Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Melampaui Kapitalisme dan Sosialisme: Ekonomi Hybrid Tiongkok untuk Dunia
29 November 2024 19:45 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Risma Gardina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ekonomi Tiongkok telah lama menjadi pusat perhatian dunia, terutama sejak pertumbuhan pesatnya yang dimulai pada akhir 1970-an. Selama ini, banyak yang melihat Tiongkok sebagai negara dengan sistem ekonomi yang dikelola secara ketat oleh negara, mirip dengan model sosialis klasik. Pandangan lain menganggapnya sebagai kapitalisme yang dibungkus dalam kerangka otoritarianisme politik. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa ekonomi Tiongkok adalah sesuatu yang berbeda, model hybrid yang menggabungkan mekanisme pasar dan kontrol negara dengan cara yang unik dan kontras. Model ini memberikan pelajaran penting, baik bagi negara berkembang seperti Indonesia maupun ekonomi global.
ADVERTISEMENT
Menggali Model Hybrid
Model ekonomi Tiongkok sering digambarkan sebagai "sosialisme dengan karakteristik Tiongkok." Namun, apa yang membedakannya dari model lain adalah perpaduan antara sentralisasi politik dan desentralisasi ekonomi. Pemerintah pusat menetapkan kebijakan strategis besar, seperti transformasi teknologi dan pembangunan infrastruktur, sementara pemerintah lokal bertindak sebagai “shareholders” yang bertanggung jawab untuk mencapai target pertumbuhan dan mendukung perusahaan swasta di wilayah mereka.
Selama ini, pandangan lama menyebut bahwa keberhasilan ekonomi Tiongkok hanya disebabkan oleh investasi besar-besaran dari pemerintah dalam sektor industri dan infrastruktur. Namun, fakta baru menunjukkan bahwa sektor swasta justru menjadi penggerak utama pertumbuhan, menyumbang lebih dari 60% output ekonomi, 70% inovasi, dan 80% lapangan pekerjaan di wilayah perkotaan.
Hubungan antara negara dan sektor swasta yang sering dianggap penuh tekanan ternyata lebih menyerupai simbiosis mutualisme. Sebagai contoh, dalam industri teknologi, pemerintah Tiongkok memberikan insentif besar-besaran, seperti akses modal murah dan dukungan regulasi kepada perusahaan seperti Huawei dan Alibaba. Sebagai imbalannya, perusahaan-perusahaan ini tidak hanya berinovasi secara mandiri tetapi juga berkontribusi pada tujuan strategis negara, seperti memperkuat kedaulatan teknologi dan menciptakan lapangan kerja skala besar. Simbiosis ini menciptakan ekosistem ekonomi yang saling mendukung, di mana negara menyediakan infrastruktur dan regulasi, sementara sektor swasta menghasilkan inovasi dan efisiensi.
ADVERTISEMENT
Dari Stereotip Lama ke Pemahaman Baru
Pandangan lama sering menggambarkan ekonomi Tiongkok sebagai sesuatu yang sepenuhnya dikontrol negara, dengan pengusaha swasta hanya sebagai perpanjangan tangan pemerintah. Namun, pemahaman baru menunjukkan bahwa meskipun intervensi negara tetap signifikan, terdapat dinamika kompleks di mana pengusaha memainkan peran penting dalam membangun ekonomi yang kompetitif.
Banyak inovasi di sektor teknologi, seperti keberhasilan Tiongkok dalam kendaraan listrik dan teknologi fintech, justru lahir dari kolaborasi erat antara pengusaha dan pemerintah daerah. Contohnya, pemerintah daerah Shenzhen, yang dikenal sebagai "Silicon Valley Tiongkok," memainkan peran penting dalam mendukung pertumbuhan BYD, produsen kendaraan listrik. Pemerintah Shenzhen memberikan insentif pajak, mendukung pengembangan infrastruktur pengisian daya, dan mendorong kebijakan transportasi ramah lingkungan, yang semuanya berkontribusi pada keberhasilan BYD sebagai pemain utama di pasar global.
Di sisi lain, kritik sering diarahkan pada kelemahan institusional Tiongkok, seperti perlindungan hak kekayaan intelektual yang lemah. Meskipun demikian, pemerintah telah merespons kritik ini dengan berbagai reformasi. Sebagai contoh, Tiongkok meningkatkan upaya penegakan hukum terkait pelanggaran kekayaan intelektual dan membentuk pengadilan khusus untuk menangani kasus-kasus tersebut. Selain itu, pemerintah menggunakan strategi insentif untuk mendorong inovasi domestik sambil memperkuat regulasi untuk menciptakan lingkungan yang lebih adil bagi semua pelaku ekonomi, termasuk investor asing.
