Konten dari Pengguna

Dilema Kejujuran: Antara ChatGPT, AI Guilt, dan Masa Depan Pendidikan Tinggi

FX Risang Baskara
Akademisi yang percaya teknologi harus inklusif. Mengajar di Universitas Sanata Dharma, meneliti tentang teknologi pendidikan. Menulis untuk berbagi, berkarya untuk negeri. Percaya bahwa teknologi harus melayani manusia, bukan sebaliknya.
22 Desember 2024 9:52 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari FX Risang Baskara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di sudut ruang dosen, saya mendengar percakapan yang semakin sering terjadi belakangan ini. "Tulisan mahasiswa ini terlalu bagus untuk levelnya," kata seorang kolega. "Pasti pakai AI," timpal yang lain. Sementara di kantin, seorang mahasiswa berbisik pada temannya, "Kalau tidak pakai ChatGPT, mana mungkin selesai tepat waktu?"
Mahasiswa dan AI: Dua Sisi Dilema. Ilustrasi generatif DALL·E, OpenAI.
zoom-in-whitePerbesar
Mahasiswa dan AI: Dua Sisi Dilema. Ilustrasi generatif DALL·E, OpenAI.
Dua tahun setelah kelahiran ChatGPT, dunia akademik Indonesia menghadapi dilema yang melampaui sekadar isu teknologi. Ini adalah krisis kepercayaan. Ketika lebih dari setengah mahasiswa global mengaku menggunakan AI untuk tugas mereka, kita dipaksa bertanya: masihkah ada tempat untuk kejujuran akademik dalam sistem pendidikan kita?
ADVERTISEMENT
Sebagai seorang dosen, saya melihat ada yang lebih mendasar dari sekadar isu kecurangan. Ada pergeseran fundamental dalam cara kita memahami apa artinya "belajar" dan "mengajar". Ketika mesin bisa menulis esai yang lebih terstruktur dari manusia, apa sebenarnya yang coba kita ukur dengan tugas-tugas perkuliahan?
Paradoksnya, upaya mendeteksi penggunaan AI justru menciptakan ketidakadilan baru. Software pendeteksi AI, yang dianggap sebagai penyelamat integritas akademik, ternyata punya bias tersembunyi. Mereka cenderung mendeteksi tulisan mahasiswa non-native speaker atau mereka yang menulis dengan bahasa sederhana. Dalam konteks Indonesia, di mana bahasa Inggris adalah bahasa asing, ini adalah pukulan ganda bagi mahasiswa yang sudah berjuang dengan keterbatasan bahasa.
Lebih memprihatinkan lagi, situasi ini menciptakan lingkungan akademik yang toxic. Mahasiswa melaporkan teman sekelas yang dicurigai menggunakan AI. Dosen meragukan tulisan mahasiswa berprestasi karena "terlalu bagus". Yang paling menderita? Mereka yang benar-benar berusaha jujur namun kebetulan punya gaya penulisan yang "mirip AI".
ADVERTISEMENT
Tapi mungkin kita salah fokus. ChatGPT bukanlah akar masalahnya - ia hanya membuat kita sadar akan kelemahan sistem yang sudah ada. Kelas yang terlalu besar membuat interaksi personal hampir mustahil. Beban mengajar yang berat membuat dosen tak punya waktu membimbing mahasiswa secara individu. Tekanan publikasi membuat penelitian lebih penting dari pengajaran.
Di era ketika biaya kuliah semakin mencekik dan prospek kerja semakin kabur, tak heran banyak mahasiswa melihat gelar sebagai sekadar formalitas. Penggunaan AI menjadi "jalan pintas pragmatis" dalam sistem yang sudah kehilangan esensi pembelajarannya. Seperti kata seorang mahasiswa kepada saya, "Pak, kalau dosen saja pakai AI untuk bikin soal ujian, kenapa kami tidak boleh pakai untuk menjawabnya?"
Yang kita butuhkan bukan kebijakan hitam-putih tentang AI, tapi reformasi mendasar dalam cara kita memandang pendidikan tinggi. Saya mengusulkan beberapa langkah konkret:
ADVERTISEMENT
Pertama, mengembalikan esensi pembelajaran melalui interaksi personal. Ya, kelas kecil dan tutorial lebih mahal. Tapi bukankah lebih baik investasi di sini daripada membeli software pendeteksi AI mahal yang tetap bisa dikelabui?
Kedua, merancang ulang sistem evaluasi. Presentasi lisan, proyek lapangan, dan diskusi mendalam mungkin lebih merepotkan untuk dinilai, tapi jauh lebih sulit di-"chatGPT-kan" dibanding bentuk esai yang bisa dengan mudah dikerjakan oleh AI .
Reformasi Evaluasi Pendidikan. Ilustrasi generatif DALL·E, OpenAI.
Ketiga, dan mungkin yang terpaling krusial, membangun kembali kepercayaan antara dosen dan mahasiswa. Ini bukan tentang teknologi, tapi tentang hubungan manusia. Ketika mahasiswa merasa dosennya peduli dengan pembelajaran mereka - bukan hanya nilai akhir - godaan untuk curang akan berkurang dengan sendirinya.
Saya teringat mahasiswa tingkat akhir yang pernah konsultasi. "Pak," katanya, "saya bisa saja pakai AI untuk skripsi ini. Tapi rasanya seperti mengkhianati empat tahun perjuangan saya di kampus." Mungkin di sini kita menemukan kunci solusinya: membuat proses pembelajaran cukup bermakna sehingga mahasiswa merasa rugi jika menghindarinya dengan AI.
ADVERTISEMENT
AI memang mengubah lanskap akademik, tapi ini juga kesempatan emas untuk memikirkan ulang hakikat pendidikan tinggi. Di era ketika mesin bisa menulis lebih baik dari manusia, mungkin sudah waktunya fokus pada aspek pembelajaran yang tidak bisa direplikasi AI: kreativitas, pemikiran kritis, dan yang terpenting - integritas. Tantangan kita ke depan bukan melawan teknologi, tapi membangun sistem pendidikan yang membuat teknologi menjadi sekutu, bukan godaan, dalam proses pembelajaran.