada tahun 2014, Jokowi telah meluncurkan berbagai program pembangunan dan kebijakan yang bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, memperbaiki infrastruktur, meningkatkan kesejahteraan sosial, serta memodernisasi sektor-sektor vital demi mewujudkan apa yang termuat di dalam Nawa Cita. Namun, di balik citra keberhasilan yang seringkali diperlihatkan, sebenarnya seberapa sukses program-program tersebut? Apakah keberhasilannya hanya terlihat di permukaan saja, atau benar-benar bisa dirasakan manfaatnya?
Salah satu pencapaian dan warisan terbesar Jokowi yang memberikan dampak yang sangat signifikan adalah masifnya program pembangunan infrastruktur yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Proyek-proyek besar seperti jalan tol di Pulau Sumatra dan Kalimantan, LRT, MRT, Kereta Cepat Jakarta-Bandung, dan bandara serta pelabuhan baru untuk meningkatkan konektivitas antar pulau di Indonesia dianggap menjadi simbol keberhasilan pemerintahan Jokowi dalam komitmennya untuk memajukan transportasi dan konektivitas serta mempercepat pertumbuhan ekonomi. Namun, di balik keberhasilan tersebut, banyak kritik mengenai banyaknya proyek infrastruktur yang mengalami keterlambatan penyelesaian akibat dari pembengkakan biaya menghasilkan sebuah keraguan apakah manfaatnya sebanding dengan yang dikeluarkan atau justru harus menjadi beban yang ditanggung generasi-generasi mendatang.
ADVERTISEMENT
Jokowi juga dikenal dengan keberhasilannya dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik dan memperbaiki tata kelola pemerintahan dengan melakukan reformasi pada birokrasi, bahkan reformasi birokrasi merupakan salah satu dari lima program prioritas kerja jokowi pada periode kedua menjabat sebagai presiden. Dalam upaya demi meningkatkan transparansi demi mencegah korupsi dan mengakselerasi proses pelayanan publik, Jokowi melakukan berbagai macam hal mulai mendigitalisasi birokrasi melalui penerapan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) yang terintegrasi di seluruh instansi pemerintah. Selain itu, pembubaran dan pemangkasan lembaga yang tidak efisien, serta pengurangan tingkatan eselon merupakan salah satu upaya membantu reformasi birokrasi. Namun, kendala budaya birokrasi yang sudah mengakar serta penolakan dari sebagian kalangan membuat proses reformasi ini berjalan lambat. Meski citra reformasi birokrasi tampak menjanjikan di media, masyarakat masih sering mengeluhkan layanan publik yang tidak memadai dan berbelit-belit.
ADVERTISEMENT
Masa jabatan Jokowi juga dipenuhi dengan beberapa kebijakan yang gagal dan dianggap kontroversial di mata publik. Salah satunya terkait tuduhan intervensi dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait ambang batas umur calon wakil presiden yang memungkinkan putra pertamanya, Gibran Rakabuming Raka, untuk maju menjadi cawapres pada Pemilu 2024. Kebijakan ini dianggap sangat kontroversial karena menimbulkan polemik antara pihak yang diuntungkan dan tidak diuntungkan. Menurut peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noor, pihak yang paling diuntungkan oleh putusan MK itu adalah Gibran Rakabuming Raka. Firman menilai, putusan MK itu membuka pintu bagi Gibran untuk menjadi cawapres, terutama mendampingi Prabowo pada Pemilu 2024. Pihak kedua yang diuntungkan adalah Prabowo Subianto karena akan mendapatkan dukungan penuh dari Jokowi yang masih menjabat sebagai presiden saat pemilu berlangsung. Sementara itu, pihak yang paling dirugikan adalah masyarakat akibat terbajaknya sistem demokrasi Indonesia oleh dinasti politik yang terjadi. Masyarakat memiliki persepsi bahwa Jokowi berupaya untuk melanjutkan programnya dengan menjadikan anaknya menjadi cawapres dengan cara mengakali mekanisme demokrasi. Kasus serupa terjadi ketika salah satu anaknya juga, Kaesang Pangarep, ingin maju menjadi Calon Gubernur DKI Jakarta pada Pilkada 2024. Hal ini terjadi karena putusan MK yang mengubah syarat partai politik mengikuti pemilu dan revisi UU Pilkada yang mengubah ambang batas usia calon kepala daerah pada tingkat kota/kabupaten hingga provinsi. Kembalinya kasus serupa membuat publik geram dan munculnya tren di media sosial “Garuda Biru”, yang merupakan gerakan massal masyarakat untuk mengawal putusan MK dan jalannya Pilkada 2024. Pada akhirnya, Kaesang tidak jadi maju menjadi Calon Gubernur atau Wakil Gubernur DKI Jakarta pada Pilkada 2024, namun masih dianggap masih mempunyai kesempatan dalam mengikuti pilkada tingkat kota/kabupaten. Kedua kasus ini memberikan bukti yang kuat bahwa adanya intervensi dalam putusan MK dianggap sebagai bentuk manipulasi terhadap proses demokrasi, dengan tujuan untuk mempertahankan kekuasaan dalam lingkup dinasti politik. Hal ini memicu polemik dan gerakan masyarakat yang mengkritisi potensi penyalahgunaan mekanisme politik untuk kepentingan pribadi dan keluarga presiden.
