Konten dari Pengguna

Saat Tenggelam dalam ChatGPT: Mencari Makna Belajar di Era Generative AI

FX Risang Baskara
Akademisi yang percaya teknologi harus inklusif. Mengajar di Universitas Sanata Dharma, meneliti tentang teknologi pendidikan. Menulis untuk berbagi, berkarya untuk negeri. Percaya bahwa teknologi harus melayani manusia, bukan sebaliknya.
13 Januari 2025 16:25 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari FX Risang Baskara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bayangkan sebuah kelas di tahun 2024. Seorang siswa mengetik pertanyaan ke ChatGPT, mendapat jawaban sempurna dalam hitungan detik, lalu menyalinnya ke buku tugas. Di sebelahnya, siswa lain sibuk browsing ribuan artikel tanpa benar-benar memahami satupun. Bukankah ini cermin sempurna dari apa yang Rutherford Rogers katakan: "We’re drowning in information and starving for knowledge"? Di era Generative AI, paradoks ini menjadi semakin nyata dan relevan.
Tenggelam dalam Informasi, Haus akan Pengetahuan. Ilustrasi generatif DALL·E, OpenAI.
zoom-in-whitePerbesar
Tenggelam dalam Informasi, Haus akan Pengetahuan. Ilustrasi generatif DALL·E, OpenAI.
ChatGPT, Google Gemini, Claude, dan berbagai Generative AI lainnya telah membuat informasi begitu mudah diakses. Mereka bisa menulis esai, menjelaskan konsep rumit, bahkan memecahkan soal matematika kompleks dengan tingkat akurasi yang mengagumkan. Tapi di tengah kelimpahan informasi ini, sebuah pertanyaan mengganggu: apakah anak-anak kita benar-benar belajar, atau hanya menjadi pengumpul informasi yang cekatan?
ADVERTISEMENT
Mark Twain pernah mengatakan sesuatu yang menggelitik: "I have never let my schooling interfere with my education." Di era Generative AI, kalimat ini mendapat dimensi baru yang lebih dalam. Ketika sekolah kita masih berkutat dengan sistem hafalan dan ujian standar, siswa bisa mendapatkan jawaban apapun dalam sekejap dari Generative AI. Tapi seperti halnya memiliki perpustakaan tidak otomatis membuat seseorang terpelajar, akses ke Generative AI tidak serta merta melahirkan pemahaman.
Pengetahuan sejati lahir dari proses yang jauh lebih kompleks - dari keberanian bertanya, ketekunan membandingkan, dan kearifan menyimpulkan. Ia tumbuh dari pengalaman pribadi yang diolah melalui refleksi mendalam. Ia berkembang ketika informasi tidak hanya diterima, tapi dicerna, dipertanyakan, dan diintegrasikan dengan pemahaman yang sudah ada.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, sistem pendidikan kita, dengan obsesinya pada nilai dan ranking, sering melupakan proses ini. Kita terlalu sibuk mempersiapkan siswa untuk ujian, hingga lupa mempersiapkan mereka untuk hidup di kehidupan yang nyata. Kita mengukur keberhasilan dari seberapa banyak informasi bisa diingat, bukan seberapa dalam pemahaman bisa dibangun.
Di era Generative AI, tantangan ini menjadi semakin kompleks dan mendesak. Ketika Generative AI bisa menjawab hampir semua pertanyaan dengan akurasi yang mengesankan, kita justru perlu kembali ke pertanyaan paling mendasar: apa sebenarnya tujuan pendidikan? Apakah untuk mengumpulkan informasi, atau untuk membangun kebijaksanaan?
Socrates mengatakan, "Wonder is the beginning of wisdom." Mungkin inilah yang hilang dari pendidikan di era digital. Di tengah kemudahan mendapat jawaban instan dari Generative AI, kita kehilangan rasa heran yang mendorong eksplorasi. Siswa lebih tertarik mendapat jawaban cepat dari ChatGPT daripada bergulat dengan pertanyaan yang menantang pemikiran mereka.
ADVERTISEMENT
Lebih memprihatinkan lagi, kita mungkin sedang menciptakan generasi yang "buta informasi" - mereka dikelilingi informasi tapi tidak tahu bagaimana memprosesnya menjadi pengetahuan yang bermakna. Seperti orang yang tenggelam di lautan tapi tetap kehausan, mereka tenggelam dalam data tapi kelaparan akan pemahaman.
Yang kita butuhkan adalah perubahan fundamental dalam cara kita memandang dan menjalankan pembelajaran. Ini bukan sekadar tentang mengadopsi teknologi baru atau mengintegrasikan Generative AI ke dalam kurikulum. Ini tentang mengubah paradigma tentang apa artinya "belajar" di era digital.
Beberapa prinsip yang bisa kita terapkan:
Pertama, kita perlu mendorong pertanyaan di atas jawaban. Biarkan siswa bergulat dengan ketidakpastian sebelum mencari jawaban di AI. Kembangkan rasa ingin tahu yang mendalam dan keberanian untuk mempertanyakan asumsi-asumsi yang ada. Ketika siswa bertanya ke AI, dorong mereka untuk mempertanyakan jawaban yang mereka dapat, bukan hanya menerimanya mentah-mentah.
ADVERTISEMENT
Kedua, utamakan pengalaman di atas informasi. Biarkan siswa mengalami, mencoba, gagal, dan belajar dari prosesnya. AI bisa memberi informasi detail tentang fotosintesis, tapi tidak ada yang bisa menggantikan pengalaman menanam dan merawat tanaman sendiri. AI bisa menjelaskan konsep empati, tapi tidak bisa menggantikan pengalaman langsung membantu sesama.
Ketiga, jadikan teknologi sebagai alat, bukan tujuan. AI seharusnya memperkaya, bukan menggantikan, proses penemuan dan pemahaman personal siswa. Gunakan AI untuk membuka pintu eksplorasi baru, bukan sebagai jalan pintas menghindari proses berpikir.
Di sinilah peran guru menjadi semakin penting dan menantang. Guru bukan lagi sekadar sumber informasi - AI jauh lebih unggul dalam hal ini. Guru adalah pemandu yang membantu siswa menavigasi samudra informasi digital, menemukan makna personal, dan membangun pengetahuan sejati dari banjir data yang mereka hadapi.
Guru sebagai Navigator di Era Digital. Ilustrasi generatif DALL·E, OpenAI.
Socrates memiliki kata-kata bijak lain yang sangat relevan: "I know that I know nothing." Mungkin inilah kebijaksanaan yang paling penting untuk ditanamkan di era Generative AI. Bahwa di tengah lautan informasi yang tampak tak bertepi, sikap yang paling berharga adalah tetap rendah hati dan terus haus akan pembelajaran sejati.
ADVERTISEMENT
Era Generative AI tidak perlu menjadi era di mana kita tenggelam dalam informasi sambil kelaparan akan pengetahuan. Ia bisa menjadi era di mana teknologi membantu kita mencapai pemahaman yang lebih dalam, selama kita tidak kehilangan esensi dari apa artinya benar-benar belajar dan memahami.
Salam Cerdas dan Humanis.