Konten dari Pengguna

Warisan Pendidikan Paus Fransiskus: Antara Idealisme dan Realitas Indonesia

FX Risang Baskara
Akademisi yang percaya teknologi harus inklusif. Mengajar di Universitas Sanata Dharma, meneliti tentang teknologi pendidikan. Menulis untuk berbagi, berkarya untuk negeri. Percaya bahwa teknologi harus melayani manusia, bukan sebaliknya.
23 April 2025 10:14 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari FX Risang Baskara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Duka menyelimuti umat Katolik di seluruh dunia. Pada Senin pagi, 21 April 2025, tepat sehari setelah memberikan berkah Paskah di Lapangan Santo Petrus, Paus Fransiskus menghembuskan napas terakhirnya di kediaman Casa Santa Marta, Vatikan. Di usianya yang ke-88, pemimpin Gereja Katolik yang dikenal dengan kesederhanaan dan keberaniannya melawan arus ini meninggalkan dunia, namun mewariskan visi-visi mendalam tentang kehidupan, termasuk pendidikan.
ADVERTISEMENT
Awan mendung seolah ikut berkabung di langit Roma. Para peziarah berduyun-duyun memenuhi Lapangan Santo Petrus, membawa lilin dan bunga, mengucapkan doa-doa perpisahan. Sosok yang telah mengubah wajah Katolik Roma menjadi institusi yang lebih inklusif kini telah pergi. Namun seperti ungkapan lama, saat tubuh mati, pemikiran tetap abadi.
Guru Sebelum Menjadi Pemimpin Spiritual
Sebelum jubah putih kepausan menyelimuti pundaknya, Jorge Mario Bergoglio adalah seorang pendidik sejati. Jarang diketahui banyak orang, pria kelahiran Argentina ini memiliki latar belakang sebagai sarjana Teknik Kimia sebelum akhirnya memasuki Seminari. Perjalanan intelektualnya membawanya menjadi pengajar Sastra dan Psikologi di Immaculate Conception College dan Colegio del Salvador.
Bayangkan sosok Bergoglio muda yang berdiri di depan kelas, membimbing para mahasiswa mengeksplorasi karya-karya sastra dunia atau membedah kompleksitas jiwa manusia. Visinya tentang pendidikan tidak lahir dari ruang hampa teori, tapi dari pengalaman langsung di ruang-ruang kelas. Saat menjabat sebagai Profesor di Fakultas Teologi San Miguel dan kemudian Rektor Colegio Máximo, dia semakin memahami bahwa pendidikan bukanlah soal memasukkan informasi saja ke kepala murid, melainkan membangkitkan potensi manusia seutuhnya.
ADVERTISEMENT
Mungkin di sinilah akar dari pemikirannya yang revolusioner tentang pendidikan. Pengalaman sebagai pendidik memberikannya perspektif yang mendalam tentang apa yang sering terlupakan dalam sistem pendidikan modern.
Tiga Dimensi Pendidikan yang Terlupakan
Salah satu pemikiran paling menggugah dari Paus Fransiskus adalah pandangannya tentang pendidikan yang multidimensional. Dalam berbagai kesempatan, beliau sering menggambarkan pendidikan ideal sebagai proses yang mengintegrasikan tiga dimensi: kepala, hati, dan tangan.
Kepala (Competence) melambangkan dimensi intelektual, kemampuan berpikir kritis dan analitis. Hati (Conscience) mewakili dimensi afektif dan spiritual, kemampuan untuk merasakan, berempati, dan membangun relasi dengan sesama dan Sang Pencipta. Tangan (Compassion) melambangkan dimensi praktis, kemampuan untuk bertindak dan mengubah dunia.
Bayangkan sebuah pendidikan yang benar-benar menyeimbangkan ketiga dimensi ini. Bukan sekadar menciptakan manusia-manusia cerdas, tapi juga manusia-manusia berempati yang mampu bertindak. Bukankah ini jauh lebih kaya daripada sistem pendidikan yang hanya mengukur keberhasilan dari angka-angka di rapor?
