Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Dua Arah Kebijakan Pendidikan: Antara Nostalgia UN dan Lompatan Digital
20 November 2024 19:07 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari FX Risang Baskara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
November 2024 menjadi bulan yang menarik untuk pendidikan Indonesia. Di satu sisi, ada wacana menghidupkan kembali Ujian Nasional (UN), di sisi lain pemerintah berencana memasukkan AI dan coding sebagai mata pelajaran pilihan di SD-SMP. Dua kebijakan yang seolah menunjukkan tarik-menarik antara cara lama dan tuntutan masa depan.
Mendikdasmen Abdul Mu'ti tampak berhati-hati merespons kedua isu ini. Untuk UN, beliau memilih posisi sebagai "pendengar yang baik", menampung aspirasi dari berbagai kalangan sebelum mengambil keputusan. Sementara untuk AI dan coding, kebijakannya lebih tegas: akan diterapkan sebagai mata pelajaran pilihan, khusus di sekolah yang sudah siap.
ADVERTISEMENT
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) dengan tegas menolak kembalinya UN. Pengalaman masa lalu menjadi dasar penolakan: stres pada peserta didik dan munculnya berbagai kecurangan demi mengejar kelulusan. Sebuah pengingat bahwa tidak semua kebijakan masa lalu layak untuk dihidupkan kembali.
Di sisi lain, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dengan optimis mendorong pembelajaran coding dan AI, dengan India sebagai benchmark. "Kita ingin lebih banyak lagi ahli-ahli coding, ahli-ahli AI, ahli-ahli machine learning," katanya, menggambarkan visi Indonesia di era digital.
Menarik melihat bagaimana dua kebijakan ini mencerminkan dilema pendidikan kita. UN mewakili cara tradisional mengukur keberhasilan pendidikan: seragam, terstandar, dan berbasis hasil akhir. Sementara pembelajaran AI dan coding menuntut pendekatan yang lebih fleksibel, adaptif, dan berorientasi proses.
ADVERTISEMENT
Keputusan menjadikan AI dan coding sebagai mata pelajaran pilihan, khusus di sekolah yang mampu, menunjukkan kesadaran akan kesenjangan infrastruktur pendidikan kita. Ini pendekatan yang realistis: alih-alih memaksakan pemerataan semu, lebih baik memberi ruang bagi yang siap untuk melangkah lebih dulu.
Namun pertanyaan kritisnya: mengapa kita begitu mudah mempertimbangkan kembalinya UN - sebuah sistem yang terbukti memiliki banyak efek negatif - sementara untuk inovasi pembelajaran digital, kita harus menunggu kesiapan infrastruktur? Bukankah ini mencerminkan paradigma yang perlu diubah?
Alih-alih berfokus pada UN yang cenderung menciptakan tekanan dan kompetisi tidak sehat, mungkin energi kita lebih baik diarahkan untuk memperkuat fondasi pembelajaran digital. Bukan hanya coding dan AI, tapi juga literasi digital dasar yang akan menjadi kunci sukses di masa depan.
ADVERTISEMENT
Yang kita butuhkan adalah sistem evaluasi yang mendorong kreativitas dan kemampuan pemecahan masalah, bukan sekadar kemampuan mengingat dan mengerjakan soal standar. Jika UN ingin dihidupkan kembali, mungkin perlu didesain ulang agar lebih sejalan dengan tuntutan era digital.
Keinginan menciptakan "generasi emas" seperti yang disampaikan Wapres Gibran memang mulia. Tapi jalan ke sana bukan dengan menghidupkan kembali praktik masa lalu atau sekadar meniru negara lain. Indonesia perlu menemukan formulanya sendiri: sistem pendidikan yang mengakar pada kearifan lokal namun mampu menjawab tantangan global.
Saat dunia bergerak ke arah digitalisasi dan otomatisasi, Indonesia memang tidak bisa diam. Tapi bergerak bukan berarti melompat tanpa persiapan, atau sebaliknya, kembali ke cara-cara lama. Yang dibutuhkan adalah visi jelas dan strategi bertahap yang mempertimbangkan keragaman kondisi pendidikan di Indonesia.
ADVERTISEMENT