ADVERTISEMENT
Selain itu, kebijakan lain yang menuai kontroversi adalah pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law pada tahun 2020. Undang-undang ini dikritik karena dianggap terlalu berpihak pada kepentingan investor dan merugikan hak-hak pekerja serta lingkungan hidup. Proses pengesahannya juga dianggap terburu-buru dan kurang melibatkan partisipasi publik. Pengesahan UU Cipta Kerja (Omnibus Law) pada tahun 2020 menjadi salah satu kebijakan besar pemerintahan Presiden Jokowi yang menuai banyak kontroversi dan penolakan dari berbagai kalangan. UU ini dirancang sebagai upaya untuk meningkatkan investasi di Indonesia dengan tujuan menciptakan lebih banyak lapangan kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi, terutama di tengah perlambatan ekonomi global yang semakin terasa akibat pandemi Covid-19. Namun, banyak pihak menilai bahwa cara pembentukan dan substansi dari UU ini justru lebih menguntungkan kepentingan investor dan pengusaha dan mengorbankan hak-hak pekerja dan perlindungan terhadap lingkungan. Salah satu aspek yang paling kontroversial dari UU Cipta Kerja adalah perubahan aturan ketenagakerjaan yang dianggap mengurangi hak-hak dasar buruh, di antaranya adalah penghapusan ketentuan upah minimum sektoral, kemudahan bagi perusahaan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), dan perpanjangan waktu kontrak kerja serta outsourcing tanpa batas waktu yang jelas. Para pekerja merasa dirugikan karena UU ini dianggap menurunkan standar perlindungan tenaga kerja dan memperlemah posisi mereka terhadap pengusaha. Demonstrasi besar-besaran yang digerakkan oleh serikat pekerja terjadi di berbagai wilayah Indonesia untuk menunjukkan ketidakpuasan luas terhadap aturan ini.
ADVERTISEMENT

Akhir Perjalanan Satu Dekade Jokowi

Jokowi mengawali karier politiknya dengan citra sebagai seorang populis, seorang pemimpin yang selalu mengutamakan rakyat kecil. Kesederhanaannya menjadikannya berbeda dari kebanyakan pejabat negara yang terkesan elitis. Dengan berfokus pada perbaikan pelayanan publik dan tata kelola pemerintahan, Jokowi memberikan harapan baru akan pemerintahan yang lebih bersih dan melayani. Sayangnya, harapan besar yang muncul di awal kepemimpinannya perlahan-lahan sirna karena berbagai kebijakan kontroversial yang diambilnya. Ia yang awalnya digadang-gadang sebagai sosok yang membawa perubahan, kini justru menunjukkan dirinya sebagai pemimpin yang tidak memiliki integritas. Di ujung kekuasaannya, tindakan Jokowi dalam membuat kebijakan dianggap telah merusak nilai-nilai demokrasi, memicu maraknya praktik korupsi, dan mendorong berkembangnya nepotisme. Tindakannya tersebut telah mengecewakan dan mengundang amarah publik sebab ia diduga mengabaikan kepercayaan yang diberikan kepadanya.
ADVERTISEMENT