ADVERTISEMENT
Ironi di Indonesia sangatlah mencolok. Sistem pendidikan kita masih sangat terpaku pada capaian akademis yang terukur. Lihat saja fenomena "sekolah unggulan" yang seringkali hanya diukur dari persentase kelulusan atau jumlah siswa yang diterima di perguruan tinggi favorit (baca: negeri). Sementara itu, kasus-kasus perundungan, intoleransi, dan kekerasan di kalangan pelajar terus bermunculan, sebuah bukti nyata bahwa dimensi "hati" dalam pendidikan kita masih terabaikan.
Demikian juga dengan dimensi "tangan". Berapa banyak lulusan pendidikan tinggi kita yang mampu menciptakan lapangan kerja? Berapa banyak yang benar-benar memiliki keterampilan praktis untuk memecahkan masalah nyata di masyarakat? Ketidakseimbangan ini menghasilkan generasi yang mungkin pintar secara teoritis namun miskin dalam aksi nyata.
Pendidikan Menyeluruh: Kepala, Hati, dan Tangan. Sumber: Ilustrasi generatif DALL·E, OpenAI
Retaknya Kemitraan Pendidikan
Ada kesedihan mendalam dalam pandangan Paus Fransiskus ketika beliau berbicara tentang hubungan antara keluarga, sekolah, dan masyarakat dalam konteks pendidikan modern. Beliau melihat adanya keretakan fundamental dalam apa yang seharusnya menjadi sebuah aliansi pendidikan.
ADVERTISEMENT
Keluarga yang seharusnya menjadi tempat pertama dan utama pembentukan karakter anak kini semakin terlepas dari tanggung jawab pendidikan. Sekolah yang seharusnya menjadi perpanjangan tangan keluarga justru sering berjalan sendiri tanpa komunikasi yang bermakna dengan orangtua. Masyarakat yang seharusnya mendukung proses pendidikan malah sering menyajikan nilai-nilai yang bertentangan dengan apa yang diajarkan di sekolah dan keluarga.
Situasi ini terasa sangat nyata di Indonesia. Tekanan ekonomi memaksa banyak orangtua untuk bekerja dari pagi hingga malam, menyerahkan pendidikan anak sepenuhnya kepada sekolah, les, atau bahkan gadget. Di sisi lain, sekolah sering mengeluhkan orangtua yang "tidak kooperatif" namun tidak benar-benar melakukan upaya untuk membangun komunikasi yang bermakna.
Fenomena "titip anak" di lembaga pendidikan dari pagi hingga sore (bahkan sampai malam) menjadi bukti nyata dari keretakan ini. Pendidikan tidak lagi dipandang sebagai tanggung jawab bersama, melainkan sebagai jasa yang "dibeli" orangtua dari institusi pendidikan. Hubungan yang seharusnya kolaboratif berubah menjadi transaksional.
ADVERTISEMENT
Lebih memprihatinkan lagi, banyak orangtua modern yang membelikan gadget untuk anak usia balita, bukan untuk tujuan pendidikan, melainkan agar mereka "tenang" dan tidak mengganggu kesibukan orangtua. Tanpa sadar, kita telah mendelegasikan tanggung jawab pendidikan kepada algoritma media sosial, seperti TikTok dan Instagram.
Pendidikan yang Terputus: Sekolah, Rumah, dan Masyarakat. Sumber: Ilustrasi generatif DALL·E, OpenAI.
Ekologi Integral: Bukan Sekadar Belajar Membuang Sampah
Salah satu warisan pemikiran terbesar Paus Fransiskus adalah konsepnya tentang ekologi integral. Dalam pandangannya, masalah lingkungan tidak bisa dipisahkan dari masalah sosial, ekonomi, dan spiritual. Demikian pula dengan pendidikan lingkungan, tidak cukup hanya mengajarkan anak-anak untuk membuang sampah pada tempatnya atau mendaur ulang plastik.
Pendidikan ekologis yang sejati harus mampu menciptakan apa yang beliau gambarkan sebagai "kewarganegaraan ekologis", generasi yang memiliki kesadaran dan kepedulian mendalam terhadap rumah bersama kita. Ini berarti membentuk kebiasaan baru, mengubah pola pikir konsumerisme, dan membangun sensitivitas terhadap penderitaan bumi dan masyarakat miskin yang paling terdampak oleh krisis lingkungan.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, pendidikan lingkungan masih sangat teknis dan terfragmentasi. Program Adiwiyata yang dipromosikan pemerintah, misalnya, sering kali masih berkutat pada aspek fisik lingkungan sekolah, seberapa bersih halamannya, seberapa rapi taman sekolahnya, tanpa benar-benar menyentuh transformasi pola pikir dan gaya hidup.
