Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.92.0
Konten dari Pengguna
Kurikulum dan Literasi Digital di Era AI: Lebih dari Sekadar "Melek Teknologi"
15 Desember 2024 16:42 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari FX Risang Baskara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebuah pemandangan menarik di salah satu SMA di Yogyakarta: seorang siswa menggunakan Adobe Firefly untuk memvisualisasikan puisi yang dia tulis, temannya menggunakan Canva untuk mendesain poster kampanye lingkungan, sementara yang lain sibuk meminta ChatGPT menjelaskan konsep fisika dalam bentuk dialog drama. Di sudut lain, seorang guru kebingungan melihat tugas siswanya yang menggabungkan teks, gambar, suara, dan animasi dalam satu presentasi.
Ini bukan sekadar cerita tentang teknologi. Ini tentang pergeseran fundamental dalam cara kita menyampaikan dan memahami informasi. Era Generative AI telah membawa kita memasuki dunia "literasi multimodal" - di mana makna tidak lagi hanya disampaikan melalui teks, tapi melalui berbagai bentuk media yang saling terjalin.
ADVERTISEMENT
Bayangkan warung kopi tradisional yang tiba-tiba menawarkan menu dalam bentuk QR code beranimasi. Atau pedagang jamu yang promosi lewat TikTok dengan background musik tradisional yang di-remix. Inilah realitas Indonesia hari ini - tempat di mana berbagai bentuk komunikasi bercampur dalam harmoni yang unik.
Namun kurikulum kita masih terjebak dalam pemahaman literasi yang sempit. Kita masih terlalu fokus mengajarkan anak-anak membaca dan menulis teks, sementara dunia di luar kelas sudah berkomunikasi dalam bahasa visual, audio, dan interaktif. Ketika AI bisa menghasilkan konten multimedia dalam hitungan detik, pertanyaannya bukan lagi "bagaimana membuat konten?" tapi "bagaimana memahami dan menggunakan konten dengan bijak?"
Mari ambil contoh sederhana: dulu kita mengajarkan anak menulis karangan deskriptif tentang pemandangan alam. Sekarang, dengan AI, mereka bisa membuat pemandangan itu dalam berbagai bentuk - lukisan digital, soundscape, bahkan pengalaman virtual. Apakah ini membuat kemampuan menulis menjadi tidak penting? Tentu tidak. Tapi ini mengharuskan kita mengajarkan "literasi" dalam arti yang lebih luas.
Di sinilah tantangan dan peluangnya. Indonesia, dengan kekayaan budaya visualnya - dari batik sampai wayang - sebenarnya punya modal besar untuk mengembangkan pendekatan literasi multimodal yang unik. Bayangkan pembelajaran yang mengintegrasikan:
ADVERTISEMENT
Pemahaman visual: Tidak hanya membaca grafik, tapi juga memahami bagaimana AI menghasilkan dan memanipulasi gambar.
Literasi audio: Dari mendongeng tradisional hingga podcast modern, memahami bagaimana suara membentuk makna.
Literasi spasial: Memanfaatkan ruang virtual dan augmented reality untuk pembelajaran.
Literasi kritis: Kemampuan mengevaluasi kredibilitas dan konteks berbagai bentuk media.
Yang kita butuhkan adalah kurikulum yang mengakui bahwa di era AI, "membaca" bisa berarti menafsirkan video, "menulis" bisa berarti membuat infografis, dan "berhitung" bisa berarti memahami visualisasi data yang kompleks.
Beberapa sekolah dan universitas di Indonesia sudah mulai bergerak ke arah ini. Tapi ini belum cukup. Kita perlu sistem yang mengakui bahwa di era AI, kemampuan bekerja dengan berbagai bentuk media adalah keterampilan dasar, bukan tambahan. Sistem yang memahami bahwa literasi multimodal bukan sekadar tentang teknologi, tapi tentang cara berpikir dan berkomunikasi yang baru.
ADVERTISEMENT
Untuk para guru, ini berarti perlu mengembangkan "repertoire" baru. Bukan hanya mahir menggunakan teknologi, tapi juga memahami bagaimana berbagai bentuk media bisa digunakan untuk pembelajaran yang bermakna. Untuk siswa, ini berarti kesempatan untuk mengekspresikan pemahaman mereka dalam bentuk yang paling sesuai dengan gaya belajar masing-masing.
AI memang mengubah lanskap literasi dengan kecepatan yang kadang menakutkan. Tapi seperti nenek moyang kita yang berhasil mengadaptasi aksara asing menjadi aksara Nusantara, kita juga bisa mengadaptasi teknologi ini menjadi alat yang memperkaya, bukan menghilangkan, identitas budaya kita.