Konten dari Pengguna

Menertawakan ChatGPT: Kisah Dua Kubu yang Sama-Sama (Mungkin) Keliru

FX Risang Baskara
Akademisi yang percaya teknologi harus inklusif. Mengajar di Universitas Sanata Dharma, meneliti tentang teknologi pendidikan. Menulis untuk berbagi, berkarya untuk negeri. Percaya bahwa teknologi harus melayani manusia, bukan sebaliknya.
14 Desember 2024 11:01 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari FX Risang Baskara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bayangkan sebuah restoran cepat saji. Para remaja dengan antusias memesan lewat mesin self-service, sementara para orang tua masih mengantri di konter tradisional. Ironis? Inilah yang terjadi dengan ChatGPT di dunia pendidikan kita hari ini.
ADVERTISEMENT
Dua tahun setelah kelahirannya, ChatGPT menciptakan fenomena unik: murid berlari memeluknya, guru berjalan menjauh darinya. Data menunjukkan lebih dari 15% percakapan chatbot adalah siswa mencari bantuan PR, sementara hanya 2% guru yang mengaku sering menggunakannya. Tapi tunggu dulu - siapa yang sebenarnya lebih bijak di sini?
Siswa dan Guru: Kontras Teknologi di Kelas. Sumber: ilustrasi generatif DALL·E, OpenAI.
zoom-in-whitePerbesar
Siswa dan Guru: Kontras Teknologi di Kelas. Sumber: ilustrasi generatif DALL·E, OpenAI.
Saya teringat cara pandang menarik dari seorang koki terkenal tentang fast food: "Bukan makanannya yang salah, tapi cara kita memperlakukannya." Mungkin ini berlaku juga untuk AI dalam pendidikan. Para siswa mungkin terlalu naif menganggapnya sebagai tongkat ajaib, sementara guru mungkin terlalu skeptis melihatnya sebagai ancaman.
Mari kita lihat dari sudut pandang berbeda. Ketika seorang siswa menggunakan ChatGPT untuk mengerjakan PR matematika, apa yang sebenarnya terjadi? Dia mungkin kehilangan kesempatan belajar - atau mungkin juga sedang belajar skill baru: bagaimana merumuskan pertanyaan yang tepat, bagaimana memverifikasi jawaban, bagaimana menggunakan teknologi secara efektif.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, ketika guru menolak menggunakan AI, apakah ini bentuk ketertinggalan atau justru kebijaksanaan? Dr. Emily Bender menyebutnya "mesin penghasil teks sintetis" - sebuah istilah yang mengingatkan kita bahwa AI, pada dasarnya, hanyalah mesin pengolah kata canggih, bukan dewa pengetahuan.
Tapi ada yang lucu di sini. Para siswa yang dianggap "curang" menggunakan AI mungkin justru sedang memprotes sistem pendidikan yang terlalu kaku. Seperti kata YouTuber Eddy Burback, penggunaan jalan pintas oleh siswa sering kali adalah bentuk pemberontakan terhadap sistem yang terlalu membebani. Bukankah ini sinyal yang perlu kita dengar?
Noam Chomsky bilang AI tidak ada hubungannya dengan pendidikan kecuali merusaknya. Tapi bukankah dulu orang juga mengatakan hal yang sama tentang kalkulator? Tentang internet? Tentang Google? Mungkin masalahnya bukan pada alatnya, tapi pada cara kita memandang pendidikan itu sendiri.
ChatGPT vs Metode Tradisional: Dilema Pendidikan. Sumber: ilustrasi generatif DALL·E, OpenAI.
Bayangkan sebuah orkestra. AI bisa jadi seperti metronome - alat yang membantu menjaga tempo, tapi tidak bisa menggantikan conductor yang memahami jiwa musik. Guru yang baik adalah conductor yang tahu kapan menggunakan alat bantu dan kapan mengandalkan intuisi manusiawi.
ADVERTISEMENT
Yang menarik, penolakan guru terhadap AI mungkin justru bentuk perlawanan yang kita butuhkan di era digital. Di tengah euphoria teknologi, kita butuh suara-suara yang mengingatkan bahwa pendidikan sejati lebih dari sekadar produksi konten - ini tentang pembentukan manusia utuh.
Tapi jangan salah - ini bukan berarti kita harus memilih kubu. Mungkin kita perlu belajar dari street food yang berhasil masuk restoran bintang lima: adaptasi tanpa kehilangan esensi. Guru bisa menggunakan AI untuk tugas-tugas administratif sambil tetap mempertahankan sentuhan personal dalam mengajar.
Yang kita butuhkan adalah dialog jujur antara generasi. Alih-alih saling menyalahkan - siswa dituduh malas, guru dianggap kolot - mari bicara tentang apa yang sebenarnya kita harapkan dari pendidikan. Mungkin ChatGPT bisa jadi katalis untuk diskusi yang sudah lama kita tunda ini.
ADVERTISEMENT
Sebagai penutup, mari kita tertawa sejenak melihat ironi ini: di saat kita berdebat tentang AI dalam pendidikan, mungkin yang sebenarnya perlu kita perbaiki adalah hubungan guru-murid yang semakin renggang di era digital. Mungkin, hanya mungkin, ChatGPT bisa menjadi cermin yang memantulkan kelemahan sistem pendidikan kita.