Konten dari Pengguna

Another Dimension

Riris Anindya
Seorang full time mom yang suka menulis. Mari berjejaring! instagram : @irishannastory
20 Oktober 2022 21:16 WIB
·
waktu baca 14 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Riris Anindya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Alam selalu menyimpan rahasia yang tidak pernah kita duga. Tak dapat dimungkiri bahwa kita hidup berdampingan dengan makhluk tak kasatmata. Mereka melihat, memperhatikan, dan mengawasi kita tanpa kita ketahui. Karenanya, kita juga harus menghargai mereka, sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan.
ADVERTISEMENT
Melalui tulisan ini, saya ingin berbagi pengalaman kala “masuk” ke dunia yang tak terlihat. “Mereka” membawa saya beserta beberapa teman ke alam lain, ketika kami mengikuti sebuah acara pelantikan di daerah pantai di Gunung Kidul, Yogyakarta. Hal ini terjadi sekitar delapan tahun lalu. Semua berawal dari kesalahan salah satu dari kami. Ia melanggar sebuah pantangan dan berani menantang “mereka”. Serangkaian pengalaman mistis itu membuat bulu kuduk saya meremang dan setiap detail kejadiannya masih teringang-ingang hingga sekarang.
Kami mengikuti pelantikan sebuah komunitas yang bergerak di bidang kelautan, di salah satu kampus di Yogyakarta. Pelantikan ini dilakukan dengan susur pantai di Gunung Kidul. Medan yang ditempuh tentu saja berat. Kami harus naik-turun bukit-bukit kapur yang berbatu dan melewati area hutan, yang sisi kanan dan kirinya diapit jalan setapak yang sempit. Kami harus mencari jalur yang benar dengan mengikuti penunjuk arah berupa tanda panah yang digambar di batu atau mencari tali rafia berwarna yang diikatkan di batang pohon. Jika hujan turun, tantangan akan semakin berat karena jalan licin.
ADVERTISEMENT
Selain itu, kami juga harus membawa tas carrier masing-masing yang penuh dengan segala keperluan pribadi. Belum lagi tambahan peralatan perlengkapan tim yang harus dibagi untuk dibawa masing-masing anggota. Salah satu yang paling krusial adalah kayu bakar, yang digunakan sebagai penerangan dan penghangat saat malam hari, serta untuk memasak makanan.
Saat itu, saya masih menjadi mahasiswa baru. Pelantikan dilaksanakan pada bulan November, tepat saat musim hujan. Kami berangkat dari kampus bersama-sama dengan menggunakan bus. Sesampainya di Pantai Kukup pada siang hari, kami beristirahat sejenak dan mengecek segala perlengkapan pribadi dan tim, apakah sudah sesuai dengan daftar yang diberikan oleh kakak panitia atau belum. Karena jika ada satu saja barang yang luput kami bawa, hukuman telah menanti kami.
ADVERTISEMENT
Malam harinya, kegiatan kami adalah survival kelompok. Dari sekitar empat puluhan peserta, kami dibagi menjadi delapan kelompok. Kami diantar ke sebuah tanah lapang yang berada di salah satu bukit dan mendirikan tenda di sana. Survival dilakukan hingga keesokan harinya. Sebulan sebelum pelantikan, kami dibekali materi mengenai survival, seperti bagaimana cara memasang tenda, menyalakan api unggun, dll. Kami pun sudah melakukan praktik terlebih dahulu sebelum pelantikan. Kakak panitia meminta kami untuk mencari “makanan” yang akan kami gunakan untuk makan malam. Setelah itu, mereka meninggalkan kami untuk memulai survival.
Saya satu kelompok dengan Lis, Na, Ra, Fa, Jo, dan Den (nama samaran). Hanya Jo dan Den yang laki-laki. Tenda kelompok lain berjarak kurang lebih lima ratus meter dari kami. Kami tidak diperbolehkan untuk membawa alat komunikasi dalam bentuk apa pun, dilarang memainkan senter ke berbagai arah karena dianggap dapat mengganggu “makhluk lain”, menjaga lisan dari kata-kata kotor, dan tidak boleh berteriak.
ADVERTISEMENT
Tenda kami dikelilingi oleh pohon-pohon kecil dan tumbuhan merambat. Suasana sangat gelap karena di sana tidak ada penerangan selain dari bulan yang menggantung di langit dan api unggun. Kami pun mencari di mana “makanan” yang dimaksud oleh kakak panitia.
