Konten dari Pengguna

Selangkangan dan Pidana: Di Mana Pendidikan Seksualitas 'Nyempil'?

Riska Carolina
UI Transnational Law Master. ELSAM HR Researcher. Arus Pelangi Law Consultant. SGRC Deputy of Internal Affairs. Selangkangan Law Expert.
14 April 2018 13:14 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Riska Carolina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Rancangan KUHP. (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Rancangan KUHP. (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
Di dalam RKUHP banyak sekali hal yang berkaitan dengan 'selangkangan'. Kita bukan lagi bicara soal zina atau hubungan seks antara dua orang laki-laki dengan perempuan di luar pernikahan, maupun cohabitation di mana laki-laki dan perempuan main rumah-rumahan tanpa nikah sah. Bukan pula membahas hal-hal yang jelas-jelas secara spesifik mendiskriminasi sistemik kelompok dengan identitas gender dan seksual orientasi berbeda.
ADVERTISEMENT
Ini tentang negara yang membatasi sampai menutup akses informasi dari pengetahuan reproduksi dan pendidikan seksualitas in general.
Ingat enggak, isu tentang LGBT masuk kampus melalui Support Group and Resource Centre on Sexuality Studies (SGRC)? Padahal, bukankah kampus harusnya bangga menjadi universitas pertama, pionir dari pendidikan seksualitas berbasis scientific knowlege yang mengajak orang muda untuk belajar daripada melecehkan?
Tapi well, ya sudahlah ya.. itu sudah berlalu. Faktanya, krisis pengetahuan terkait seksualitas itu penting (di beberapa kampus sekarang punya kajian seksualitas mereka sendiri, dan SGRC selamanya pionir. How about that uh?).
Pendidikan seksualitas menjadi penting karena, semakin dilarang, kawan muda dewasa akan semakin penasaran. Semakin akses ditutupi, semakin kami nekat ('kamí', soalnya saya juga terhitung muda). Menutup akses informasi cuma bikin tanda tanya semakin besar. Contoh: masih ada saja pertanyaan soal, “Apa iya ciuman bikin hamil?”
ADVERTISEMENT
Kalau solusi pertanyaan tabu macam itu adalah dogma, which is dijawab 'wallahuallam', atau dikit-dikit dosa, apa itu enggak menyangkal takdir kita sebagai manusia berakal? Tiap mahluk ciptaan Tuhan (siapapun tuhannya) yang namanya manusia, kelebihannya adalah akal. Lantas apa hak manusia lain menutup akses atas eksplorasi akal kita?
Penutupan akses informasi terkait pendidikan seksualitas, sudah 'enggak jaman' di era serba cepat begini. Nyatanya nih kalau ngomongin data, 80.000 kader KB yang mostly ibu rumah tangga bakal kena denda cuma karena ngomong, “Bu, jangan lupa pap smear, atau uji VCT". Mereka juga bisa kena denda saat sekadar memberi tahu guna kondom. Lucu? lucu abis... Berakal? Jelas enggak. Ignorant? Iya!
Menikah sudah jadi jalan tengah tersolid tentang pendidikan seksualias di kalangan ibu-ibu yang bersuami-suami, padahal enggak banyak juga yang mereka tau. Muda-mudi diharapkan mengikuti jejak mereka.
ADVERTISEMENT
Nikah muda, dengan gejolak darah muda (kalah lagu bang Rhoma), yang meletup-meletup. Kuliah belum usai, pekerjaan masih menumpang orang tua. Saat tak tahan, maka bercerai kembali jadi solusi. Ini hanya menambah banyaknya janda muda dan anak terlantar di Indonesia. Akhirnya, serba dilema, antara darah muda yang ingin tahu, dan darah muda yang takut dosa.
Bagaimana jika saya menawarkan solusi lain? Bukan lagi muda mudi dilanda cinta itu disuruh langsung praktik halal dalam pernikahan. Bagaimana jika muda mudi yang dimabuk kasmaran (ala pinkan mambo) diberikan akses pendidikan seksualitas? Hanya sekadar saran sih.
Ilustrasi berhubungan intim (seks). (Foto: Shutter Stock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi berhubungan intim (seks). (Foto: Shutter Stock)
Mungkin para pembuat kebijakan enggak pernah mencoba mendengar curhat drama remaja sampai muda dewasa sekarang ini. Tapi enggak disalahin juga sih. Anak muda mungkin memang enggak curhat, karena sekalinya curhat, bisa saja mereka dituduh pendosa, kafir, liberal, komunis, dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
Andaikan saja para pembuat kebijakan itu tahu rasanya menjadi muda (kali mereka langsung menjadi tua dan sok suci, ya kali kaan). Saya penasaran apa pendapat pembuat kebijakan kita kalau ditanya soal apa perbedaan keperawanan dengan selaput dara?
