Konten dari Pengguna

Belajar Korupsi dari Bangku Sekolah

Risky Ristiandy
Betiong Thinktank Center. Aktivis Lingkungan Kader Hijau Muhammadiyah Belitung.
20 Juli 2024 10:56 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Risky Ristiandy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: freepik.com
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Korupsi sesungguhnya tidak dimulai sejak seseorang memiliki jabatan tinggi. Sejak menjadi seorang siswa dan guru di sekolah saja, hal tersebut bisa terjadi.
Perilaku korup merupakan perilaku yang tidak terbentuk seketika. Butuh proses dan pelembagaan yang menyebabkan seseorang bisa berperilaku korup. Hal itu dimulai dari lingkungan dan pengalaman.
Praktik perbuatan korupsi bisa terjadi apabila orang merasa butuh. Apabila kebutuhannya belum terpenuhi, maka selama itu pula praktik korup akan dilakoni.
Korup dapat diartikan perilaku buruk yang dilakukan untuk meraih keuntungan bagi diri pribadi, dengan cara-cara yang melawan hukum atau aturan. Misalnya, menyogok, memotong hak orang lain, menggelembungkan harga, dan atau bisa melakukan hal yang menguntungkan bagi diri pribadi atau kelompok dengan menggunakan kekuasaan yang dimiliki.
ADVERTISEMENT
Namun, siapa sangka kalau perbuatan korup bukan hanya terjadi pada lembaga tinggi? Sejatinya perilaku korup dan praktik korupsi sudah terjadi sejak bangku sekolah. Mengapa bisa?
Markup Harga Pakaian Sekolah
Ilustrasi siswa berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Foto: Toto Santiko Budi/Shutterstock
Setiap awal tahun ajaran baru, orang tua siswa selalu dihadapkan dengan harga seragam sekolah yang tidak pernah turun. Bayangkan, untuk tiga setel baju seragam sekolah yang terdiri atas seragam putih abu-abu, pramuka, dan olahraga, dipatok harga Rp 700 ribu. Di sekolah swasta harga tinggi mungkin bukan hal aneh, tapi saat ini pun, sekolah negeri bahkan lebih sadis saat mematok harga.
Bayangkan, orang tua siswa yang sebulan bekerja dengan gaji tidak sampai Rp 2 juta? Saat dipotong untuk seragam 700.000, maka uang untuk bertahan hidup tinggal Rp 1,3 juta. Itu pun belum membeli sepatu dan tas serta alat tulis anaknya.
ADVERTISEMENT
Praktik markup harga yang dilakukan sekolah melalui guru dan koperasi sekolah mungkin tidak begitu parah. Namun, pada faktanya banyak sekolah yang selain me-markup harga seragam dengan margin yang fantastis, mereka juga memonopoli seragam sekolah dengan membuat aturan membeli seragam wajib dari sekolah.
Tindakan-tindakan itu apalagi terjadi di sekolah negeri sungguh amat miris. Praktik berbisnis sekolah dengan siswanya merupakan tindakan yang biadab dalam dunia pendidikan. Banyak siswa yang akhirnya putus sekolah karena orang tua mereka tidak mampu memfasilitasi perlengkapan dan seragam sekolah.
Dana KKN dan PK di Kampus
Ilustrasi mahasiswa. Foto: exam student/Shutterstock
Pada tingkatan bawah, praktik markup dana seragam sekolah terjadi dan merupakan pengajaran awal tentang markup biaya. Sementara saat sudah berada di bangku pendidikan tinggi, banyak mahasiswa yang menjadi korban korup dari kebijakan kampus. Salah duanya adalah KKN atau kuliah kerja nyata dan Praktik Keguruan (PK).
ADVERTISEMENT
KKN dan PK merupakan kewajiban yang dibebankan oleh kampus. Namun, dalam pelaksanaannya mahasiswa dituntut untuk mandiri dan belajar ikhlas mengeluarkan uang pribadi dalam menyelenggarakan kegiatan tersebut.
Hal itu sungguh sangat aneh. Bagaimana kampus mewajibkan kegiatan semisal KKN dan PK, namun uang yang ditabung siswa melalui pembayaran UKT atau KRS, tidak sampai sesuai jumlah yang dibayarkan?
Banyak kasus kampus yang mahasiswanya disuruh membayar uang KKN Rp 1 juta, padahal yang sampai ke tangan mahasiswa hanya setengah atau bahkan hanya seperempatnya.
Sama halnya dengan PK. Mahasiswa diwajibkan oleh kampus mengikuti PK, namun di kegiatannya mahasiswa dituntut mandiri dan bahkan tidak sedikit yang harus berutang untuk patungan dalam pelaksanaan PK. Lantas ke mana uang yang telah mereka bayarkan? Kenapa dipotong?
ADVERTISEMENT
Belajar Korupsi sejak Sekolah
Fakta bahwa praktik korupsi yang terjadi di negeri ini merupakan penyakit kanker stadium 4. Bagaimana instansi pendidikan yang mengajarkan kejujuran, pendidikan yang menjunjung etik, bahkan melatih untuk tidak melakukan korupsi pada siswa dan mahasiswanya malah mereka yang mempraktikkan, bahkan mereka sebagai guru dari siswa atau mahasiswanya dalam merancang dan melakukan tindakan korupsi ke depannya.
Jadi, jika ada yang menyatakan bahwa korupsi dan praktik korup terjadi hanya di lingkaran pejabat tinggi pemerintahan, maka sejatinya kita harus merenung dengan apa yang telah dijelaskan di awal. Bahwa korupsi yang terjadi hari ini adalah hasil dari praktik markup dana seragam sekolah dan praktik korupsi uang kegiatan mahasiswa yang kemudian praktik-praktik itu juga diterapkan oleh siswa dan mahasiswa saat mereka sudan berada di lingkungan kerja.
ADVERTISEMENT