Ketika Jo dan Den sedang mencari di semak-semak, mereka tiba-tiba berjalan cepat untuk kembali ke tenda. Setelah ditanya, rupanya mereka melihat ada gumpalan rambut yang berlumur darah kering. Kami semua bergidik mendengarnya, jeri. Sambutan yang “sangat hangat”, padahal kami baru saja sampai di sini.
Akhirnya, kami semua mencari “makanan” bersama-sama dan berusaha melupakan hal itu. Meski diliputi ketakutan, kami merasa terharu saat menemukan “makanan” yang dimaksud. Karena jika tidak, kami akan kena hukuman dari panitia, yang mana biasanya berupa push up, jalan jongkok, atau semacamnya. Andai saja tidak ada sanksi tersebut, kami memilih tidak makan dan rela kelaparan semalaman. Rupanya, makanan yang disembuyikan itu adalah ubi. Kami pun membakarnya di atas api unggun dan menyantapnya bersama-sama. Kami tidak pernah lagi membahas apa yang tadi terjadi. Namun, kejanggalan malam itu masih berlanjut.
ADVERTISEMENT
Kami dibagi menjadi dua tim untuk menjaga api unggun. Sebab memang peraturannya, api unggun tidak boleh padam sama sekali. Jika kami melanggar, maka akan dikenai sanksi. Saya bersama dengan Lis, Na, dan Jo menjadi tim pertama yang berjaga. Kawan kami yang lain tidur terlebih dulu. Karena tidak boleh membawa alat penunjuk waktu dalam bentuk apa pun, kami tidak tahu sudah pukul berapa saat itu. Patokan kami hanya letak bulan.
Udara malam di atas bukit yang letaknya di tepi laut seperti ini hangat dan lembab. Sepanjang malam, kami isi dengan percakapan-percakapan ringan. Jo adalah orang yang dikenal suka membangkang dan selengean. Suatu waktu, dia menyenteri pepohonan yang berada di sekitar kami, mencoba mencari “sesuatu” di baliknya. Dia seakan tidak percaya dengan larangan dari kakak tingkat kami. Saya juga telah mencoba melarangnya melakukan hal itu karena tidak mau kejadian penemuan rambut tadi terulang. Dua orang lainnya pun sudah memperingatkan Jo. Namun, dia tetap tidak mau mendengar.
ADVERTISEMENT
Saat akan pergantian personel, saya dan Jo berada di luar menjaga api unggun, sedangkan Lis dan Na masuk lebih dulu untuk membangunkan tiga teman yang lain. Namun ketika itu, ada salah seorang kakak panitia mendatangi tenda kami. Kami mengenalnya sebagai Kak Mala (nama samaran). Seingat saya, saya belum melihat Kak Mala sejak pagi dan baru melihatnya sekarang. Mungkin Kak Mala menyusul ke sini, begitu pikir saya. Dia datang sendirian, tanpa membawa senter. Padahal kami tidak bisa melihat apa-apa tanpa bantuan alat penerangan. Saya pun menyapa dengan memanggil namanya.
Berbeda dengan kakak panitia lain yang semunya mengenakan kaos panitia, Kak Mala memakai kemeja putih dan celana hitam. Rambutnya yang biasanya dikucir, malam itu dibiarkan tergerai, menjuntai menutupi punggungnya. Dia melihat ke arah saya dan Jo tanpa mengatakan apa-apa. Wajahnya datar dan dingin, menunjukkan rasa ketidaksukaan.
ADVERTISEMENT
Jo sepertinya tidak menaruh kecurigaan apa-apa. Dia melontarkan pertanyaan basa-basi, mengapa Kak Mala tidak bersama dengan yang lain. Namun, Kak Mala tetap bergeming. Perasaan saya sudah tidak enak. Angin yang semula hangat tiba-tiba menjadi dingin, membuat saya agak menggigil. Saya menyentuh pundak Jo, mencoba memberikan kode untuk berhenti berbicara. Saya menggelengkan kepala perlahan sambil sedikit menundukkan kepala agar tidak terlalu kentara. Jo yang tidak peka, tidak menangkap maksud saya dan malah menengok ke arah Kak Mala kembali. Namun, ternyata Kak Mala sudah menghilang. Saya dan Jo sepakat untuk merahasiakan kejadian itu dari teman-teman yang lain.
