Konten dari Pengguna

Tradisi Bakar Batu Orang Papua Sambut Bulan Ramadhan

Gufinda Risman
Media Analyst di Indonesia Indicator
24 September 2024 13:08 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gufinda Risman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : Ricky Febrian/Kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Ricky Febrian/Kumparan
ADVERTISEMENT
Masyarakat Papua memiliki nilai dan kebiasaan sendiri dalam menjalani hidup. Menurut definisi, kebiasaan yang sering dilakukan oleh masyarakat maka disebut sebuah kebudayaan. Kebudayaan masyarakat Papua ini cukup beragam mulai dari upacara adat, membuat tifa, tradisi menikah, dan tradisi bakar batu. Beberapa kebudayaan tersebut menjadi ikon yang perlu dijaga kelestariannya, khususnya tradisi bakar batu.
ADVERTISEMENT
Tradisi bakar batu hanya ada di daerah Papua. Tradisi bakar batu merupakan salah satu tradisi penting di Papua yang berupa ritual memasak bersama-sama warga satu kampung yang bertujuan untuk bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersilahturahmi, atau untuk mengumpulkan prajurit perang. Seringkali, suku-suku di pedalaman dan pegunungan papua melakukan tradisi tersebut.
Berdasarkan teori yang dikembangkan oleh Emile Durkheim tentang fakta sosial, menilai bahwa masyarakat bersama-sama menjadi satu karena melakukan aktivitas dengan tanggung jawab bersama. Tradisi bakar batu menjadi tempat berkumpul bersama dimana aktifitas yang terjadi juga memungkinkan dialog serta komunikasi sosial yang terbangun dalam diskursus proses bakar batu. Selain itu, George Herbert Mead juga memiliki tiga konsep dasar dalam memahami interaksi simbolik diantaranya; pertama, pentingnya makna bagi prilaku manusia kedua, pentingnya konsep mengenai diri ketiga, hubungan antara individu dan masyarakat (George Herbert Mead, 1934).
ADVERTISEMENT
Nenek moyang masyarakat Papua dulu berpikir untuk menciptakan kebudayaan guna kebaikan masa depan generasinya. Semakin berkembangnya zaman, mereka tetap mengelola kebudayaan dengan baik dan bijak supaya generasi penerusnya dapat berkembang dan melestarikan kebudayaannya. Awalnya tradisi bakar batu dilakukan oleh nenek moyang Papua untuk mengolah hasil kebun dan pertanian mereka, tetapi ketika memasak tidak ada pancinya. Maka salah seorang warga Papua berpikir dan mengambil batu di sungai kemudian memasukkannya kedalam tungku api. Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya batu itu panas dan menjadi arang. Kemudian ia membuat kolam bundaran kecil sebagai alas. Selanjutnya, ia menyusun batu di kolam sesuai dengan ukuran kolam.
Semenjak itu, warga Papua mulai mengembangkan tradisi bakar batu. Semakin lama semakin berkembang hingga ke pelosok daerah. Walaupun memasak dengan dedaunan, mereka tidak meninggalkan tradisi ini, karena makanan ini tidak mengandung zat kimia, protein yang tinggi, dan menjadi ciri khas mereka. Masyarakat umum menyebutnya makanan yang tidak mengandung zat kimia adalah makanan organik.
ADVERTISEMENT
Makanan organik adalah makanan yang diproduksi tanpa menggunakan bahan kimia, senyawa tambahan dan rekayasa genetik. Makanan organik acapkali menjadi pilihan bagi masyarakat Papua, karena didukung oleh lingkungannya yang masih cukup asri. Menurut artikel halodoc, makanan organik memiliki antioksidan yang lebih tinggi dan kandungan senyawa fonetik yang dapat melawan efek radikal bebas dalam tubuh. Oleh karena itu, memasak dengan dedauan yang dilakukan oleh masyarakat Papua cukup terbilang baik dan aman.
Disebut tradisi bakar batu, karena memang benar batu-batu yang mereka bakar hingga panas, kemudian di tumpuk di atas makanan yang akan dimasak. Umumnya orang Papua memasak babi di atas tumpukan batu yang terbakar, tetapi bagi umat beragama muslim mereka mengganti masakan babi dengan sapi, ayam, atau kambing. Hal ini juga menumbuhkan rasa toleransi yang tinggi sesama umat beragama.
ADVERTISEMENT
Dalam perkembangannya, tradisi ini mempunyai berbagai nama, misalnya masyarakat Paniai menyebutnya Gapiia, masyarakat Wamena menyebutnya Kit Oba Isogoa. Sedangkan, masyarakat Biak menyebutnya dengan istilah Barapen. Namun demiakin, istilah yang paling umum digunakan untuk Tradisi Bakar Batu ini ialah barapen. Lazimnya sebuah upacara, tradisi bakar batu juga memiliki tahapan-tahapan yang harus dilalui.
Tradisi itu tidak pernah dilupakan oleh masyarakat Papua sekalipun perbedaan agama. Contohnya komunitas muslim di Wamena Kota Jayapura. Muslim Wamena sendiri sudah dari dulu memeluk agama Islam, karena luasnya wilayah di Wamena, hanya wilayah Walesi yang masyarakatnya memeluk agama Islam. Selain itu, tradisi bakar batu di Wamena lebih dikenal dengan sebutan kit oba isago.
Acara ini biasanya di mulai dari pembagian kelompok dan masing-masing kelompok menyiapkan sub-kegiatan seperti: penyerahan daging sapi, menari, dan menyiapkan batu dan kayu yang akan dibakar. Tahapan dalam acara bakar batu adalah menumpukkan batu lalu dibakar sampai kayu habis terbakar dan batu menjadi panas. Selanjutnya para lelaki menggali lubang yang dalam agar batu panas itu bisa dimasukkan ke dalam galian. Tak lupa dalam lubang itu diberi alas berupa daun pisang dan alang-alang sebagai penghalang uap panas batu agar tidak menguap. Lalu diatas batu panas diberikan dedaunan dan potongan sapi diletakkan di atas dedaunan tersebut.
ADVERTISEMENT
Setelah matang, semua anggota komunitas muslim di Wamena berkumpul, berdoa dalam menyambut bulan suci Ramadhan dan menyantap masakan bersama-sama. Tradisi ini dipercaya bisa mengangkat solidaritas dan kebersamaan komunitas muslim di Wamena. Secara umum, tradisi bakar batu dapat membangun relasi antar suku di pedalaman Papua. Selain itu, tradisi ini dapat melestarikan budaya leluhur dan mewariskannya kepada generasi selanjutnya.
Tradisi Bakar Batu merupakan acara yang paling dinantikan warga Papua, khususnya komunitas muslim di Wamena. Mereka bahkan rela meninggalkan ladang dengan tidak bekerja selama berhari-hari untuk mempersiapkan tradisi ini. Selain itu, biaya yang besar rela dikeluarkan oleh warga Wamena untuk mengadakan tradisi ini. Tradisi bakar batu dalam menyambut Bulan Ramadhan dilakukan di area rumah ketua komunitas muslim di Wamena.
ADVERTISEMENT
Sampai sekarang, tradisi bakar batu masih terus di lakukan dan sering di lakukan bukan hanya saat bulan suci Ramadhan, melainkan untuk menyambut pemimpin daerah dan para pemangku kepentingan. Tujuannya untuk bersilahturahmi dan membina lingkungan masyarakat dengan tetap menjaga kearifan lokal dan tradisi yang perlu dilestarikan. Dengan demikian, tradisi bakar batu dilakukan saat prosesi acara-acara penting di daerah Papua.