Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Di masa kolonial, guru adalah profesi yang dihormati
14 Januari 2018 22:34 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:12 WIB
Tulisan dari Ririn Qunuri Sudjono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saya sadar tidak mudah menjadi guru di era milenial saat ini, gaji yang kecil yang hanya berstatus honorer, dengan gaji pokok kurang dari satu juta per bulan, sangat jauh dari harapan karier idaman para generasi milenial saat ini. Sulit sekali rasanya menjadikan guru sebagai profesional profesi, tak seperti kuliah pendidikan dokter udah pasti kerja jadi dokter, pendidikan polisi udah pasti kerja jadi polisi, pendidikan militer udah pasti kerja jadi tentara. tapi, pendidikan guru bergelar S.Pd malah berakhir kerja di Bank. karena pada dasarnya, semua orang bisa menjadi guru, tidak harus berlatar sekolah keguruan. tapi yang namanya birokrasi, menjadi guru di sekolah formal tetap mensyaratkan sertifikasi, namun lain halnya sebagai guru privat dan guru bimbingan belajar yang hanya mengedepankan skill dan pengalaman mengajar.
ADVERTISEMENT
Menjadi guru di era kolonial merupakan profesi terhormat. Mereka berasal dari golongan elite bangsawan yang mendapat pendidikan barat. guru di masa kolonial juga merupakan tokoh pergerakan yang melahirkan cita-cita nasionalisme. sebut saja Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa, Golongan nasionalis islam, KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah.
Gambaran assign status bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa terbukti adanya. sekolah guru pada masa kolonial bernama kweekschool dan sebutan guru pada jaman kolonial adalah Ndoro yang berlaku di sekolah pribumi. salah satu lulusannya adalah Otto Iskandar Dinata, Tan Malaka, dan AH. Nasution. AH Nasution yang lebih dikenal sebagai KSAD, pernah mengenyam sekolah guru, lalu melanjutkan Akademi Militer Belanda di Bandung setelah Perang Dunia II meletus. baginya menjadi guru merupakan kebanggaan karena tidak semua orang bisa mengenyam pendidikan itu. Tan Malaka sempat menjadi guru di Deli dan Otto pernah menjadi guru di Banjarnegara, namun keduanya terhenti karena lebih memilih untuk berjuang dalam organisasi pergerakan nasional.
ADVERTISEMENT
Apakah profesi guru masih jadi idaman generasi milenial? Untuk mencari guru saja sudah sulit di era ini. tak jarang siswa lebih mengenal guru sebagai orang tua karena profesi guru mayoritas adalah golongan tua, bukan golongan muda. Generasi milenial yang akrab dengan gadget lebih tertarik bekerja di sektor kreatif yang menjanjkan penghasilan besar dengan waktu kerja yang fleksibel kapan dan dimana saja. Padahal bekerja di ranah start up (perusahaan rintisan) meski dekat dunia kreatif tidak sekreatif yang dibayangkan. bagi saya, menjadi guru tetap profesi yang patut dibanggakan, tak harus diukur dari besarnya meteri yang didapat, penghormatan dari para siswa dan wali murid jauh lebih berharga dari nilai materi itu sendiri, terlebih lagi rasa bangga saat melihat murid yang dididik bisa lulus perguruan tinggi favorit.
ADVERTISEMENT
sumber foto: beritabandung.com