Multitafsir Penerapan UU ITE Terhadap Ujaran Kebencian Era Teknologi Informasi

Risma Murwanti
Based on Tangerang As an Correctional Polytechnic cadet
Konten dari Pengguna
10 November 2022 9:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Risma Murwanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Peristiwa UJARAN KEBENCIAN atau HATE SPEECH merupakan salah satu dampak dari cepatnya pertumbuhan teknologi informasi dan komunikasi.

Sumber : Dokumentasi Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Dokumentasi Pribadi
ADVERTISEMENT
Dengan terciptanya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) bermula dari suatu bidang teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di Indonesia, karena pada dasarnya hal tersebut untuk memajukan pengembangan dan pendayagunaan telekomunikasi.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2003 terbentuklah suatu rancangan undang – undang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE) yang kemudian mengalami revisi menjadi UU No. 11 tahun 2008, dan pada tahun 2020 mendapatkan perencanaan revisi kembali yakni pasal 27, pasal 28, pasal 29, pasal 36 dan pasal 45C yang belum terealisasikan hingga saat ini.
Tujuan utamanya ialah untuk meningkatkan perdagangan dan perekonomian nasional, mencerdaskan kehidupan bangsa, memberikan peluang sebanyak-banyaknya kepada semua orang untuk dapat meningkatkan ilmu dan kompetensi pada bidang penerapan dan pendayagunaan Teknologi Informasi (TI), menambah efektivitas dan efisiensi pada pelayanan masyarakat, memberikan keadilan, kepastian hukum dan keamanan bagi user (pengguna) dan penyelenggaraan Teknologi Informasi (TI).
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Pada saat penerapannya dilapangan segala aktivitas bersosial media jelas tertulis dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang kemudian mudah menimbulkan suatu permasalahan yakni ujaran kebencian (hate speech) karena dianggap mempunyai banyak arti sehingga memicu kekeliruan dan terdapat beberapa pasal yang dianggap sebagai “pasal karet” atau pasal yang tidak memiliki hal mendasar yang jelas serta dapat di salahgunakan sebagai upaya diskriminasi atau kriminalisasi. Beberapa kasus terkait UU ITE :
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2012 seorang perempuan bernama Baiq Nuril merasa dirinya telah dilecehkan oleh salah seorang kepala sekolah berinisial M yang berujung terjerat pasal 27 ayat (1) UU ITE jo pasal 45 ayat (1) yang dianggap melecehkan nama baik karena telah menyebarkan rekaman percakapan yang berisikan pelecehan. Merasa tidak terima atas laporan Baiq Nuril terhadapnya, kemudian kepala sekolah tersebut melaporkan kejadian tersebut atas dasar pencemaran nama baik.
Pada tanggal 15 Agustus 2008 Prita mengirimkan e-mail berisikan keluhan dirinya dan temannya atas pelayanan RS Omni Internasional, Tangerang yang dirasa kurang dan tidak memuaskan, yang kemudian e-mail tersebut tidak sengaja tersebar ke sejumlah mailing list di dunia maya. Mengetahui hal terebut pihak RS Omni Internasional melaporkan Prita dan dijerat Pasal 310 dan 311 KUHP dan Pasal 2 ayat (3) UU ITE atas pencemaran nama baik dengan 6 tahun penjara setelah mengajukan PK (Peninjauan Kembali) menjadi 4 tahun pidana.
ADVERTISEMENT
Sudah seharusnya pemerintah mengkaji ulang beberapa pasal yang dianggap “pasal karet”, kemudian peran APH terhadap korban dan pelaku dianggap penting untuk dapat menerapkan restorative justice dengan memberikan keadilan berupa jalan tengah “win to win” solusi yang mendasarkan efek jera yang tetap berpedoman HAM. Para Aparat Penegak Hukum (APH) juga wajib memperdalam pemahaman tentang penerapan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sehingga meminimalisir adanya korban “salah sasaran” dikemudian hari.