Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Food Estate untuk Ketahanan Pangan: Solusi Baru yang Memunculkan Masalah Baru
27 Agustus 2023 21:08 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Riski Nugroho Saputro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Ketahanan pangan menjadi satu permasalahan yang cukup serius dan harus segera ditangani. Sumber ketersediaan yang tidak pasti menjadi sorotan. Terlebih Organisasi Pangan Dunia (Food and Agriculture Organization/FAO) memproyeksikan kebutuhan lahan global 5,4 miliar pada 2030 sedangkan saat ini 1,63 hektare.
ADVERTISEMENT
Pandemi Covid-19 membuat sektor ketahanan pangan semakin terganggu terutama rantai pasokan. Negara yang kekurangan dalam memenuhi kebutuhan pangan biasanya melakukan impor namun, pada saat pandemi negara penyuplai melakukan lockdown sehingga tidak dapat dilakukan.
Pandemi Covid-19 tidak hanya berdampak pada pasokan rantai pangan saja. Berbagai sektor mengalami krisis yang diakibatkan oleh efek domino pandemi Covid-19. Seluruh aktivitas manusia terhenti sejenak mengakibatkan melemahnya daya beli pangan. Hal tersebut ditimbulkan akibat meningkatnya jumlah pengangguran selama pandemi Covid-19.
Indonesia yang dikarunia alam indah dan lahan subur memiliki potensi luar biasa dalam sektor pertanian. Pemerintah dalam mengatasi isu krisis pangan dan pandemi Covid-19 mencanangkan food estate sebagai solusi pemulihan ekonomi dan ketahanan pangan.
Memang, program pemulihan ekonomi nasional di sektor pangan adalah tombak yang menjadi langkah penting. Komoditas seperti beras, jagung, kedelai, ubi, sayuran dan buah-buahan merupakan fokus utama food estate.
ADVERTISEMENT
Adapun food estate sendiri sebagaimana dikutip dari Badan Litbang Pertanian, adalah istilah populer dari kegiatan usaha budidaya tanaman skala luas (lebih 25 hektarre) yang dilakukan dengan konsep pertanian yang industrial yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), modal, serta organisasi dan manajemen modern.
Pengembangan food estate dilakukan di Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Maluku, dan Papua dengan harapan solusi ketahanan pangan akibat pandemi Covid-19. Memaksimalkan sumber daya yang dimiliki serta semakin banyaknya alih lahan pertanian di Pulau Jawa dan Bali dan semakin nyata krisis pangan ketika rantai pasokan terganggu inilah alasan memanfaatkan lahan potensial di luar pulau jawa.
Alih-alih solusi atas permasalahan yang ada food estate menimbulkan masalah yang lebih besar. Seperti yang terjadi di Papua. Ketika food estate dicanangkan, berbagai kritik bermunculan. Bahkan, mendapat penolakan.
ADVERTISEMENT
Didasari oleh Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFE) pada tahun 2010 yang mencakup pangan, perkebunan, peternakan dan perikanan menimbulkan masalah cukup serius. Sebanyak 90 persen lahan yang digunakan food estate merupakan hutan.
Wilayah seluas 125.485,5 hektare yang menyimpan berbagai keanekaragaman hayati dan Sumber pokok bagi masyarakat adat hilang begitu saja. Dampak ketidakberpihakan bagi masyarakat sekitar terasa nyata hilangnya seperti hilangnya sumber daya, sumber air kekeringan, binatang buruan, hingga kelestarian adat.
Hutan Papua yang memiliki kekayaan hayati menjadikan tanah dengan kekayaan flora terbanyak di dunia. Sebanyak 13.634 spesies flora memikat perhatian dunia. Bahkan, beberapa di antaranya tak dapat dijumpai di belahan bumi lain.
Bentangan alam penuh misteri dan keindahan berbagai keanekaragaman hayati menjadi sumber kehidupan masyarakat adat kini terancam kembali dengan adanya food estate sebagai solusi ketahanan pangan.
ADVERTISEMENT
Apakah sepadan dampak kerusakan dan keuntungannya? Lantas kekayaan hayati sebagai identitas papua dapat tergantikan?
Indonesia menempati urutan ketiga setelah Brasil dan Republik Demokratik Kongo yang memiliki hutan hujan tropis terbesar di dunia. Rumah bagi setengah spesies flora dan fauna di dunia menjadikan kekayaan hayati dan identitas. Hutan hujan tropis yang memberikan banyak kehidupan tak hanya untuk sekitarnya tetapi turut menyumbang 20 persen hingga 30 persen oksigen.
Papua yang merupakan wilayah hutan hujan tropis terbesar di Indonesia memiliki keindahan dan keajaiban. Terletak di garis khatulistiwa menjadi keistimewaan dibandingkan belahan negara lain yang tak memiliki hutan hujan tropis.
Namun, kini tanah Papua terancam oleh alih fungsi lahan yang tentu akan menimbulkan kerugian sangat besar. Dalam rentang waktu 2001 hingga 2018, laju deforestasi rata-rata sebesar 51.527,71 hektare per tahun.
ADVERTISEMENT
Ancaman tersebut tidak bisa dibiarkan harus segera ditangani sebelum masalah semakin serius. Rumah bagi flora dan fauna yang memikat perhatian dunia harus diselamatkan dan memiliki potensi yang dapat dimanfaatkan.
Dampak dari deforestasi sudah terasa pada 19 Januari 2021 lalu misalnya, terjadi banjir bandang dan longsor di Kabupaten Panai. Hal ini terjadi akibat tidak adanya resapan air hujan serta intensitas hujan sangatlah tinggi. Hutan selain berfungsi menjadi resapan air, turut mempengaruhi pola curah hujan.
Alih fungsi lahan yang digunakan saat ini adalah tanaman berakar dangkal yang memiliki daya tampung air tidak sebanyak tanaman berakar dalam. Oleh karena itu arus air tidak terserap banyak dan mengalir di atas permukaan saja.
Food estate solusi ketahanan pangan, terlebih ketika rantai pasokan terganggu seperti saat pandemi Covid-19. Namun, dampak kerusakan alam perlu diperhatikan: tidak merusak lahan gambut dan hutan yang memiliki potensi untuk kelestarian alam.
ADVERTISEMENT