Akibatnya, siswa mungkin rajin memilah sampah di sekolah tetapi tidak mempertanyakan konsumerisme yang mendorong produksi sampah berlebih. Mereka belajar tentang kerusakan hutan di kelas tetapi tidak diajak untuk berpikir kritis tentang pola konsumsi pribadi yang mungkin berkontribusi pada deforestasi.
Bayangkan jika pendidikan lingkungan di Indonesia mengadopsi pendekatan ekologi integral. Siswa tidak hanya belajar tentang sampah plastik, tetapi juga tentang ketidakadilan sosial yang membuat komunitas miskin menjadi "tempat pembuangan" limbah industri. Mereka tidak hanya belajar tentang penghematan air, tetapi juga tentang sistem ekonomi yang memprivatisasi sumber daya alam dan mengorbankan kepentingan masyarakat luas.
Pendidikan Ekologis dan Keadilan Sosial. Sumber: Ilustrasi generatif DALL·E, OpenAI.
Pendidikan untuk Kaum Marjinal
ADVERTISEMENT
Salah satu ciri khas kepemimpinan Paus Fransiskus adalah keberpihakannya yang jelas dan tegas kepada kaum miskin dan terpinggirkan. Prinsip ini juga tercermin dalam pemikirannya tentang pendidikan. Beliau secara konsisten mengingatkan bahwa pendidikan berkualitas harus menjadi hak, bukan privilese semata.
Dalam konteks kemajuan teknologi, beliau sering menekankan bahwa literasi digital juga harus menjadi hak universal. Pada saat yang sama, beliau mengingatkan bahwa pendidikan di era digital harus mengembangkan kualitas-kualitas yang justru tidak bisa digantikan oleh kecerdasan buatan: kreativitas, empati, kerja sama, dan kemampuan beradaptasi.
Di Indonesia, kesenjangan akses pendidikan berkualitas masih sangat lebar. Program-program unggulan seperti "Sekolah Penggerak" atau "Merdeka Belajar" memang bermanfaat, namun implementasinya masih lebih banyak menyentuh sekolah-sekolah di daerah perkotaan atau yang sudah memiliki infrastruktur memadai.
ADVERTISEMENT
Ketika Paus Fransiskus mengunjungi Indonesia pada September 2024 lalu, beliau sempat menunjukkan kepedulian terhadap pendidikan di daerah terpencil. Kunjungan singkat ke sekolah di pinggiran Jakarta menjadi momen yang mengingatkan kita semua bahwa pendidikan harus mampu membudidayakan tanpa mencabut akar budaya lokal, membantu pertumbuhan tanpa melemahkan identitas, dan mendukung tanpa bersifat invasif.
Tantangannya sangat nyata terasa. Sekolah-sekolah di daerah perbatasan, di pulau-pulau terpencil, atau yang melayani anak-anak berkebutuhan khusus masih jauh tertinggal dalam hal infrastruktur dan kualitas pembelajaran. Ini adalah ketimpangan yang tidak sesuai dengan prinsip keadilan yang digaungkan oleh Paus Fransiskus.
Tantangan dan Jalan Ke Masa Depan
Paus Fransiskus meninggalkan kita dengan visi pendidikan yang revolusioner. Beliau percaya bahwa perubahan sejati tidak mungkin terjadi tanpa proses pendidikan yang transformatif. Pertanyaannya: bagaimana menterjemahkan visi ini ke dalam konteks Indonesia yang penuh dengan kompleksitas?
ADVERTISEMENT
Pertama, kita perlu dengan jujur dan kritis mengevaluasi Kurikulum Merdeka yang saat ini menjadi kebanggan pemerintah. Apakah kurikulum ini sungguh-sungguh memberdayakan tiga dimensi pendidikan (competence, conscience, dan compassion) secara seimbang? Ataukah hanyakah sekadar repackaging dari pendekatan lama dengan terminologi baru?
Perlu diingat bahwa Paus Fransiskus selalu menekankan bahwa pendidikan sejati tidak pernah terjebak dalam retorika. Oleh karena itu, kita harus berani bertanya apakah perubahan kurikulum kita sungguh-sungguh didasarkan pada kebutuhan nyata atau hanya bagian dari proyek politik dan ambisi pribadi para pengambil kebijakan di Senayan saja.
