Gubuk Tak Beratap Curug Seribu

Risma Perdana Izzati
Mahasiswi Jurnalistik Politeknik Negeri Jakarta.
Konten dari Pengguna
15 Juli 2021 15:14 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Risma Perdana Izzati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kolase suasana Curug Seribu oleh Risma Perdana Izzati (17/05/21)
zoom-in-whitePerbesar
Kolase suasana Curug Seribu oleh Risma Perdana Izzati (17/05/21)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Apa yang terlintas dalam benakmu saat mendengar kata 'gubuk'? Kumuh? kotor? kusam?
ADVERTISEMENT
Tipikal gubuk semacam itu berbanding terbalik dengan gubuk tak beratap yang kami temui di Curug Seribu, Bogor.
Waktu menunjukkan pukul 07.00 WIB ketika ia, tolan tualangku kali ini tiba di teras rumahku. Kami lantas bersiap mengemasi segala perbekalan dan peranti yang akan kami bawa untuk menempuh perjalanan menuju Curug Seribu di daerah Bogor. Curug Seribu merupakan salah satu dari banyak curug yang ada di kawasan destinasi wisata Taman Nasional Gunung Halimun Salak.
Hangatnya sinar mentari yang menyingsing mulai terasa, ketika kami sampai di Perempatan Warung Jambu, Bogor. Lalu lintas cukup lengang. Kami sengaja memilih hari kerja, agar dapat menikmati keindahan curug secara utuh nan jauh dari hiruk-pikuk pengunjung. Masih ada sekitar tiga puluh kilometer sisa perjalanan untuk kami tempuh hingga sampai di kawasan taman nasional.
ADVERTISEMENT
Rimbun pepohonan menyambut kami, pertanda kami mulai memasuki kawasan taman nasional. Tak lama, gerbang taman nasional mulai nampak di peredaran pandang mata kami. Tiket senilai Rp 30 ribu menjadi syarat untuk memasuki kawasan ini. Suasana yang asri sedikit ternodai dengan jalanan yang cukup rusak. Dari arah berlawanan, melintas beberapa warga lokal yang membawa kayu dan pakan ternak.
Setengah jam berlalu sejak kami memasuki kawasan taman nasional, kami akhirnya sampai pada titik tracking Curug Seribu. Di sana kami menjumpai beberapa warung sederhana yang menjual makanan ringan serta beberapa kebutuhan lainnya. Kami membeli tiket masuk ke curug di salah satu warung tersebut, dan langsung bergegas untuk melakukan tracking.
Jalur berbatu dan licin mengisyaratkan kami untuk selalu waspada sepanjang penempuhan tracking. Di tengah perjalanan, kami menemukan curug kecil pertama yang akhirnya menjadi tempat kami beristirahat. Kami duduk untuk sekadar mengistirahtkan kaki yang sudah mulai bergetar. Kami juga membilas wajah kami yang penuh keringat dengan air curug yang sejuk.
Jalur tracking Curug Seribu oleh Risma Perdana Izzati (17/05/21)
Sepanjang perjalanan tracking, kami disuguhi hijaunya pemandangan hutan hujan tropis yang sangat menentramkan. Vegetasi yang ada pada kawasan itu terlihat beragam. Samar-samar terdengar suara khas di balik rimbunnya hutan. Suara yang tak asing terdengar seperti burung atau jangkrik, namun sebenarnya suara itu berasal dari salah satu hewan unik bernama Tonggeret.
ADVERTISEMENT
Setelah kurang lebih empat puluh lima menit melakukan tracking yang cukup melelahkan, kami akhirnya sampai di Curug Seribu. Nampak air terjun dengan segala aura megahnya, menjulang tinggi dan indah. Di bawahnya terlihat batuan granit terhantam derasnya debit air yang jatuh. Di balik keindahanya, terlihat beberapa sampah yang berserakan akibat ulah dari pengunjung yang tidak bertanggung jawab.
Curug Seribu oleh Risma Perdana Izzati (17/05/21)
Pada ujung jalur tracking, kami mendapati sebuah bangunan tua tak beratap yang lebih terlihat seperti gubuk. Bangunan yang terlihat terbengkalai itu berukuran kurang lebih dua kali dua meter. Tampak lubang simetris berbentuk segi empat layaknya bekas jendela di keempat sisi dinding, yang menandakan bangunan ini dulunya bukanlah sebuah kamar mandi atau ruang ganti.
Gubuk tak beratap itu tidak megah, tidak juga memiliki fungsi lagi. Namun keberadaannnya justru menjadi daya tarik tersendiri, di latar belakangi oleh bebatuan dan rimbun pepohonan di sekitarnya. Mata kami tidak teralihkan sejak pertama kali melihat bangunan itu. Magis, kontras, artistik, kami dibuat terpesona olehnya. Lumut yang berkecambah di sekitar sisinya, menambah kesan eksotisme dari gubuk itu.
ADVERTISEMENT
Tanpa disangka, awal mula niat kami yang hanya ingin menjumpai dan menikmati suasana Curug Seribu, justru yang kami dapati rupanya lebih dari itu. Pesona gubuk tak beratap yang kami temui berhasil membuat kami terpana. Ketika kami mencoba untuk memandangi dan turut merasuk, menyatukan jiwa kami dengan alam sekitar, gubuk itu seolah semakin menampakkan ruhnya. Sayang, tidak ada penjaga atau penduduk asli di dekat kami, sehingga kami tidak dapat mencari tahu lebih lanjut mengenai asal-usul dan kisah di balik gubuk tak beratap itu.
Di balik bangunan itu, kami menggelar beberapa perbekalan yang telah kami siapkan sebelumnya. Kami memasak air di kompor portable untuk menyeduh mie instan dan kopi. Derai jutaan butir air yang terjun dari atas, mengembun mendarat di pakaian kami. Hawa dingin semakin memeluk erat tubuh kami, seiring dengan mulai berakhirnya waktu siang yang disambut dengan sore menjelang.
ADVERTISEMENT
Kami menyantap perbekalan untuk mengisi kembali energi yang telah terpakai untuk tracking. Kami mengabadikan beberapa sisi lain curug dan tidak lupa berfoto berdua. Setelah puas mengabadikan momen, kami membereskan perbekalan yang tadi kami gelar, lalu memasukannya kembali ke dalam tas. Kami bersiap untuk melakukan tracking untuk kembali pulang.
Perjalanan pulang terasa lebih cepat, sebab kami seolah telah menguasai medan. Tidak sampai setengah jam kami telah sampai kembali ke titik awal tracking. Curug Seribu, gubuk tak beratap dan segala pesona keindahannya mulai berlalu seiring dengan perputaran roda motor. Lembayung senja menyambut kami ketika sampai di perbatasan kota, sekaligus menjadi tanda perpisahan dengan Bogor dan segala keindahannya.