Keesokan harinya, saat kami sudah selesai survival dan dikumpulkan di pantai terdekat dengan “hotel berbintang” tempat kami bermalam, saya bertanya pada salah satu kakak panitia di mana Kak Mala, karena saya tidak melihatnya saat itu. Tenggorokan saya tersekat ketika mengetahui bahwa Kak Mala sedang sakit sehingga tidak mengikuti acara pelantikan. Saya sampaikan informasi itu hanya pada Jo. Namun, bukannya menunjukkan rasa menyesal karena telah mengganggu “Kak Mala”, dia malah tak mengindahkan hal itu dan tetap bersikap cuek.
ADVERTISEMENT
Hari itu kami diagendakan untuk melakukan susur pantai. Sejak awal, kami tidak diberi tahu di mana titik akhir perjalanan kami. Setiap kelompok berangkat dengan jarak waktu tiga puluh menit. Awalnya perjalanan kami aman dan lancar, karena kami masih bisa melihat matahari untuk memperkirakan waktu. Namun menjelang sore, takdir baik tidak berpihak pada kami. Kami malah tersesat karena salah melihat tanda panah. Sebab, di bukit itu ada beberapa tanda panah yang ditulis di batu oleh komunitas lain. Sehingga kami harus jeli untuk melihat tanda paling baru.
Saat itu di sekitar kami juga tidak ada tali rafia yang diikatkan di batang pohon. Sampai selepas ashar kami masih saja berputar-putar di bukit yang sama, yang mana seharusnya kami sudah sampai di tujuan. Karena cuaca mendung, kami tidak bisa melihat di mana letak matahari. Hari semakin gelap dan kami hanya berputar-putar tanpa tujuan. Kami terus saja berjalan mencari petunjuk lain, tetapi tidak ketemu.
ADVERTISEMENT
Hujan rintik-rintik mulai mengguyur area sekitar kami. Kami pun memutuskan untuk istirahat sejenak di sebuah gubuk yang terletak di sebuah tanah lapang. Sekeliling kami hutan, sama seperti situasi survival semalam. Suasana sudah gelap, padahal belum terdengar suara azan magrib. Pada saat itu, Jo kembali melakukan salah satu larangan. Dia memainkan senternya ke atas, kanan, kiri, segala arah. Saya mulai geram dengan perilakunya. Situasi kami sedang tidak baik, tetapi dia malah dengan sengaja melakukannya.
Ditambah lagi, Lis asmanya kambuh karena kelelahan. Kami membantunya untuk bernapas dengan baik dan memberikan inhealer (alat bantu bernapas untuk penderita asma) yang dia bawa. Kami pun memutuskan untuk pecah jadi dua tim. Empat orang mencari petunjuk lain, tiga lainnya menunggu di gubuk bersama dengan Lis. Karena hanya dua orang laki-laki, maka salah satu harus pergi dan salah satu harus tinggal. Sebenarnya saya ingin pergi dengan Den, tetapi Jo bersikeras untuk ikut mencari petunjuk dengan dalih ingin berjalan-jalan. Akhirnya saya bersama dengan Ra, Fa, dan Jo bertolak sebelum hujan semakin lebat.
ADVERTISEMENT
Saya menegaskan untuk mengarahkan senter ke arah bawah. Saya tidak mau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Saya memutuskan untuk memimpin di depan, sedangkan Jo paling belakang untuk menjaga kami. Rupanya, Jo tetap tidak menghiraukan kata-kata saya. Berulang kali saya mendengar Ra, yang berjalan di depan Jo, mengingatkannya untuk tidak memainkan senter. Lagi-lagi dia beralasan siapa tahu ada petunjuk atau warga di kejauhan sana.
Waktu terasa amat lambat. Tanah lapang sudah jauh berada di belakang kami. Kami memasuki area hutan yang pepohonannya tidak terlalu rapat. Di sebelah kanan kami jurang. Jalan setapak yang kami lewati berbatu dan licin karena terkena air hujan yang saat itu mulai menderas. Kami harus melewati jalan berbatu itu. Namun, tiba-tiba Jo terpeleset. Teriakan Ra mengejutkan saya dan Fa. Beruntung Jo tidak menggelinding jatuh ke jurang dan masih bisa menumpu pada tanah di bawahnya. Di saat seperti itu, kami tidak boleh panik. Sungguh bukan hal mudah untuk tetap merasa tenang di tengah situasi yang genting seperti itu. Kami bertiga menarik Jo sekuat tenaga. Akhirnya, dia berhasil selamat.
