Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.95.1
Konten dari Pengguna
Paradoks Literasi AI: Ketika Pengetahuan Justru Menghambat Inovasi Pendidikan
28 Januari 2025 18:25 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari FX Risang Baskara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dunia pendidikan selalu penuh kejutan. Saat kita mengira pemahaman teknologi adalah kunci utama transformasi digital pendidikan, sebuah penelitian di Journal of Marketing mengungkap paradoks yang menggelisahkan: semakin tinggi pemahaman seseorang tentang AI, semakin rendah keinginannya untuk mengadopsi teknologi ini. Fenomena "lower literacy-higher receptivity" ini seperti tamparan keras bagi banyak asumsi kita tentang inovasi pendidikan.
Ketika kebijakan pendidikan nasional gencar mendorong integrasi AI, temuan ini memaksa kita berhenti sejenak dan bertanya: apakah kita telah keliru dalam strategi transformasi digital pendidikan kita? Jika pemahaman justru menciptakan resistensi, bagaimana seharusnya kita mempersiapkan pendidik dan peserta didik menghadapi era AI?
ADVERTISEMENT
Para peneliti menemukan pola yang menarik: resistensi terhadap AI paling kuat muncul dalam tugas-tugas yang membutuhkan kualitas manusiawi, seperti konseling atau pendampingan pembelajaran. Mereka yang memahami cara kerja AI justru lebih skeptis terhadap kemampuannya dalam peran-peran ini. Sebaliknya, untuk tugas-tugas teknis seperti analisis data, pemahaman teknologi justru mendorong adopsi.
Ini membawa implikasi mendalam bagi pendidikan Indonesia. Saat Kemendikbud mendorong penggunaan AI di sekolah, kita perlu mempertimbangkan ulang pendekatan kita. Mungkin fokus pada aspek teknis AI dalam pelatihan guru justru kontraproduktif. Kita perlu pendekatan yang lebih halus dan seimbang.
Filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara tentang "neng-ning-nung-nang" menawarkan kerangka berpikir yang relevan. Kita butuh momen hening untuk refleksi mendalam tentang peran teknologi (neng). Kejernihan pikiran untuk memahami batas antara apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan AI (ning). Keteguhan dalam mengimplementasikan teknologi secara bijak (nung). Dan akhirnya, pencapaian yang bermakna bagi pendidikan (nang).
Sistem pendidikan kita perlu mengembangkan pendekatan baru dalam literasi AI. Bukan sekadar pelatihan teknis, tapi pemahaman holistik yang mencakup aspek filosofis, etis, dan sosial. Bagaimana AI bisa memperkaya, bukan menggantikan, dimensi kemanusiaan dalam pembelajaran. Bagaimana menyeimbangkan efisiensi teknologi dengan kebutuhan interaksi manusiawi.
ADVERTISEMENT
Kurikulum literasi AI perlu dirancang ulang. Alih-alih menghilangkan unsur "keajaiban" yang mendorong adopsi, kita perlu membangun pemahaman yang membuat pengguna lebih bijak. Ini berarti mengintegrasikan diskusi etis dan refleksi kritis dalam setiap tahap pembelajaran teknologi.
Program pengembangan guru juga perlu dievaluasi. Selama ini, pelatihan terlalu berfokus pada keterampilan teknis mengoperasikan AI. Kita perlu lebih banyak ruang untuk dialog tentang implikasi AI bagi pedagogi, psikologi pembelajaran, dan relasi guru-murid.
Yang tak kalah penting adalah membangun kesadaran bahwa adopsi teknologi tidak harus linear. Kadang melambat untuk refleksi sama pentingnya dengan bergerak cepat untuk inovasi. Seperti dalam tarian tradisional, kadang langkah mundur justru memberi momentum untuk lompatan yang lebih jauh.
Sistem pendidikan nasional perlu menciptakan ruang yang lebih luas untuk eksperimentasi dan pembelajaran dari kegagalan. Kita perlu lebih banyak penelitian tentang dampak AI dalam konteks lokal, lebih banyak dialog antara praktisi pendidikan dan pengembang teknologi, lebih banyak refleksi kritis tentang apa yang benar-benar kita inginkan dari teknologi dalam pendidikan.
ADVERTISEMENT
Seperti air yang mengalir mencari jalannya, adopsi teknologi dalam pendidikan Indonesia harus menemukan ritmenya sendiri. Tidak terburu-buru hingga kehilangan esensi, tidak terlalu lambat hingga tertinggal. Yang penting adalah memastikan setiap langkah adopsi AI didasari pemahaman yang seimbang - antara ketakjuban dan kewaspadaan, antara optimisme dan kehati-hatian.
Di tengah gelombang disrupsi teknologi yang tak terbendung, mungkin justru kebijaksanaan tradisional bisa menjadi kompas kita. Seperti kata pepatah Jawa: "alon-alon waton kelakon" - pelan-pelan asal selamat. Bukan sebagai pembenaran untuk bergerak lambat, tapi pengingat bahwa dalam pendidikan, kualitas transformasi lebih penting dari kecepatannya.
Salam Cerdas dan Humanis.