Konten dari Pengguna

Membenahi Persoalan Sistemik Budaya Kekerasan Seksual

Riska Arlianda
seeking purpose. Listening to this very beautiful song, staring at the far sky, watching red light blinking from the plane, thinking about all the lovely things that I did. Lulusan Ilmu Pemerintahan Universitas Padjajaran
21 Juni 2021 13:42 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Riska Arlianda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto oleh RODNAE Productions dari Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Foto oleh RODNAE Productions dari Pexels
ADVERTISEMENT
Cara menyelesaikan sebuah masalah adalah mengetahui masalah. Kita harus menyadari bahwa kekerasan seksual ini sering terjadi dan tak ada payung hukum yang menanganinya.
ADVERTISEMENT
Sebelum lebih jauh, kita harus mengetahui terlebih dahulu aspek-aspek dan batasan konseptual kekerasan seksual. Aspek kekerasan seksual yang meliputi peristiwa kekerasan seksual nampak seperti gunung es yang memang kelihatannya hanya sedikit, tapi aslinya sangat banyak.
Menurut Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan yang dirilis setiap 8 Maret, jumlah kekerasan seksual terhadap perempuan sejak 2011-2019 tercatat sebanyak 46.698 kasus. Kasus pemerkosaan yang mendapati catatan tertinggi dengan jumlah kasus sebesar 9.039.
Kekerasan seksual di Indonesia belum bisa dan belum dapat diproses secara baik, tidak ada proses hukum yang baik. Masih banyak ditemukan orang-orang yang kebingungan ketika ada kekerasan seksual hal apa yang harus dilakukan, bahkan ketika melapor kepada penegak hukum, aparat masih belum memiliki perspektif gender yang baik, viktimisasi kekerasan yang sering kali berulang. keberadaan perempuan masih sangat jauh dari kata aman.
ADVERTISEMENT
Untuk mengatasi permasalahan kekerasan seksual kita harus memahami struktur mikro, meso, dan makro.
Dalam tataran mikro, kekerasan seksual sudah dinormalisasikan dimulai dari tataran terendah seperti rape jokes candaan yang bernada seksis. Lelucon yang sangkut paut dengan pemerkosaan haruslah dianggap sebagai dark jokes dan bukan untuk konsumsi masyarakat umum. Seksisme ini merujuk pada perbuatan diskriminasi berbasis gender dan melanggengkan stereotip peran gender tertentu.
Dalam tataran Meso, bisa dilakukan dengan diseminasi informasi, adanya payung hukum yang responsif yaitu RUU PKS. Sebenarnya, RUU PKS sudah masuk ke dalam prolegnas sebelumnya pernah dicabut dengan alasan pembahasan yang rumit. Padahal dari data yang sebelumnya sudah disebutkan, kekerasan seksual kian bertambah dan memprihatinkan.
RUU PKS ini sebagai bentuk respons dari darurat kekerasan seksual dan memperbaiki penanganannya mulai dari hulu ke hilir, fokus utamanya adalah korban. Alasan DPR mencabut RUU PKS tidak dapat dipungkiri untuk mencirikan arena politik yang penuh dengan kepentingan masing-masing golongan. Padahal sudah jelas bahwa dalam hal politik hukum RUU PKS, yang menjadi ciri utama nya adalah perlindungan hak asasi manusia sesuai dengan amanat UUD 1945. Political will DPR kurang untuk segera mengesahkan RUU PKS.
ADVERTISEMENT
Hubungan antara hukum dengan politik yang terjadi dalam proses pembentukan RUU adalah das sein, di mana hukum sangat dipengaruhi oleh politik. namun jika hal ini terus dilakukan secara berlebihan maka akan tergerus politik hukum yang tercermin dalam UUD 1945.
Politik dan hukum yang dikedepankan dalam konteks RUU PKS adalah perlindungan hak asasi manusia. Dikeluarkannya RUU PKS dari prolegnas 2020 mencerminkan bahwa DPR tidak sesuai dengan amanat UUD 1945 khususnya dalam perlindungan HAM.
Sturktur Makro, melihat adanya sistem tata nilai, sistem patriarki, yang mendudukan perempuan berasa lebih lemah dan lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Hipermaskulinitas melanggengkan budaya patriarki dengan peluang ketimpangan relasi kuasa berbasis gender. Kekerasan seksual yang terjadi sering dianggap hanyalah persoalan pribadi, tidak berkaitan dengan fenomena sosial budaya, namun realitanya adalah kontruksi sosial juga turut membentuk, kekerasan seksual berkaitan dengan banyak hal yang dapat memberikan dampak buruk mulai dari sosial, ekonomi, kesehatan seperti terinfeksi HIV/AIDS, kesehatan fisik kronis, gangguan mental, gangguan kesehatan reproduksi.
ADVERTISEMENT
Persoalan sistemik budaya kekerasan seksual sudah terpelihara. Permasalahan yang melatarbelakangi saling bersangkutan seperti hipermaskulinitas, budaya patriarki, relasi kuasa, viktimisasi hingga sampai pada mitos kekerasan seksual. penting untuk memahami apa sebenarnya konsep dari budaya kekerasan seksual sehingga kita dapat mengurangi angka kekerasan seksual dan melunturkan budaya kekerasan seksual tersebut.