ADVERTISEMENT
Jujur saja saat itu saya sudah sangat lelah. Emosi sudah bercampur aduk antara marah, sedih, kecewa, hampir putus asa, ditambah Jo yang tidak mau bekerja sama dengan baik, membuat saya meluapkan kemarahan saat itu juga. Saya berteriak di depan wajah Jo, mengungkapkan segala kekecewaan yang saya rasakan padanya, menyalahkannya atas situasi yang menimpa kami sekarang. Di samping kami, Ra dan Fa hanya bergeming. Kala itu, saya tidak sengaja keceplosan membeberkan kemunculan “Kak Mala” semalam pada saat survival kelompok. Seharusnya saya tidak membahasnya lagi, tetapi saya kehilangan kendali diri saya.
Jo tidak memberikan respons apa-apa. Saya pun segera meninggalkan mereka dan berjalan cepat-cepat ke depan. Saya sudah sangat lelah, apalagi seharian tadi cuaca sangat terik, tetapi tiba-tiba berubah hujan. Cuaca yang berubah dengan ekstrem membuat saya tidak enak badan. Setelah beberapa menit berjalan, saya baru menyadari bahwa suasana sekitar saya terlalu hening. Tidak ada suara angin, tidak ada suara gemerisik dedaunan, bahkan tidak ada suara langkah kaki selain langkah saya. Akhirnya saya menengok ke belakang. Ternyata tiga teman saya tidak ada. Saya pun kembali menyusuri jalan yang (seharusnya) tadi kami lewati. Saya memanggil nama mereka satu per satu. Namun, tidak ada jawaban. Di mana mereka?
ADVERTISEMENT
Jantung saya bertalu-talu. Badan saya gemetar. Kepanikan menyergap saya saat itu juga. Apa yang harus saya lakukan di tengah hutan sendirian dan tidak tahu arah? Saat itu saya hanya bisa berjongkok dan menangis. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Sudah tersesat, semakin tersesat lagi dan seorang diri.
Hujan kian menderas. Saya tidak peduli dengan badan saya yang basah kuyup. Saya hanya ingin menemukan teman-teman saya lagi. Pada saat itu, seseorang menyentuh pundak saya. Orang itu adalah bapak tua yang rambutnya telah memutih. Beliau membawa senter dan payung. Kelegaan menyelimuti hati saya. Akhirnya ada orang lain yang bisa menolong. Beliau bertanya sedang apa saya di sana. Saya katakan bahwa saya tersesat dan mencari teman-teman saya. Bapak itu mengatakan bahwa tadi beliau melihat tiga orang di gubuk. Mereka sudah kembali ke gubuk lagi? Secepat itu? Atau ada gubuk lain di sekitar sini?
ADVERTISEMENT
Bapak itu pun menawarkan bantuan untuk menemani saya ke sana. Dan rupanya benar, mereka telah kembali ke gubuk yang sama dengan sebelumnya. Namun, Lis, Na, dan Den sudah tidak ada di sana. Mereka ke mana? Ra, Fa, dan Jo juga sama bingungnya.
Samar terdengar suara orang-orang bersahutan memanggil nama kami satu per satu. Namun, suara itu terdengar lirih karena tertutup derasnya hujan.
“Kami di sini,” teriak Jo.
Kami pun mencoba mencari sumber suara itu sembari menyusuri sekiar tanah lapang. Kami merasa terus berjalan menjauh dari tanah lapang, tetapi ternyata kami hanya berputar-putar di tempat, dan berakhir ke gubuk itu lagi. Baju kami sudah basah kuyup meski kami mengenakan mantel. Kami sudah sangat kelelahan. Akhirnya kami berempat memutuskan untuk beristirahat sejenak. Tanpa sadar, kami telah tertidur.
ADVERTISEMENT
Saat terbangun, hujan telah berhenti. Langit terasa begitu cerah. Bintang-bintang bertaburan menggantung di cakrawala. Bulan purnama penuh menyembul di atas sana. Udara di sekitar kami terasa sangat lembab. Kami pun memutuskan untuk berjalan lagi dan mencari jalan pulang. Saat itu dalam pikiran kami, Lis, Na, dan Den sudah berhasil menemukan pantai yang menjadi basecamp kakak panitia.
