Menggulung Karpet Merah Penipuan Keuangan

Rionanda Dhamma Putra
Seorang pembelajar yang ingin tahu banyak hal. Analis Ekonomi Politik LAB45
Konten dari Pengguna
20 Juni 2024 13:49 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rionanda Dhamma Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pengusaha wanita Truong My Lan menghadiri persidangan di Kota Ho Chi Minh, Vietnam pada Kamis (11/4/2024). Foto: Thanh Tung/VnExpress via AP
zoom-in-whitePerbesar
Pengusaha wanita Truong My Lan menghadiri persidangan di Kota Ho Chi Minh, Vietnam pada Kamis (11/4/2024). Foto: Thanh Tung/VnExpress via AP
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Akhir-akhir ini, salah satu negara di Asia Tenggara sedang dihantui oleh sebuah angka: 24,5 miliar dolar AS. Jumlah ini sama dengan 6% dari PDB dan 25% dari cadangan devisa. Itulah harga yang harus dibayar oleh Vietnam untuk menjaga stabilitas sistem keuangan negaranya. Meledaknya perekonomian negara yang dikuasai oleh Partai Komunis selama satu dekade terakhir ini ternyata diiringi dengan praktik penipuan keuangan yang terstruktur, sistematis, dan masif.
ADVERTISEMENT
Penipuan tersebut berawal dari satu bank privat besar bernama Saigon Commercial Bank (SCB). Bank ini dibentuk pada tahun 2012 sebagai hasil merger dari tiga bank bermasalah. Sebanyak 93% sahamnya dimiliki oleh Truong My Lan, konglomerat pemilik Van Thinh Phat. Modus penipuannya terlihat sederhana, namun dilakukan dalam skala masif.
Melalui CEO Van Thinh Phat sekaligus keponakannya, Truong Hue Van dan satu perantara lain, Truong My Lan menjadi otak di balik 916 aplikasi kredit bisnis palsu kepada SCB selama tahun 2012 hingga Oktober 2022. Ketika diakumulasi, nilai aplikasi tipu-tipu tersebut mencapai 12,5 miliar Dolar AS, setara dengan 203,46 triliun Rupiah.
Sebagai perbandingan, kerugian negara Indonesia dari kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang melibatkan banyak bank saja hanya mencapai 138,4 triliun Rupiah. Tidak heran kasus ini dijuluki sebagai penipuan terbesar sepanjang sejarah Vietnam.
ADVERTISEMENT
Besarnya penipuan memang menjadi satu hal, namun terstruktur-sistematis menjadi soal lain yang penting untuk dikaji. Aspek struktur dan sistematika penipuan SCB terbukti ketika kita kaji laporan keuangannya selama tahun 2010 hingga 2020.
Data keuangan yang dihimpun dari Bloomberg menunjukkan adanya ekspansi besar-besaran lini kredit bisnis selama satu dekade. Kredit yang disalurkan kepada sektor bisnis naik 23 kali lipat, dari 11 triliun Dong menjadi 259 triliun Dong. Ketika disandingkan dengan nilai kredit real estat, terlihat bahwa 50-85% dari kredit bisnis disalurkan untuk membangun proyek real estat komersial, sebagian besar disinyalir untuk Van Thinh Phat.
Permodalan SCB juga melemah signifikan dari rasio Tangible Common Equity (TCE) 7,83% di 2010 menjadi tinggal 2,58% di 2020. Indikasi di atas memperlihatkan adanya aksi penjarahan modal dan dana nasabah SCB untuk memenuhi hasrat jahat pemiliknya.
ADVERTISEMENT
Setelah satu dekade menyimpan rapi bangkai penipuan, Truong My Lan akhirnya diringkus pada Oktober 2022. Terbuktinya Truong My Lan sebagai tersangka penipuan di SCB menimbulkan kepanikan di antara nasabah, memicu terjadinya penarikan dana besar-besaran (bank run).
Total dana yang ditarik mencapai 24,6 miliar Dolar AS alias 93% dari dana pihak ketiga yang disimpan di SCB. Aksi tersebut membuat State Bank of Vietnam sebagai otoritas moneter mengambil langkah penyelamatan dan mengambil alih pengelolaan SCB demi menyetop efek domino lanjutan (France 24, 2023).
Untungnya, tidak ada jejaring SCB yang sejauh ini terlacak ke sektor keuangan Indonesia. SCB hanya memiliki satu anak usaha, Bao Long Insurance Corporation yang 100% beroperasi di Vietnam. Akan tetapi, jangan sampai keberuntungan ini membuat kita lengah. Kita perlu mengambil pembelajaran penting agar potensi kasus dengan magnitudo serupa bisa dicegah. Lebih tepatnya, ada dua pembelajaran penting.