Kedua, kita perlu serius memperbaiki keretakan dalam kemitraan pendidikan yang seharusnya harmonis. Ini tidak bisa dilakukan hanya dengan pertemuan orangtua murid triwulanan atau grup WhatsApp kelas. Diperlukan transformasi fundamental dalam cara kita memandang dan menjalankan pendidikan sebagai tanggung jawab bersama.
ADVERTISEMENT
Sekolah perlu melakukan outreach yang lebih proaktif kepada orangtua, tidak hanya saat ada masalah atau kebutuhan dana. Orangtua perlu dilibatkan secara bermakna dalam proses pembelajaran, tidak sekadar sebagai "penyandang dana" atau "penonton" kemajuan anaknya. Masyarakat, termasuk dunia usaha dan organisasi sipil, perlu berperan lebih aktif dalam mendukung sekolah dan keluarga.
Ketiga, pendidikan ekologis yang integral perlu dimasukkan ke dalam setiap aspek kurikulum. Ini bukan sekadar menambah materi tentang lingkungan, tetapi mengubah cara kita memandang dan berinteraksi dengan alam. Siswa perlu diajak untuk merefleksikan hubungan mereka dengan alam, mengkritisi pola konsumsi, dan mengembangkan gaya hidup yang lebih berkelanjutan.
Keempat, kita harus lebih serius mengatasi kesenjangan pendidikan. Diperlukan kebijakan afirmatif yang menempatkan sumber daya pendidikan, termasuk guru-guru terbaik dan infrastruktur digital, ke daerah-daerah terpinggirkan. Prinsip dasar keadilan harus menjadi landasan, bukan sekadar pemerataan statistik.
ADVERTISEMENT
Impian (yang) Melampaui Retorika
Ada satu prinsip yang selalu ditekankan oleh Paus Fransiskus dalam konteks pendidikan: konsistensi antara kata dan perbuatan. Beliau selalu mengingatkan bahwa pendidikan sejati tidak pernah berhenti pada kata-kata indah, tetapi harus terwujud dalam tindakan nyata. Seorang pendidik sejati bukanlah seseorang yang paling fasih berteori, melainkan yang paling konsisten memberi teladan.
Ini adalah tantangan besar bagi dunia pendidikan di Indonesia. Kita sangat piawai dalam menciptakan slogan-slogan pendidikan yang indah: "Merdeka Belajar", "Pendidikan Karakter", "Kurikulum Merdeka". Namun seringkali kita gagal dalam implementasi yang konsisten dan evaluasi yang jujur.
Saat kita mengucapkan selamat jalan kepada Paus Fransiskus, mungkin penghormatan terbaik yang bisa kita berikan adalah merefleksikan secara mendalam dan jujur tentang kondisi pendidikan kita. Mengenali kesenjangan antara idealisme dan realitas, lalu bekerja keras untuk menjembataninya, bukan dengan retorika-retorika baru, tapi dengan komitmen dan tindakan yang membumi.
ADVERTISEMENT
Di tengah duka yang menyelimuti, ada seberkas harapan yang ditinggalkan oleh Paus Fransiskus. Bahwa dunia yang lebih adil dan manusiawi dapat tercipta melalui pendidikan yang holistik, inklusif, dan berorientasi pada kebaikan bersama. Di Indonesia yang sedang bergelut dengan polarisasi sosial, ketimpangan ekonomi, dan krisis lingkungan, warisan pemikiran pendidikan Paus Fransiskus bisa menjadi kompas moral yang kita butuhkan.
Langit Roma mengiringi kepergian Paus Fransiskus dengan hujan gerimis lembut, seolah ikut menitikkan air mata perpisahan. Namun seperti hujan yang menyuburkan tanah, semoga pemikiran dan teladannya tentang pendidikan terus menyuburkan benih-benih kebaikan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Selamat jalan, Paus Fransiskus. Semoga pemikiran pendidikanmu terus menginspirasi kami untuk membangun Indonesia yang (jauh) lebih berkeadilan, lebih peduli, dan lebih manusiawi.
ADVERTISEMENT
Salam Cerdas dan Humanis.