Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Timah dan Perubahan Pola Hidup Masyarakat Gantung
15 Maret 2024 21:29 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Risky Ristiandy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Masih berbicara tentang rencana legalisasi usaha tambang laut di Belitung Timur. Namun, di balik dampak ekonomi, usaha pertambangan juga memberikan implikasi terhadap persoalan sosial. Kali ini, saya akan mengulas tentang pengaruh timah dalam mengubah pola hidup masyarakat Gantung. Kenapa Gantung? Sejarah telah mencatat bahwa Gantung menjadi kawasan pertambangan yang masyhur dan memiliki budaya tambang yang masih berlanjut sampai saat ini.
ADVERTISEMENT
“Dulu, urang idup e tertib. Pagi la melapun, asing la ade bunyi alarm begawe semue masok ke laman Perusahaan. Endak de nok tebar biar endak mengkeruan, ape agik galer-galer bang kursi panjang warung kupi. Kitu juak, sing la uda jam kerje, besepor balik ke rumah, makan same-same semije. Duit belanje pun nyaman ngator, karne semue pasti. Andai zaman itu de ulang pulak, endak kan kini idup kite bang kampong nok kaya kan tima” – Kik Yasin
Siapa yang masih ingat tentang bagaimana kehidupan masyarakat Belitung, sebelum kejatuhan timah tahun 1999? Mungkin masih ingat di ingatan saudara pembaca tentang bagaimana keteraturan hidup terjadi. Ya, walaupun saya sebagai penulis tidak merasakan masa-masa itu, namun catatan dan buah kelakar dari berbagai sumber cukup memberikan gambaran yang sangat jelas tentang kehidupan masyarakat Gantung sebelum 1999.
ADVERTISEMENT
Keteraturan dan keharmonisan masa itu, tentu bukan tanpa sebab. Sejak 1870, masyarakat lokal, yakni Melayu darat sudah mulai aktif dan ikut dalam aktivisme penambangan timah di Pulau Belitung. Bahkan, masyarakat Gantung yang kala itu masih bernama kawasan Lenggang merupakan salah satu dari saksi sekaligus pelaku sejarah peradaban timah era maskapai sampai dengan hari ini.
Tambang timah bukan hanya sekedar ladang pencaharian, melainkan sumber kehidupan yang memberikan dampak begitu banyak bagi masyarakat Gantung. Dampak yang diberikan juga tidak main-main, bukan hanya sektor ekonomi, namun juga budaya hidup.
Jika mengingat kembali masa-masa itu, kehidupan yang serba teratur, disiplin, dan tegas menjadi budaya yang membuat etos kerja masyarakat Belitung bisa disandingkan dengan masyarakat modern dari Eropa. Hal tersebut juga yang menyebabkan tokoh-tokoh dari Belitung bisa menjadi orang-orang yang hebat.
ADVERTISEMENT
Kembali lagi pada topik tentang bagaimana timah dan pola hidup masyarakat Gantung saling mempengaruhi. Dulu, kehidupan masyarakat Gantung sangat disiplin karena timah. Karena perusahaan timah menekan karyawannya hidup disiplin, maka kedisiplinan itu berimbas pada setiap aspek kehidupan. Bukan hanya bagi kalangan penambang timah perusahaan, melainkan kepada kehidupan sosial masyarakat lain yang bukan karyawan timah.
Namun, semuanya berubah saat terbitnya Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No 146/MPP/Kep/4/1999 yang mencabut timah sebagai komoditas strategis. Keputusan untuk memberikan akses bagi masyarakat untuk bisa menambang di tengah terpuruknya ekonomi saat itu ternyata membawa dampak perubahan yang signifikan.
PT Timah melihat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No 146/MPP/Kep/4/1999 sebagai sebuah keuntungan, di mana mereka memberikan akses kepada rakyat untuk menambang pada wilayah IP mereka dan mereka akan diringankan untuk biaya operasional. Sedangkan rakyat diuntungkan bisa mengelola tambang mereka sendiri dan menambang sesuai dengan keinginannya. Pada akhirnya, aktivitas tersebut berlanjut hingga hari ini yang kemudian menyebabkan masalah multidimensi terjadi.
ADVERTISEMENT
Masalah Sosial dan Bom Waktu Keruntuhan Peradaban
Bruce J. seorang sosiolog mengatakan bahwa sebuah perusahaan pada sebuah lingkungan akan mempengaruhi pola kehidupan masyarakat di sekitarnya. Pernyataan Bruce J. ternyata memang ada benarnya. Bila melihat kesemrawutan dan tidak jelasnya arah pembangunan dan arah kehidupan masyarakat Gantung hari ini, semua bermula saat timah bisa diakses bagi siapa saja. Sejak semua orang secara merdeka bisa menggali pundi-pundi timah, baik di darat maupun di air, kehidupan menjadi semakin tidak teratur.
Kesemerawutan itu menjelma sebagai bom waktu yang menghasilkan masalah sosial yang beragam, mulai dari masalah kehidupan rumah tangga, inflasi, konflik agraria, bahkan sampai dengan kerusakan lingkungan yang tidak terkendali.
Mari merenung. Sebelum semua orang bebas secara merdeka menggali perut bumi Gantung dan sekitarnya, apakah ada tempat hiburan malam (THM) remang-remang yang menjajakan paha mulus sampai paha bertotol, dengan layanan kupi pangkuk? Apakah sebelum timah bebas diakses seperti saat ini inflasi di Belitung Timur dan Gantung tinggi akibat permintaan yang tinggi namun suplai tidak memungkinkan? Apakah ada pertikaian antara orang yang memiliki lahan perkebunan dengan para penambang yang hendak menjamah tanah perkebunan perawan milik petani? Apakah ada konflik lingkungan antara manusia dengan hewan yang kian memanas? Mengapa angka perceraian di Gantung tinggi hari ini? serta konflik pertarungan perebutan BBM antara penambang dan nelayan?