ADVERTISEMENT
Pertama, pentingnya lembaga manajemen stabilitas keuangan yang terintegrasi dan independen. Indonesia memang sudah berhasil melakukan integrasi manajemen kebijakan makroprudensial, mikroprudensial, fiskal, dan moneter melalui Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang dibentuk sejak kasus Bank Century di tahun 2008. Dalam kasus ini, Indonesia sudah lebih maju dibandingkan Vietnam karena telah melakukan koordinasi lembaga makroprudensial dan mikroprudensial yang independen.
Ini berbeda dengan Vietnam di mana pengawasan keduanya masih berada di bawah State Bank of Vietnam. Akan tetapi, independensi lembaga ini belum kuat karena posisinya berada di bawah Presiden Republik Indonesia. Kekuasaan tertinggi kelembagaan KSSK hanya sampai memberikan rekomendasi kepada Presiden untuk menetapkan status krisis keuangan.
Langkah kebijakan ke depan perlu diarahkan kepada elevasi otoritas KSSK untuk menjadi pengawas sektor keuangan dan pengambil keputusan yang independen, jika perlu menjadi sebuah Dewan Stabilitas Sistem Keuangan (DSSK). Dalam level G20, upaya ini telah dilakukan dengan mengubah lembaga Financial Stability Forum (FSF) menjadi Financial Stability Board (FSB).
ADVERTISEMENT
Pengangkatan ini membuat FSB mampu membuat penilaian yang lebih independen dan tegas terhadap sistem keuangan negara-negara G20. Lebih rinci lagi, otoritas lembaga ini meliputi pengawasan reformasi sektor keuangan di negara-negara G20, penilaian kerentanan sistem keuangan, dan melacak perubahan struktural sektor keuangan. Negara-negara dengan sektor keuangan yang sedang bertumbuh seperti Indonesia dan Vietnam perlu mengikuti upaya ini agar lebih mampu mencegah risiko sistemik sektor keuangan.
Kedua, menjaga kualitas sektor perbankan memerlukan pemetaan jejaring kepemilikan, khususnya oleh individu yang komprehensif. Adanya kepemilikan individu yang besar terhadap suatu bank dapat mengindikasikan bahwa bank tersebut dijadikan mesin kasir untuk kepentingan bisnis pemiliknya. Indonesia pernah merasakan sendiri dampak merebaknya bank mesin kasir terhadap kerentanan sistem keuangan, meski tidak sebesar skala kasus SCB.
ADVERTISEMENT
Sejak Paket Deregulasi Oktober 1988 (PAKTO 88), banyak bank-bank swasta baru bermunculan. Banyak dari bank-bank tersebut didirikan oleh para pengusaha yang dekat dengan penguasa. Mereka menggunakan bank tersebut untuk mendanai ekspansi bisnis mereka, termasuk melakukan pinjaman jangka pendek ke luar negeri. Ketika Krisis Finansial Asia 1997-1998 menghantam, sebagian besar bank-bank tersebut dilikuidasi karena melambungnya nilai pinjaman-pinjaman tersebut (Hukum Online, 2000).
Kejatuhan sektor keuangan seperti ini tidak boleh terulang kembali. Maka dari itu, reformasi sektor keuangan di Indonesia memerlukan penekanan lebih besar pada aspek transparansi untuk mendorong pendalaman keuangan (financial deepening). Aspek-aspek penting seperti kepemilikan individu dan nilai kredit intrakelompok bisnis mesti menjadi bagian wajib dari pelaporan bank, setidaknya dalam laporan tahunan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, perlu dibuat pula peraturan yang membatasi besaran persentase kredit intra-kelompok bisnis terhadap total penyaluran kredit yang dapat diberikan oleh bank-bank di Indonesia. Pembatasan seperti ini penting untuk mencegah penipuan dengan modus seperti Truong My Lan untuk terjadi di Indonesia.
Semakin ke sini, sektor keuangan makin menjadi pertunjukkan utama perekonomian di seluruh dunia. Dalam setiap pertunjukkan, pasti akan ada aktor yang jempolan, biasa saja, bahkan ada yang menipu. Bank mesin kasir adalah karpet merah yang memungkinkan aktor-aktor penipu untuk masuk ke dalam gala sektor keuangan.
Maka dari itu, karpet merah ini harus digulung agar dampaknya tidak sistemik. Batasi kredit intra-kelompok bisnis yang mereka lakukan, petakan individu-individu pemiliknya, dan naikkan kewenangan KSSK menjadi dewan (financial stability board). Itulah kunci untuk mencegah kasus serupa dengan SCB untuk terjadi di masa depan.
ADVERTISEMENT