Konten dari Pengguna

Deep Learning Politik: Ketika Demokrasi Butuh Lebih dari Sekadar Mencoblos

FX Risang Baskara
Akademisi yang percaya teknologi harus inklusif. Mengajar di Universitas Sanata Dharma, meneliti tentang teknologi pendidikan. Menulis untuk berbagi, berkarya untuk negeri. Percaya bahwa teknologi harus melayani manusia, bukan sebaliknya.
27 November 2024 9:13 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari FX Risang Baskara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ketika mengamati persiapan Pilkada hari ini, saya menemukan sebuah ironi menarik yang terkait dengan pengumuman terbaru dari dunia pendidikan kita. Di satu sisi, Mendikdasmen Abdul Mu'ti mengajak kita bergerak menuju pembelajaran yang lebih mendalam dengan konsep deep learning. Di sisi lain, ritual demokrasi kita masih kerap terjebak dalam "surface learning" politik - sekadar mencoblos tanpa pemahaman mendalam.
ADVERTISEMENT
Konsep deep learning yang diperkenalkan Mendikdasmen memiliki tiga elemen kunci: Mindful Learning (kesadaran akan keberagaman), Meaningful Learning (keterlibatan aktif), dan Joyful Learning (pemahaman yang menyenangkan). Saya melihat ketiga elemen ini sebenarnya sangat relevan dengan proses berdemokrasi yang sedang kita jalani. Bukankah demokrasi juga membutuhkan kesadaran akan keberagaman, keterlibatan aktif warga, dan pemahaman yang mendalam tentang proses politik?
Konsep Deep Learning dan Demokrasi. Sumber: ilustrasi generatif DALL·E, OpenAI.
zoom-in-whitePerbesar
Konsep Deep Learning dan Demokrasi. Sumber: ilustrasi generatif DALL·E, OpenAI.
Ketua KPU Mochammad Afifuddin telah memastikan kesiapan teknis Pilkada di seluruh daerah. Namun, dari pengalaman saya mengamati proses-proses demokrasi selama dua dekade terakhir, kesiapan teknis saja tidak pernah cukup. Sama seperti pendidikan yang tidak bisa hanya mengandalkan hafalan, demokrasi juga membutuhkan proses pembelajaran yang melampaui aspek prosedural semata.
Saya terkesan dengan fenomena di Jawa Timur: tiga calon gubernur perempuan dan lima pasangan calon tunggal. Ini bukan sekadar statistik politik - ini adalah "laboratorium demokrasi" yang menawarkan pembelajaran berharga tentang dinamika politik lokal. Kehadiran 36 negara dalam Election Visit Program (EVP) mengonfirmasi bahwa Indonesia telah menjadi tempat belajar demokrasi yang menarik untuk dipelajari dunia.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks pembelajaran mendalam, kehadiran tiga calon perempuan di Jawa Timur memberikan pelajaran penting tentang kesetaraan gender dalam politik. Ini adalah bentuk Mindful Learning dalam demokrasi - sebuah kesadaran bahwa kepemimpinan politik tidak lagi dibatasi oleh gender. Sementara itu, fenomena lima pasangan calon tunggal menghadirkan pertanyaan kritis tentang kematangan sistem politik kita - sebuah bahan Meaningful Learning yang mendorong kita untuk mempertanyakan efektivitas sistem yang ada.
EVP sendiri adalah bukti bahwa proses demokratisasi Indonesia telah mencapai tahap yang menarik untuk dipelajari secara global. Saya melihat ini sebagai momentum untuk melakukan refleksi: sudah sejauh mana kita sendiri belajar dari proses demokrasi kita? Apakah kita masih terjebak dalam surface learning yang hanya fokus pada prosedur, atau sudah bergerak menuju deep learning yang memahami esensi demokrasi?
ADVERTISEMENT
Di era digital ini, tantangan surface learning dalam demokrasi semakin kompleks. Bombardir informasi dan hoaks bisa membuat warga terjebak dalam pembelajaran dangkal tentang politik. Mereka bisa jadi "tahu banyak" tetapi pemahaman mereka tidak mendalam. Di sinilah pentingnya menerapkan prinsip Joyful Learning dalam demokrasi - menciptakan proses pembelajaran politik yang menyenangkan namun substantif.
Joyful Learning dalam Era Digital. Sumber: ilustrasi generatif DALL·E, OpenAI.
Hari ini, ketika kita melangkah ke TPS, saya berharap pertanyaannya bukan lagi sekadar "sudahkah mencoblos?" tetapi "sudahkah memahami?" Deep learning dalam demokrasi berarti melampaui formalitas prosedural menuju pemahaman substantif tentang makna pilihan politik kita. Ini termasuk memahami visi-misi calon, track record mereka, dan implikasi dari setiap kebijakan yang mereka tawarkan.
Pengalaman mengamati dinamika sosial-politik telah meyakinkan saya bahwa seperti halnya pendidikan yang bergerak dari surface learning ke deep learning, demokrasi Indonesia juga perlu bertransformasi. Kita perlu mengembangkan "pedagogi politik" yang mendorong pembelajaran mendalam tentang demokrasi. Ini bisa dimulai dari pendidikan politik yang tidak sekadar mengajarkan tata cara memilih, tetapi juga membangun kesadaran kritis dan kemampuan analitis warga.
ADVERTISEMENT
Partisipasi politik perlu dimaknai ulang sebagai proses pembelajaran seumur hidup. Bukan lagi sekadar ritual lima tahunan, tetapi keterlibatan aktif dalam mengawasi dan memberi masukan terhadap proses-proses politik. Deep learning dalam demokrasi berarti mengembangkan "melek politik" yang melampaui kemampuan membaca berita politik - yakni kemampuan menganalisis, memahami konteks, dan mengambil sikap kritis terhadap berbagai isu politik.
Saya percaya di sinilah deep learning dan demokrasi bertemu: keduanya adalah proses pembelajaran seumur hidup yang menuntut kesadaran, keterlibatan aktif, dan pemahaman mendalam. Mari jadikan Pilkada hari ini sebagai momentum untuk memulai transformasi pembelajaran politik kita - dari sekadar mencoblos menuju pemahaman yang lebih bermakna tentang demokrasi.