Konten dari Pengguna

Petani Jawa Awal Abad Ke-20 Menderita Bukan Karena Penjajahan, Lalu Karena Apa?

Risang Tunggul Manik
Guru Sejarah di SMAN 1 Ngantang
29 Oktober 2024 8:04 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Risang Tunggul Manik tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber koleksi pribadi: Pertanian di Ngantang, Malang, Jawa Timur
zoom-in-whitePerbesar
Sumber koleksi pribadi: Pertanian di Ngantang, Malang, Jawa Timur
ADVERTISEMENT
Bagaimanakah fakta sebenarnya dari kondisi petani Jawa awal abad ke-20 pada masa penjajahan kolonial Belanda?
ADVERTISEMENT
Tulisan van Deventer yang berjudul “A Deft of Honor” di majalah “De Gids” tahun 1899 mengguncang sentimen publik di Belanda. Beliau beragumen bahwa Belanda telah memperoleh berjuta-juta dari Indonesia dengan cara tanam paksa, oleh sebab itu perlunya kolonial menyediakan pendidikan bagi penduduk asli. Belanda terikat “demi kehormatan” untuk membalas budi atas dana berjuta-juta itu. Dia memperkirakan jumlah yang akhirnya yang harus dikembalikan adalah 187 juta gulden.
Pendapat tersebut diwujudkan pada tahun 1901 dengan pernyataan pemerintah kolonial sebagai bentuk “kewajiban moral Belanda kepada rakyat Hindia”. Pada tahun 1905 jumlah 40 juta gulden dikeluarkan pemerintah Belanda untuk perbaikan kondisi ekonomi di Jawa dan Madura.
Hasilnya adalah peningkatan panen plus harga hasil pertanian di awal abad ke-20. Produksi tebu naik dari 700.000 ton (pada 1900) menjadi 1,4 juta ton pada tahun 1914. Produksi teh meningkat lima kali lipat, tembakau naik 50 persen, karet praktis dari nol menjadi 15.000 ton. Peningkatan produksi juga disertai peningkatan penerimaan pajak hampir 50 persen pendapatan.
ADVERTISEMENT
Namun anehnya dari hasil laporan kesuksesan peningkatan produksi di atas berbanding terbalik dengan menurunnya kesejahteraan petani Jawa. Apa penyebab hal itu terjadi? Mari kita simak penjelasan dari sumber-sumber Belanda sebagai berikut:
1. Belanda membentuk komite khusus menyelidiki hal tersebut, kesimpulan dari komite itu adalah adanya fakta peningkatan penduduk Jawa hampir lima kali lipat atau lebih sejak awal abad ke-19. Tanah yang seabad lalu menghidupi satu keluarga kini harus menghidupi lima keluarga. Jumlah total penduduk Jawa dan Madura naik dari lima juta pada taun 1815 menjadi 60 juta pada 1860, 28 juta pada 1900 dan 34 juta pada 1920. Peningkatan kebutuhan bertambahnya jumlah anggota keluarga mengakibatkan petani Jawa banyak yang terjebak korban tengkulak (biasanya orang Cina) dengan menjual panennya di muka karena sesegera mungkin agar mendapatkan uang untuk secepatnya memenuhi kebutuhan hidup. Akibatnya harga yang dibayarkan oleh tengkulak lebih rendah dari keuntungan yang seharusnya didapat. Jika panen gagal, maka petani berhutang kepada tengkulak sekaligus menjadi mangsa perente uang.
ADVERTISEMENT
2. Pada Mei 1905, laporan dari Sumatera bagian timur menimbulkan kepanikan besar. Seorang kuli Jawa yang bekerja di gudang beras mendapatkan penghargaan besar karena keahliannya sebagai penangkap tikus. Dia membuat racun yang sangat manjur. Setiap hari dia mendapatkan puluhan tikus yang mati. Namun tiba-tiba dia sakit dan mati dalam dua hari. Suatu penyelidikan medis menunjukkan bahwa dia dan tikus-tikus itu mati karena wabah pes. Pada tahun 1911 satu kasus mencurigakan dilaporkan dari Malang Jawa Timur. Hasil penyelidikan melaporkan bahwa penyakit tersebut mewabah berasal dari gudang beras yang berasal dari pengiriman dari Batavia. Tahun 1911 total 2.000 orang meninggal dan pada tahun 1913 bahkan lebih dari 12.000 orang meninggal. Akhirnya pemerintah Belanda membasmi dengan menghancurkan satu setengah juta rumah dan lumbung padi untuk kemudian dibangun kembali hingga menghabiskan 30 juta gulden. Baru 25 tahun kemudian, negeri Hindia Belanda terbebas dari wabah pes.
ADVERTISEMENT
3. Penyakit epidemik lainnya di Indonesia sejak jaman dahulu yaitu beri-beri. Menurut Jacob Bontius yang menerbitkan buku berjudul De medicina indecorum pada tahun 1642 di Leiden bahwa orang-orang dari ras melayu sangat rentan terhadap penyakit tersebut dan bahkan menyebabkan kematian ribuan orang. Akhirnya Dr. Christiaan Eijkman menemukan penyebabnya. Beliau menemukan bahwa orang yang makan nasi dari beras sosoh (selaput biji hilang dengan pengupasan kulit beras yang berwarna perak serta lapisan dedak atau kulit arinya sehingga menjadi putih dan mengkilap) sebagai makanan normal mudah terjangkiti. Sedangkan orang yang biasa makan nasi dari beras pecah kulit (hanya membuang kulit atau sekamnya saja dengan bulir beras tetap utuh dan kulit ari masih menenpel) tetap bebas dari penyakit tersebut. Penemuan Eijkman secara tidak langsung menemukan pentingnya vitamin dalam kandungan beras dan berdampak dahsyat pada ilmu kedokteran. Akhirnya beliau dihadapan seluruh dunia mendapat hadiah Nobel untuk kedokteran pada tahun 1929.
ADVERTISEMENT
Sekarang dari ketiga fakta di atas apakah anda mulai meyakini bahwa petani Jawa awal abad ke-20 menderita bukan karena penjajahan?
Kesimpulan
Marilah kita perdengarkan pendapat Sukarno mengenai politik etis atau balas budi yang dikatakan untuk menyejahterakan petani Jawa. Beliau bilang “Ilmu yang kupelajari merupakan ilmu untuk kepentingan kapitalis, misalnya pengetahuan tentang sistem pengairan. Ini bukanlah tentang bagaimana cara terbaik untuk mengairi sawah. Yang diberikan hanyalah tentang sistem pengairan untuk tanaman tebu dan tembakau. Ini adalah irigasi untuk kepentingan imperialisme dan kapitalisme, jadi irigasi bukan untuk memberi makan rakyat yang kelaparan, melainkan untuk membikin gendut pemilik kebun”.
Pada akhirnya kita bisa menyimpulkan bahwa sebagus apapun program pemerintah kolonial Belanda, kepentingan dan hasilnya harus kembali untuk keuntungan mereka. Bolehlah petani Jawa menikmati keuntungan tersebut walaupun itu sedikit dan bahkan menjadi tidak berarti dibandingkan beban penjajahan yang mereka terima. Semoga bermanfaat.
ADVERTISEMENT
SUMBER RUJUKAN
Adams, Cindy. 2018. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. PT Media Pressindo: Yogyakarta hal 80
Vlekke, Bernard H.M. 2008. Nusantara Sejarah Indonesia. Jakarta: Freedom Institute hal 374-377