ADVERTISEMENT
Mari merenung dan melihat. Semua masalah itu terjadi saat setelah timah bebas diakses oleh siapa saja. Saat timah bebas diakses oleh siapa saja, orang dari segala penjuru dengan kultur budaya yang beda datang dan mengangkangi masyarakat adat. Berlagak seperti preman dan mulai merasa sebagai tuan tanah di negeri orang. Selain konflik yang telah dijelaskan di atas, bukan tidak mungkin, gesekan dan polarisasi yang ada di masyarakat akan menjadi katalis bagi konflik etnis di masa yang tidak akan lama lagi.
Mari merenung. Sejak timah bisa diakses oleh siapa saja dan di mana saja, masyarakat menjadi semakin tamak. Hidup tiada puas dengan apa yang sudah dimiliki. Manajemen keuangan hancur. Dulu, masyarakat Belitung dan khususnya masyarakat Gantung mencela orang Suku Sawang yang tidak bisa berhemat. Karena, uang mereka sehari dapat dan langsung dihabiskan. Hari ini? Semua mempunyai pola yang sama. Yakni dapat sehari untuk sehari. Lantas bagaimana kita masyarakat Gantung bisa bertahan apabila krisis ekonomi datang menghantam dengan dahsyat hari ini?
ADVERTISEMENT
Semua tentang peradaban Gantung yang dulunya maju, tertib, dan disiplin di mana masyarakatnya memiliki nilai humanisme yang baik, semua itu runtuh seiring berjalannya waktu. Bahkan konflik-konflik berkepanjangan telah mengintai sebagai bom waktu yang tinggal menghitung masa.
Kapitalis Berbulu Nasionalis
Sungguh, mungkin kita selama ini lalai dan bahkan tidak menyadari. Kehidupan kita di Gantung pada akhirnya bisa kacau dan tidak tertata berawal dari kebohongan perusahaan timah negara yang merumahkan karyawan tanpa alasan jelas. Di antara alasan yang tidak jelas itu adalah “cadangan timah sudah hampir habis” yang kemudian dijadikan alasan kuat untuk merumahkan karyawan yang sudah mengabdi entah berapa tahun lamanya. Walaupun faktanya, sampai hari ini tambang darat masih terus berproses.
ADVERTISEMENT
Kini, kita semua hanya bisa menyadari bahwa kehadiran BUMN di tanah Gantung atau bahkan Belitung pada umunya hanya sebagai cengkeraman korporasi bermental kolonial. Bahkan, mental kolonial masih lebih manusiawi dalam memandang masyarakat setempat dibandingkan perusahaan negara yang katanya sebagai bagian dari usaha negara memberikan akses kehidupan yang layak bagi masyarakat.
Sejak timah katanya runtuh di tahun 1999, penambangan timah di Belitung Timur memasuki mode hemat. Adanya Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No 146/MPP/Kep/4/1999, membuat perusahaan mau mendapatkan hasil maksimal dengan usaha minimal. Mengaktifkan kembali blok IUP yang mereka miliki, lalu membiarkan rakyat menambang di tempat mereka dan menjual timah ke mereka. Kemudian mereka (PT Timah) tinggal memproses menjadi balok-balok timah yang harganya berkali-kali lipat dari harga beli kepada rakyat. Begitu seterusnya hingga sampai saat ini. Mereka tidak lagi membuat tambang seperti dahulu kala, dan membiarkan rakyat seperti semut yang bertualang mencari setitik gula.
ADVERTISEMENT
Bobroknya mereka, bahkan mereka membeli timah dari para penambang timah ilegal dan dicatatkan oleh mereka sebagai pendapatan dari hasil produksi mereka. Selain itu, mereka berusaha untuk menekan biaya produksi dengan menyubkontraktorkan usaha tambang mereka terhadap perusahaan-perusahaan yang tidak jelas dan bahkan menambang di kawasan terlarang. Namun, semuanya bagi mereka, yang penting cuan dan biarlah rakyat Belitung terutama Gantung hidup kejar tayang demi butir beras yang bisa ditanak.
Tabir kebenaran sudah jelas di depan mata. Semua perubahan dan kekacauan hidup masyarakat di kawasan tambang berasal dari perusahaan itu sendiri. Hendra Try Ardianto dalam bukunya yang berjudul “Mitos Tambang untuk Kesejahteraan” telah memberikan pencerahan kepada kita bahwa, hadirnya sebuah usaha pertambangan di sebuah tempat, tidak akan menjadi jaminan kesejahteraan rakyat sekitar. Walaupun tidak semua tambang demikian, namun hampir dua dekade sejak 1999, para penambang timah di Belitung terkhusus di Gantung tidak ubahnya seperti sapi perah bagi PT Timah.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, saya hendak menyampaikan bahwa, kita sebagai masyarakat Gantung saat ini, selain rusak alam kita, kultur sosial dan budaya kita juga mengalami perubahan yang signifikan. Kita dibuyarkan dengan kenikmatan instan dari hasil tambang yang membuat kita lupa bahwa hari ini tidak akan sama dengan hari esok. Kehidupan pragmatis kita sudah mencapai batas kewajaran, bahkan membuat kita merasa nyaman dan akhirnya malas untuk bersaing lebih ketat di dunia ekonomi yang lebih liberal. Pada akhirnya, tidak ada lagi waktu bagi kita untuk membina hidup keluarga yang lebih baik, kehidupan lingkungan yang lebih baik, karena yang ada dalam otak masing-masing kita adalah, makan apa dan berapa uang yang kita dapatkan hari ini agar bisa bertahan sampai esok hari.
ADVERTISEMENT