ADVERTISEMENT
Relevansi untuk Indonesia dan Dunia
Apa yang bisa dipelajari Indonesia dari model hybrid Tiongkok? Pertama, desentralisasi ekonomi dapat menjadi strategi yang efektif untuk memacu pertumbuhan daerah. Di Tiongkok, pejabat lokal memiliki insentif untuk mendukung perusahaan swasta dan mendorong inovasi karena keberhasilan ekonomi lokal berkontribusi pada kemajuan karir mereka.
Namun, dalam konteks Indonesia, sering kali terjadi ketidaksinkronan antara program pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah pusat telah merancang program strategis, seperti percepatan pembangunan infrastruktur atau transformasi energi, tetapi implementasinya di tingkat daerah sering terhambat oleh perbedaan prioritas. Untuk mengatasi ini, Indonesia dapat mengadopsi mekanisme insentif seperti di Tiongkok, di mana pemerintah daerah didorong untuk menyelaraskan program mereka dengan kebijakan pusat melalui skema penghargaan berbasis pencapaian target. Hal ini dapat menciptakan sinergi yang lebih baik antara pusat dan daerah.
Kedua, pelajaran penting lainnya adalah bagaimana Tiongkok memanfaatkan investasi strategis untuk membangun daya saing di sektor-sektor masa depan. Transformasi Tiongkok menjadi pemimpin global dalam teknologi energi bersih adalah hasil dari kebijakan industrialisasi yang terencana dengan baik. Indonesia, dengan kekayaan sumber daya alamnya, memiliki potensi besar untuk mengikuti jejak ini, khususnya dalam pengembangan energi terbarukan.
Untuk dunia, keberhasilan ekonomi Tiongkok menawarkan model alternatif dari kapitalisme murni yang sering dikritik karena menciptakan ketimpangan sosial. Tiongkok telah menunjukkan bahwa intervensi negara yang strategis, bila dilakukan dengan efisien, dapat membantu memperbaiki kegagalan pasar. Namun, model ini juga memiliki risiko, terutama bila terlalu banyak kekuasaan terpusat yang menghambat inovasi jangka panjang.
ADVERTISEMENT
Tantangan di Masa Depan
Meskipun Tiongkok telah berhasil menggabungkan elemen-elemen kapitalisme dan sosialisme, tantangan tetap ada. Pertumbuhan berbasis investasi besar-besaran tidak dapat bertahan selamanya. Selain itu, ketergantungan yang tinggi pada intervensi negara dapat menimbulkan risiko stagnasi ketika pasar membutuhkan fleksibilitas lebih besar. Tiongkok kini menghadapi tugas berat untuk beralih dari "ekonomi mengejar ketertinggalan" ke "ekonomi berbasis inovasi."
Bagi Indonesia, pelajaran ini relevan karena menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan tidak hanya membutuhkan investasi besar, tetapi juga kerangka kebijakan yang memungkinkan sektor swasta berkembang secara inovatif. Dengan sinergi yang tepat antara pemerintah dan pelaku usaha, Indonesia dapat membangun model ekonomi yang tidak hanya kompetitif di tingkat nasional tetapi juga relevan di kancah global.
Ekonomi hybrid Tiongkok menunjukkan bahwa tidak ada satu model ekonomi yang cocok untuk semua negara. Dengan menggabungkan mekanisme pasar dan peran aktif negara, Tiongkok berhasil menciptakan model yang sesuai dengan kebutuhan dan konteks lokalnya. Bagi Indonesia dan negara-negara lain, pelajaran dari Tiongkok ini membuka peluang untuk menyesuaikan pendekatan ekonomi mereka sendiri, sambil tetap mempertimbangkan dinamika lokal dan global. Di tengah tantangan globalisasi dan disrupsi teknologi, pemahaman mendalam tentang model hybrid Tiongkok memberikan wawasan penting bagi pembangunan ekonomi dunia di masa depan.
Risma Gardina
ADVERTISEMENT
Mahasiswa Prodi Ilmu Ekonomi Universitas Sanata Dharma, peserta Kuliah Ekonomi Tiongkok yang diselenggarakan dalam kerjasama dengan Indonesia-China Partnership Studies (INCHIPS).