Konten dari Pengguna

Hak Asasi Manusia dalam Pidana Mati: Suatu Pertimbangan atau Pengelakan?

Risma Kartika Melandri
Risma merupakan mahasiswa S-1 Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran yang saat ini sedang mendalami program kekhususan hukum pidana.
31 Oktober 2024 13:01 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Risma Kartika Melandri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilustrasi pidana mati (AI Generated).
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pidana mati (AI Generated).
Hak asasi manusia merupakan hak kodrati yang paling mendasar. Adapun terdapat sifat keterikatan hak asasi manusia, yakni non-derogable rights, dimana sejumlah hak-hak asasi manusia tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, salah satunya adalah hak untuk hidup (the right to life).
ADVERTISEMENT
Indonesia menjamin hak untuk hidup secara jelas melalui beberapa peraturan, dari Pasal 9 Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), Pasal 28I ayat (1), hingga Pasal 28A UUD 1945. Indonesia juga terikat pada Universal Declaration of Human Rights (UDHR) yang melarang adanya hukuman mati dan telah meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang menekankan bahwa: “Every human being has the inherent right to life”. Mengacu pada prinsip dan aturan tersebut, pidana mati di Indonesia menjadi suatu kontroversi dan menuai banyak penolakan.
Hal penting yang perlu dipahami sebagai salah satu dasar dalam menilai eksistensi pidana mati adalah bahwa terdapat pengecualian dalam hak asasi manusia, pun terhadap hak untuk hidup. Dalam ICCPR disebutkan,
ADVERTISEMENT
Selain itu, terdapat pemahaman “a public emergency which threatens the life of nation”, yakni keadaan darurat yang dapat dijadikan dasar untuk membatasi pelaksanaan hak-hak kebebasan dasar. Indonesia pun mengatur pembatasan hak untuk hidup melalui Penjelasan Pasal 9 UU HAM, dimana dalam hal atau keadaan yang sangat luar biasa, demi kepentingan hidup seorang ibu dalam kasus aborsi atau berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus pidana mati, maka tindakan aborsi atau pidana mati dalam hal dan atau kondisi tersebut, masih dapat diizinkan. Hal ini dipertegas pula melalui Putusan MK No. 2-3/PUU-V/2007, bahwa hukuman mati dalam UU Narkotika tidak bertentangan dengan hak untuk hidup yang dijamin UUD 1945, lantaran hak asasi manusia dalam UUD 1945 tidak ada yang bersifat mutlak termasuk hak asasi yang diatur di dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.
ADVERTISEMENT
Pemahaman dan aturan tersebut hendaknya memberikan pencerahan bahwa terdapat keadaan tertentu yang membatasi hak-hak asasi manusia, baik itu terhadap hak untuk hidup sekalipun, serta menjadi justifikasi keberadaan dan mengapa diperlukannya sanksi pidana mati. Gagasan untuk meniadakan pidana mati sama sekali dirasa bukan suatu langkah yang tepat. Suatu negara dalam membentuk kebijakan hukum tentu diharapkan dapat mengakomodir segala kemungkinan yang dapat terjadi di masa depan. Dalam hal terjadi pidana serius atau luar biasa, terorisme misalnya, lalu berjatuhan korban-korban yang direnggut haknya, bagaimana negara dapat memberikan keadilan dengan tidak adanya dasar dan sanksi hukum yang sepadan?
Perubahan kebijakan pidana mati dalam KUHP Nasional merupakan salah satu wujud nyata bahwa negara telah mempertimbangkan penegakan hak asasi manusia dan mengusahakan untuk dapat menyeimbangkan pandangan pihak pro dan pihak kontra terhadap pidana mati. Pidana mati tidak lagi menjadi pidana pokok, melainkan sebagai pidana khusus yang harus selalu diancamkan secara alternatif (Pasal 67) dan dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun. Selama masa percobaan tersebut, terpidana diharap dapat memperbaiki diri sehingga pidana mati tidak perlu dilaksanakan. Hal ini menekankan bahwa pidana mati adalah upaya terakhir (ultimum remedium) yang hanya dapat dijatuhkan dalam keadaan benar-benar mendesak, sekaligus menunjukkan upaya negara dalam mempertahankan hak-hak asasi manusia. Adapun kebijakan masa percobaan hendaknya dipandang sebagai usaha untuk memberikan kepastian hukum bagi terpidana, khususnya melihat kondisi saat ini dengan total terpidana mati yang telah berada dalam deret tunggu eksekusi lebih dari 10 tahun per Februari 2024 sejumlah kurang lebih 110 orang (death row phenomenon). Hal tersebut justru menimbulkan perlakuan tidak manusiawi terhadap keadaan fisik dan mental terpidana akibat lamanya masa tunggu yang harus mereka lalui.
ADVERTISEMENT
Jika kita berusaha untuk menempatkan diri sebagai pihak yang dicederai haknya melalui tindak pidana serius atau luar biasa, menyelami betul kegetiran dari keadaan tersebut, apakah hak asasi manusia atas pelaku tetap menjadi alasan untuk menolak penjatuhan pidana mati? Hak asasi manusia tentu merupakan suatu pertimbangan besar dalam menentukan keberadaan hingga penjatuhan dan eksekusi pidana mati. Namun, di sisi lain, tidak dapat dipungkiri bahwa pidana mati tetap diperlukan sebagai salah satu bentuk sanksi yang dapat memberikan keadilan serta menjamin kepastian hukum bagi setiap orang dalam keadaan mendesak, yang tidak pernah diketahui terhadap siapa pidana luar biasa akan terjadi, dan pada waktu yang tidak dapat dipastikan kapan akan datang.
Kembali ke awal dan menjawab tanda tanya yang tertinggal, hak asasi manusia dalam pidana mati tidak lain adalah suatu pertimbangan guna memastikan sanksi pidana mati diatur serta ditegakkan sebagaimana mestinya, bukan sekadar pengelakan untuk memberikan keleluasaan terhadap pelaku atau bahkan melemahkan pemidanaan.
ADVERTISEMENT