Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Perspektif "Baru" Konsumsi
26 Juni 2019 16:52 WIB
Tulisan dari Riset Ekonomi Industri BCA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ditulis oleh Suryaputra Wijaksana
Bangsa Indonesia seringkali dicap dengan konotasi negatif sebagai bangsa yang konsumtif, alias boros. Narasi yang sering diungkapkan di media adalah seperti ini. Pendapatan yang diperoleh tidak ditabung (saving), melainkan dihabiskan untuk barang barang konsumtif tak tahan lama seperti makanan, pakaian dan hiburan semata. Akibatnya pendapatan habis tanpa cukup tabungan (saving), mengakibatkan peningkatan standar kehidupan menjadi lambat. Namun dalam cakupan Negara, konsumsi merupakan pendorong penting bertumbuhnya perekonomian.
ADVERTISEMENT
Ekonomi teori klasik menyebutkan konsumsi sebagai perkembangan yang positif bagi perekonomian secara keseluruhan, karena dua hal. Pertama, konsumsi menciptakan permintaan untuk barang-barang jenis baru yang menciptakan industri dan pekerjaan baru. Kedua, konsumsi menciptakan sumber pajak baru bagi pemerintah dan menciptakan filantropi dari kelas atas yang memiliki perusahaan yang memproduksi barang konsumsi tersebut. Namun pada sisi lain, konsumsi cenderung mempunyai dampak negatif (eksternalitas) dalam proses produksi, antara lain terhadap lingkungan dan tenaga kerja.
Pada 2018, konsumsi secara keseluruhan menyumbang 66% dari total Produk Domestik Bruto Indonesia, sebesar Rp 9.783 triliun. Jumlah ini meningkat sebesar Rp 85,2 triliun atau 8,42% YoY (year-on-year) dari tahun 2017. Konsumsi didominasi konsumsi rumah tangga sebesar Rp 8.267 triliun, diikuti oleh pemerintah sebesar Rp 1.332 triliun dan non profit sebesar Rp 180 triliun. Besarnya konsumsi berdampak positif pada pertumbuhan PDB, karena konsumsi bersifat endogen atau berasal dari diri sendiri. Contohnya pada Global Financial Crisis 2008-2009 RI masih mencatat pertumbuhan positif sebesar 4%, suatu percapaian yang cukup baik diantara Negara Negara anggota G20.
ADVERTISEMENT
Contoh positif dari konsumsi adalah industri pengolahan makanan dan minuman, yang mencatat pertumbuhan output dari Rp 360,44 triliun pada tahun 2010 menjadi Rp 927,44 triliun pada 2018. Pertumbuhan yang luar biasa ini (157%) tidak dapat dilepaskan dari pertumbuhan PDB per kapita penduduk Indonesia, yang meningkat 26,2% dari USD 3113 menjadi USD 3927 pada periode yang sama, yang menyebabkan disposable income masyarakat meningkat. Dampak positif dari pertumbuhan industri ini tercermin dari penciptaan lapangan kerja dan peningkatan upah pekerja, yang menciptakan hubungan imbal balik yang mengutungkan (virtuous feedback loop). Pada sisi lain, perusahaan raksasa yang diciptakan oleh permintaan konsumsi berkontribusi pada pengembangan infrastruktur dan masyarakat melalui tanggung jawab sosial korporasi (corporate social responsibility).
ADVERTISEMENT
Salah satu aspek yang penting dari konsumsi adalah asal barang atau jasa yang dikonsumsi tersebut. Dalam kasus Indonesia, akhir-akhir ini konsumsi banyak berasal dari barang impor. Ini dicerminkan dengan peningkatan impor barang konsumsi sebesar 21,5% dari tahun sebelumnya dari USD 14,2 miliar menjadi USD 17,2 miliar sementara pertumbuhan output industri manufaktur hanya sebesar 4,77% YoY. Hal ini juga dibarengi dengan berkurangnya capital inflow ke Indonesia. Menurut data BI, capital inflow ke RI pada tahun 2018 hanya sebesar USD 25,1 miliar, menurun 12,5% YoY. Dampaknya neraca pembayaran Indonesia mengalami defisit cukup besar yakni USD 7,1 miliar. Pada akhirnya ini berkontribusi pada pelemahan Rupiah yang cukup dalam pada tahun 2018.
ADVERTISEMENT
Aspek lain yang penting adalah kualitas dari konsumsi tersebut. Juga mengacu pada teori ekonomi klasik, konsumsi yang berkualitas dapat mengurangi dampak negatif yang diakibatkan oleh kegiatan produksi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi. Tanda tanda dari peningkatan kualitas konsumsi sudah cukup terlihat dalam masyarakat Indonesia, antara lain pertumbuhan sektor jasa kesehatan dan pendidikan yang sangat pesat (bertumbuh 138% pada periode 2010-2018). Tanda lainnya adalah tekanan publik akan produk-produk yang berkelanjutan secara lingkungan dan diproduksi sesuai standar internasional. Kasus boikot produk akibat praktik upah buruh murah menandai kesadaran konsumen yang semakin tinggi, yang mungkin bersedia membayar lebih untuk kualitas yang lebih tinggi.
Melihat dampak positif dari konsumsi, sudah sepatutnya konsumsi mendapat perhatian dari pemerintah. Konsumsi telah menjadi mesin utama perekonomian dalam masa ketidakpastian global, yang harus terus ditingkatkan dan diperbaiki. Memang selama beberapa tahun ini pemerintah menjaga konsumsi, dengan pemberian stimulus fiskal berupa bantuan langsung tunai, dana desa dan kenaikan gaji bagi aparatur Negara. Namun pemerintah juga harus memperhatikan industri yang memproduksi barang dan jasa yang akan dikonsumsi dan preferensi konsumsi masyarakat akan barang impor dan lokal. Konsumsi barang impor yang terlalu tinggi akan mengurangi keberlanjutan perkembangan dari konsumsi dan virtuous feedback loop yang menumbuhkan perekonomian. Dalam hal ini peribahasa kesehatan berlaku, you are what you eat. Dengan konsumsi yang sehat, ekonomi kuat!
ADVERTISEMENT