Konten dari Pengguna

Coding di SD dan SMP: Kereta Cepat yang (Mungkin) Melaju di Rel Bambu

FX Risang Baskara
Akademisi yang percaya teknologi harus inklusif. Mengajar di Universitas Sanata Dharma, meneliti tentang teknologi pendidikan. Menulis untuk berbagi, berkarya untuk negeri. Percaya bahwa teknologi harus melayani manusia, bukan sebaliknya.
18 November 2024 18:05 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari FX Risang Baskara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dua pandangan berbeda tentang masa depan coding mencuat belakangan ini. Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka baru saja mengumumkan rencana memasukkan pelajaran coding ke kurikulum SD dan SMP. Pandangan ini menarik untuk disandingkan dengan pernyataan kontroversial CEO Nvidia Jensen Huang yang viral beberapa bulan lalu. Pada Februari 2024, pemimpin raksasa teknologi tersebut sempat menggemparkan dunia teknologi dengan pernyataannya bahwa coding akan menjadi kurang relevan, meski ia tetap menekankan pentingnya peran manusia dalam revolusi teknologi AI. Sebuah ironi yang menarik: di saat Indonesia berambisi mengejar ketertinggalan dari India dalam pembelajaran coding, salah satu tokoh berpengaruh di industri teknologi global justru memberi sinyal berbeda tentang masa depan pemrograman tradisional.
ADVERTISEMENT
Bayangkan ini: di saat sebagian sekolah di kota besar sudah memiliki laboratorium komputer canggih, masih banyak sekolah di pelosok yang bahkan kesulitan mendapatkan listrik stabil, terlebih akses internet. Beginilah potret pendidikan kita – sebuah lukisan abstrak dengan warna yang terlalu kontras. Memasukkan coding ke SD terdengar seperti membeli Ferrari untuk balap di jalan berbatu.
Kelas coding modern di sekolah perkotaan. Sumber: ilustrasi generatif DALL·E, OpenAI.
zoom-in-whitePerbesar
Kelas coding modern di sekolah perkotaan. Sumber: ilustrasi generatif DALL·E, OpenAI.
Tapi tunggu dulu. Jangan buru-buru mencibir gagasan Wapres muda kita ini. Ada benarnya juga kita tidak boleh ketinggalan kereta teknologi. Masalahnya, seperti kata pepatah Jawa, "alon-alon waton kelakon" (pelan-pelan asal sampai tujuan), kita butuh strategi yang tidak terkesan latah ikut-ikutan tren.
Bicara soal AI yang kata Jensen Huang bakal menggantikan programmer, mungkin kita perlu melihatnya dari sudut pandang berbeda. Teknologi memang mengambil alih banyak pekerjaan, tapi sekaligus menciptakan peluang baru. Bukan menghilangkan pekerjaan, tapi mengevolusikannya menjadi bentuk yang lebih kompleks dan bermakna.
ADVERTISEMENT
Jadi, apa yang harus kita lakukan? Pertama, mari akui bahwa mimpi Wapres Gibran bagus, tapi perlu disempurnakan dengan realitas lapangan. Kita bisa mulai dari yang sederhana: melatih guru-guru memahami computational thinking (cara berpikir sistematis ala komputer), tanpa harus langsung terjun ke coding rumit.
Yang menarik, di tengah perdebatan ini, pernyataan CEO Nvidia mungkin justru memberi kita perspektif baru. Mungkin fokus utama bukanlah pada coding itu sendiri, melainkan pada kemampuan berpikir sistematis dan memecahkan masalah. Di era AI, justru kemampuan manusiawi seperti kreativitas dan pemikiran kritis yang menjadi semakin penting.
Alih-alih terburu-buru implementasi coding di semua SD dan SMP, mungkin lebih bijak kalau kita mulai dengan pilot project di beberapa sekolah. Biarkan mereka jadi laboratorium hidup, tempat kita belajar apa yang bisa dilakukan dan apa yang tidak. Sambil jalan, sambil melihat perkembangan teknologi. Toh, teknologi berkembang lebih cepat dari waktu yang dibutuhkan oleh saya untuk menulis artikel ini.
ADVERTISEMENT
Kesenjangan digital di Indonesia bukan hanya soal akses internet atau ketersediaan komputer. Ini tentang kesenjangan peluang, tentang hak setiap anak Indonesia untuk menjadi bagian dari masa depan digital. Memasukkan coding ke kurikulum SD dan SMP tanpa persiapan matang justru bisa memperlebar jurang kesenjangan ini.
Sekolah di pedesaan dengan fasilitas terbatas. Sumber: ilustrasi generatif DALL·E, OpenAI.
Yang pasti, satu hal yang tidak boleh kita lupakan: pendidikan bukan sebuah perlombaan balapan. India sudah mengajarkan AI? Bagus untuk mereka. Tapi Indonesia punya ceritanya sendiri. Mari tulis cerita itu dengan bijak, supaya semua anak Indonesia - dari Sabang sampai Merauke - bisa ikut jadi bagian dari masa depan digital, dengan caranya masing-masing.