Kalau mereka menjawab itu merupakan konsep yang sama, maka bapak-bapak kurang pas untuk bikin kebijakan untuk yang bervagina.
Apa sih urgensinya mengatur selangkangan sampai pendidikan seksualitas ditutup aksesnya? Kelompok belajar seksualitas dituduh sebagai tempat cari jodoh, sesat, kafir pendosa; buku-buku diverifikasi sesuai tataran agama dan budaya.
Semuanya serba cherry picking dalam menentukan yang mana paling dikit dosa (dosa menurut mereka dengan ilmu kanuragan tinggi kisanak). Dalam berbagai tayangan, dada diblur, adegan syurnya disekip. Padahal buka internet VPN pun bokep tersedia. Lucu sekali. Apa sebegitu takutnya moral bangsa ini tercemar, ataukah ini bentuk ketakutan karena ketidaktahuan?
ADVERTISEMENT
Untuk informasi, di Belanda (negara yang KUHP-nya niat diubah tapi enggak lebih kece dari jaman penjajahan sekarang ini), anak diberikan pendidikan seksualitas dari umur empat rahun (red: Rutgers International).
Penelitian itu menjadikan Belanda satu dari sedikit negara dengan penularan penyakit menular seksual rendah. Di Belanda juga, pernikahan anak teratasi, dan KDRT diberantas, karena laki-lakinya tahu cara menghormati perempuan tanpa embel-ember "memuliakan". Sama dengan penelitian Rutgers, Puska Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia pun berpendapat bahwa "pendidikan seksualitas dapat mencegah efek buruk dari ketidaktahuan".
Contoh ketidaktahuan nih, banyak loh yang masih percaya campuran antara minuman bersoda macam Sprit dan Fanta dengan nanas bisa jadi obat penguguran kandungan. Ya kalo sehat, kalo pendarahan? Atau kekerasan dalam pacaran di mana korbannya perempuan dan dia merasa pantas diperlakukan macam sampah dengan berbagai kekerasan fisik, mental, dan seksual? Atau hal ringan macam masturbasi akan membuat dengkulmu kopong.
ADVERTISEMENT
Buat apa jargon 'dua anak cukup', kalau pakai kondom saja masih ada yang pasangnya di jari. Boro-boro tanya konselor sebaya tentang reproduksi dan seksualitas secara general, yang ada itu anak yang ditanya dipidana denda sepuluh juta.
Sekadar kasih saran informasi kandungan macam, "Ini sudah berapa lama? Kapan terakhir mens? Yuk ke tempat aman ini untuk memastikan", bisa-bisa itu anak yang niat baik bantu temen malah di penjara 9-12 taun (bisa lebih, jangan khawatir). Atau kasih tunjuk kondom ke teman-teman mahasiswa, "Ini kondom! Buat nge-bungkus penis.” Itu bisa kena denda juga.
Kalau kena denda terus bagaimana bayarnya? Mboh. Jangankan sepuluh juta, bayar kamar kos saja menunggak.
Satu kesimpulan saran aja nih, biar makin endes statementnya: “Biarkan urusan selangkangan menjadi urusan privat individu, jangan buat sesuatu yang privat menjadi jahat hanya karena ditetapkan demikian. Daripada heboh menentukan selangkangan mana yang boleh masuk ke apa, biarkan masyarakat menilai diri mereka melalui pendidikan seksualitas yang komprehensif dan tentunya disesuaikan penyampaiannya berdasarkan umur”.
ADVERTISEMENT
Pendidikan terdengar preventif kan lebih elok daripada pidana represif. Lebih murah, lebih mencerdaskan dan meningkatkan kualitas SDM bangsa, dan tentunya tanpa korban kekerasan ataupun diskriminasi sistemik.
Yah itu cuma saran sih, dari anak hukum yang passion-nya di kajian seksualitas. Apalah saya ini, anak muda yang kurang kerjaan menjadikan selangkangan jadi fokus ilmu hukumnya. Jujur loh, enggak menyangka juga kecintaan pada ilmu selangkangan bisa jadi ilmu bermanfaat, dan modal beli suspender baru (jadi curhat).
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Riska Carolina ikut hadir sebagai narasumber maupun berkontribusi secara substansi dalam rangkaian dua hari 5-6 April 2018 oleh Aliansi Masyarakat Sipil untuk Reformasi KUHP yang membahas seputar selangkangan dalam RKUHP, seperti pasal pencabulan sesama jenis dan potensi meningkatnya tindak persekusi di seluruh penjuru daerah di Indonesia; dan Akses informasi terkait layanan kontrasepsi dan penguguran kandungan. Dialog tersebut dihadiri oleh ahli-ahli lintas ilmu, dari hukum, psikolog, psikiater, dokter, bidan, hingga agamawan.
ADVERTISEMENT