Konten dari Pengguna
Pajak Karbon: Beban Baru atau Langkah Hijau Indonesia 2045?
26 September 2025 18:30 WIB
·
waktu baca 4 menit
Kiriman Pengguna
Pajak Karbon: Beban Baru atau Langkah Hijau Indonesia 2045?
"Pajak karbon 2025: Beban produksi di tambang Sulawesi atau peluang hijau untuk net zero 2060? Analisis transisi energi, target NDC 29%, & Rp 200 T pendapatan untuk Indonesia Emas."Risma Remansyah
Tulisan dari Risma Remansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Indonesia, sebagai salah satu emiten karbon terbesar ke-4 dunia, kini berada di persimpangan krusial: transisi energi menuju net zero emission 2060. Kebijakan pajak karbon, yang mulai diimplementasikan melalui Perpres No. 98/2021 dan diusulkan lebih luas di APBN 2025, menjadi ujian nyata. Di Jakarta, pusat pengambilan kebijakan Kementerian ESDM dan Keuangan, pemerintah menargetkan pajak ini untuk sektor energi dan pertambangan, dengan tarif awal Rp 30.000 per ton CO2 ekuivalen. Namun, di lapangan seperti tambang nikel di Sulawesi Tenggara dan pabrik smelter di Morowali, Central Sulawesi, para pekerja khawatir ini akan menambah biaya produksi. Apakah pajak karbon ini beban baru yang memperlambat industri, atau langkah hijau esensial untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045? Sebagai pengamat lingkungan, saya yakin ini peluang besar jika dikelola inklusif, tapi berisiko gagal jika mengabaikan realitas ekonomi daerah.
ADVERTISEMENT
Peluang Pajak Karbon: Fondasi untuk Ekonomi Hijau dan Ketahanan Energi
Pajak karbon bukan sekadar pungutan, melainkan instrumen untuk mendorong inovasi berkelanjutan. Di tingkat nasional, implementasi di Jakarta melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berpotensi menghasilkan Rp 100-200 triliun per tahun, menurut estimasi Kementerian Keuangan, yang bisa dialokasikan untuk subsidi energi terbarukan seperti PLTS di Jawa Barat atau panas bumi di Sumatera Utara. Ini selaras dengan Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia di COP29 Baku, Azerbaijan, yang menargetkan pengurangan emisi 29% pada 2030 dengan bantuan internasional. Di sektor pertambangan, seperti di Kalimantan Timur yang kaya batubara, pajak ini mendorong transisi ke baterai EV (electric vehicle), di mana Indonesia sebagai raja nikel bisa dominasi pasar global senilai US$ 500 miliar pada 2040, menurut IEA.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, pajak karbon membuka peluang inklusif bagi UMKM di daerah seperti Bali (pariwisata hijau) atau Jawa Tengah (agroforestry). Dengan mekanisme carbon trading yang sedang dikembangkan di Bursa Karbon Indonesia (IDXCarbon) di Jakarta, perusahaan bisa jual kredit karbon, menciptakan lapangan kerja baru hingga 1 juta posisi di sektor hijau, seperti proyeksi ILO. Ini bukan hanya soal lingkungan, tapi ekonomi gotong royong: pendapatan pajak bisa mendanai program sosial di wilayah rawan seperti Papua, memastikan transisi energi tak meninggalkan siapa pun. Di forum internasional seperti OECD Paris, Indonesia dipuji sebagai model negara berkembang yang ambisius, potensial tarik investasi hijau US$ 20 miliar dari Eropa dan AS.
Ancaman yang Mengintai: Beban Ekonomi dan Ketidakadilan Regional
ADVERTISEMENT
Meski menjanjikan, pajak karbon menyimpan ancaman serius, terutama bagi industri berbasis fosil yang dominan di daerah seperti Sumatera Selatan (minyak dan gas) dan Kalimantan Selatan (batubara). Kenaikan biaya produksi hingga 10-15%, seperti yang dialami smelter di Morowali, bisa picu PHK massal—data BPS menunjukkan 2,5 juta pekerja di sektor ekstraktif rentan. Di Jakarta, kritik dari serikat buruh menyoroti bahwa tanpa bantalan transisi seperti pelatihan vokasi, pajak ini bisa perlebar kesenjangan regional: Jawa dan Sumatera untung dari energi terbarukan, sementara Sulawesi dan Papua tertinggal, dengan Gini Coefficient nasional yang sudah 0,38.
Secara global, di tengah ketegangan dagang AS-Cina yang dibahas di G20 Bali 2022, pajak karbon Indonesia berisiko membuat ekspor nikel kurang kompetitif jika tak sinkron dengan EU's Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) di Brussels, Belgia. Tanpa sosialisasi masif dan insentif bagi UMKM (seperti pembebasan untuk usaha kecil di bawah Rp 4,8 miliar omzet), ini bisa memicu protes sosial seperti di tambang Freeport Papua, mengancam stabilitas sosial-ekonomi. Ancaman terbesar adalah "greenwashing" jika dana pajak tak transparan, seperti isu korupsi di proyek infrastruktur hijau masa lalu.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan: Langkah Hijau yang Harus Inklusif untuk Indonesia Emas
Pajak karbon di tengah transisi energi adalah pedang bermata dua: beban baru jika diterapkan secara kaku, tapi langkah hijau vital untuk Indonesia Emas 2045. Pemerintah di Jakarta harus prioritaskan dialog regional—dari Sulawesi hingga Papua—dengan insentif transisi dan pengawasan ketat DPR. Kolaborasi internasional, seperti di COP selanjutnya di Brasil 2025, bisa jadi kunci. Sebagai bangsa maritim yang bergantung alam, mari jadikan pajak ini komitmen kolektif untuk generasi mendatang, bukan beban hari ini. Jika berhasil, Indonesia tak hanya selamat dari krisis iklim, tapi pimpin revolusi hijau Asia Tenggara.