Saat akan kembali masuk ke hutan, dari arah belakang kami, bapak tua yang tadi kutemui memanggil. Beliau menawarkan bantuan untuk mengantar kami ke pantai terakhir. Kami pun mengikutinya tanpa menaruh curiga sedikit pun. Kami dibawa kembali ke arah gubuk tadi. Terus berjalan melewatinya, dan masuk ke sisi hutan yang lain.
Jalan yang kami lewati selebar satu buah mobil. Dedaunan kering berada di bawah kaki kami. Pepohonan rimbun mengapit sisi kanan dan kiri. Tidak seperti pepohanan lain yang daunnya tidak lebat, pohon-pohon di sekitar kami sangat rimbun, sampai kami tidak bisa melihat langit. Awalnya saya pikir, dedaunan kering ini tidak basah karena air hujan terhalang oleh daun-daun yang terlalu rimbun itu. Namun, saat Ra menunjukkan pada saya bahwa tanah lapang di belakang kami sudah tidak terlihat lagi, bulu kuduk saya kembali meremang. Kami baru berjalan kurang lebih sepuluh meter, tetapi di belakang sana sangat gelap, tidak terlihat apa-apa, seolah ada pintu yang menutup akses jalan ini.
ADVERTISEMENT
“Kayaknya ada yang nggak beres deh,” ujar Ra gemetar.
Saya pun memanggil Fa dan Jo yang berada beberapa meter di depan. Saat mereka menengok, saya tidak melihat bapak itu lagi. Saya dan Ra pun bergegas menghampiri Fa dan Jo dan mengatakan situasi itu. Suaraku bergetar ketika mengatakan bahwa kami harus keluar dari sini dan kembali menuju tanah lapang tadi. Saya bergandengan tangan dengan Ra dan Fa, sedangkan Jo berjalan di depan memimpin kami. Tangan mereka terasa sangat dingin, seperti tangan saya. Tiba-tiba dari arah belakang, saya mendengar suara bapak tadi. Suaranya begitu jelas, seakan tepat berada di samping telinga saya.
“Takut, ya?”
Saya pun mengajak mereka mempercepat langkah. Namun, semakin cepat kami berjalan, jarak kami terasa semakin jauh dan tidak kunjung sampai ke tujuan. Udara di sekitar kami terasa begitu sesak, seperti terserap habis dari tempat itu. Dingin begitu menggigit. Rasa dinginnya menusuk-nusuk hingga ke tulang. Badan kami gemetar, gigi bergemeletuk. Kami terjatuh, lemas karena kekurangan oksigen. Keadaan kami seolah sedang berada di puncak gunung tertinggi yang diselimuti salju. Rasanya untuk menghirup napas saja perlu usaha keras dan dada terasa sakit. Rasa frustrasi melingkupi saya. Saya sudah pasrah jika memang hari itu adalah batas akhir hidup saya.
ADVERTISEMENT
Dalam keadaan setengah sadar, sayup terdengar kembali suara orang-orang yang bersahutan memanggil nama kami. Namun, saya sudah tidak punya tenaga lagi untuk menyahut. Begitu pun ketiga teman saya yang lain. Akhirnya, kami terkapar di tempat antah berantah itu.
Kala membuka mata, suara debur ombak menyambut saya. Badan saya berselimut hangat. Saat saya mencoba bangun, Fa dan Ra menyambangi saya, menanyakan keadaan saya. Begitu pula beberapa kakak panitia. Saat itu saya baru mengetahui bahwa kami telah hilang selama dua hari.
Pada petang itu, Lis, Na, dan Den sudah ditemukan terlebih dahulu. Rupanya kakak panitia meminta bantuan tim SAR. Orang-orang yang memanggil kami pada saat itu adalah tim SAR dan kakak-kakak panitia yang pergi mencari kami. Kami bisa mendengar mereka karena kami sebenarnya berada di tempat yang sama, tetapi di “dimensi” yang berbeda. Para peserta pelantikan lain langsung dipulangkan keesokan harinya. Mereka ingin fokus mencari kami. Kami ditemukan pingsan di gubuk itu dan langsung dibawa ke basecamp.
ADVERTISEMENT
Melalui cerita ini saya ingin mengingatkan untuk selalu berhati-hati di alam liar, di mana pun itu. Karena kita tidak hidup sendiri. Semoga cerita saya ini dapat dijadikan pelajaran untuk kita semua.