Konten dari Pengguna

Kasih Tak Sampai: Refleksi Hubungan Guru dan AI di Penghujung 2024

FX Risang Baskara
Akademisi yang percaya teknologi harus inklusif. Mengajar di Universitas Sanata Dharma, meneliti tentang teknologi pendidikan. Menulis untuk berbagi, berkarya untuk negeri. Percaya bahwa teknologi harus melayani manusia, bukan sebaliknya.
31 Desember 2024 7:47 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari FX Risang Baskara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ketika daun-daun terakhir berguguran di penghujung 2024, saya duduk merenung tentang sebuah kisah yang belum menemukan akhirnya - romansa antara para pendidik dan kecerdasan buatan. Seperti novel yang masih mencari ending yang tepat, tahun ini menyajikan drama yang penuh dengan harapan, ketakutan, dan pelajaran berharga tentang bagaimana teknologi dan pendidikan mencoba menemukan harmoni mereka.
Cahaya di Ujung Terowongan Pendidikan. Ilustrasi generatif DALL·E, OpenAI.
zoom-in-whitePerbesar
Cahaya di Ujung Terowongan Pendidikan. Ilustrasi generatif DALL·E, OpenAI.
Awal tahun dibuka dengan optimisme yang menggebu. Hampir seluruh pemimpin pendidikan melihat potensi AI bagaikan cahaya di ujung terowongan. Namun kenyataan berkata lain. Ketika musim berganti, hanya sepertiga sekolah yang benar-benar berani menjalin "hubungan serius" dengan teknologi ini. Seperti kisah cinta yang terhambat restu orang tua, teknologi dan pendidikan kita masih berjalan tertatih mencari titik temu.
ADVERTISEMENT
Laporan Carnegie Learning menyajikan paradoks yang menarik. Mayoritas pendidik mengakui pesona AI, namun hanya separuh yang memberanikan diri untuk "berkencan" dengannya. Fenomena ini mengingatkan saya pada masa-masa awal internet memasuki ruang kelas - ada ketertarikan yang besar, namun dibayangi kewaspadaan yang sama besarnya.
Namun tahun ini tidak sepenuhnya tentang keraguan. Ada banyak "momen manis" yang patut dicatat. AI membuktikan dirinya sebagai asisten yang handal dalam beberapa aspek. Para guru melaporkan berkurangnya beban administratif secara signifikan. Mereka terpesona dengan kemampuan AI memberikan perhatian personal kepada siswa. Bahkan keterlibatan siswa dalam pembelajaran meningkat berkat kehadiran teknologi ini.
Para guru mulai menemukan cara mereka sendiri untuk "berteman" dengan AI. Sebagian besar memilih pendekatan yang hati-hati namun produktif, menggunakannya untuk mencari inspirasi dan mengembangkan ide pembelajaran. Beberapa lebih berani, mengintegrasikannya dalam pembuatan materi ajar dan perencanaan pembelajaran.
Harmoni Guru dan AI. Ilustrasi generatif DALL·E, OpenAI.
Namun, seperti setiap kisah cinta yang kompleks, ada ketakutan yang mengendap-endap. Ancaman siber menjadi momok yang menakutkan. Kurangnya pelatihan membuat banyak guru merasa tidak siap. Yang paling mengkhawatirkan adalah hantu kecurangan dan plagiarisme yang seolah tak pernah lelah menghantui.
ADVERTISEMENT
Yang menarik, ketakutan terbesar mungkin bukan pada AI-nya sendiri, melainkan pada perubahan identitas yang mungkin terjadi. Bagaimana mempertahankan esensi mengajar di era digital? Ini seperti ketakutan akan kehilangan jati diri dalam sebuah hubungan - sesuatu yang sangat manusiawi dan dapat dimengerti.
Microsoft memberikan gambaran yang mencerahkan tentang akar masalahnya. Hanya sebagian kecil guru yang merasa benar-benar memahami AI. Seperti dalam hubungan apapun, ketidakpahaman sering menjadi akar dari ketakutan dan keengganan untuk melangkah lebih jauh.
Memasuki tahun baru, mungkin sudah saatnya mengubah narasi dari "kasih tak sampai" menjadi "kisah yang sedang berproses". Alih-alih memaksakan hubungan yang belum matang, lebih baik fokus pada membangun pemahaman yang lebih dalam. Para guru perlu diberi ruang untuk menemukan ritme mereka sendiri dalam mengadopsi teknologi, sambil tetap menjaga esensi kemanusiaan dalam pendidikan.
ADVERTISEMENT
Yang dibutuhkan ke depan adalah program pengembangan profesional yang berkelanjutan, dengan fokus pada pemahaman mendalam, bukan sekadar keterampilan teknis. Integrasi aspek etis dan pedagogis dalam penggunaan AI menjadi kunci. Kebijakan yang jelas dan komprehensif perlu dirumuskan, lengkap dengan standar etika dan mekanisme evaluasi yang matang.
Pendekatan personal juga tidak boleh dilupakan. Setiap guru perlu diberi kebebasan untuk bereksperimen dalam batas-batas yang aman, didukung bantuan teknis yang memadai, serta ruang untuk berbagi pengalaman dan pembelajaran dengan rekan sejawat.
Di penghujung 2024 ini, kita mungkin belum menemukan "happy ending" dalam kisah guru dan AI. Namun mungkin itu bukan masalah. Seperti dalam setiap hubungan yang bermakna, prosesnya sama pentingnya dengan hasil akhir. Yang kita butuhkan adalah kesabaran untuk membangun hubungan yang matang antara teknologi dan pendidikan - hubungan yang didasari pemahaman, bukan ketakutan; kebijaksanaan, bukan euphoria sesaat.
ADVERTISEMENT
Mungkin di sinilah letak kebijaksanaan yang perlu kita temukan: dalam keseimbangan antara merangkul kemajuan dan mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan. Karena pada akhirnya, pendidikan bukan tentang teknologi atau metode, tapi tentang membimbing jiwa-jiwa muda menuju potensi terbaik mereka.
Saat saya mengakhiri tulisan ini, lampu-lampu tahun baru mulai berkedip di kejauhan. Seperti cinta yang matang tidak datang dengan terburu-buru, hubungan antara pendidikan dan teknologi juga perlu waktu untuk tumbuh dari pemahaman dan penerimaan yang dalam. Mungkin itulah yang perlu kita bawa sebagai pelajaran memasuki tahun 2025.
Salam Cerdas dan Humanis.