Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Potret Runtuhnya Idealisme dalam Pertunjukan 'Di Balik Sinar Suram'
14 November 2021 22:03 WIB
Tulisan dari Risna Chairinisa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebelum menyelam lebih jauh terhadap pertunjukan Di Balik Sinar Suram, berikut adalah para tokoh dalam cerita: Bintang Purwasari (Nirwana Aprianty) sebagai sekretaris produksi film; Bonny Agogo (Mega Hediyanti), Momon Ringgo (Sukarno Hatta), Slamet Jimbon (Sabri Sahafuddin), Eddy Bitel (Jerome Banael Matulessy) sebagai penulis skenario film; Ateng Sujanggo (Yasser Adam) sebagai pimpinan produksi film; dan Fikri Yathir (Farid Arif Senjaya) sebagai tokoh misterius.
ADVERTISEMENT
Sebagian orang sangat membanggakan idealisnya masing-masing. Idealis merupakan senjata pamungkas dalam kehidupan manusia. Semua orang mempunyai idealisme. Ada yang sangat bersikukuh mempertahankannya, ada yang mudah goyah, ada pula yang menggantungkan idealismenya kepada orang lain. Idealisme adalah pengakuan yang kuat untuk dikuasai manusia.
Pada saat tertentu, seseorang akan memikirkan tentang idealisnya. Tentang idealis orang lain. Sehingga mereka mengatakan “Terserah! Bagimu idealismu, bagiku idealisku.” Sebuah ungkapan tentang kuatnya pengaruh idealisme terhadap diri manusia. Sehingga dalam lingkup sosial sering terjadi keganjilan karena sama-sama kuat mempertahankan idealisnya masing-masing. Keganjilan tersebut berupa ketidakseimbangan keputusan, konflik pemikiran dan ketidakpatuhan kesadaran diri sebagai sebagai makhluk sosial. Potret inilah yang tergambar di dalam pertunjukan Di Balik Sinar Suram yang dipentaskan oleh Kala Teater.
ADVERTISEMENT
Teater yang berdomisili di Makasar ini, tak henti-hentinya menciptakan karya-karya yang luar biasa. Salah satunya adalah pertunjukan Di Balik Sinar Suram. Dari judulnya saja sudah sangat menarik, ditambah lagi dengan desain pamflet yang tak kalah juga. Pertunjukan ini memiliki durasi selama 43 menit 38 detik. Namun hal ini tidak akan menjadi alasan untuk merasa bosan, berkat penyuguhan jalan ceritanya. Adapun tiket pertunjukan ini dibandrol dengan harga 25 ribu rupiah, yang dapat dipesan melalui link yang tertera di Instagram milik Kala Teater.
Di Balik Sinar Suram, sebuah karya dari Marx Carverhl yang diadaptasi bebas oleh Fred H. Wetik. Pertunjukan ini menceritakan tentang bagaimana konflik yang terjadi di balik pembuatan film Di Balik Sinar Suram. Cerita ini bermula ketika Bintang Purwasari, seorang sekertaris produksi film yang tengah sibuk memainkan gawainya di dalam suatu ruangan rapat. Kemudian datang seseorang yang tak dikenal dan memintanya agar ia dapat bertemu dengan pimpinan produksi film, yakni Ateng Sujanggo. Sekertaris tersebut tak dapat memastikan apakah ia dapat menemui Ateng Sujanggo atau tidak. Lantaran pimpinan produksi tersebut merupakan orang penting dan tidak memiliki banyak waktu untuk melayani orang yang tak dikenal. Akhirnya orang misterius tersebut pun pergi meninggalkan ruangan.
ADVERTISEMENT
Tak lama berselang, datanglah Momon Ringgo, yang kemudian disusul oleh Slamet Jimbon. Sementara menunggu Ateng Sujanggo yang datang terlambat, mereka habiskan waktu untuk berbicara ringan mengenai film yang akan mereka produksi. Setalah cukup lama mereka menunggu, datanglah Ateng Sujanggo.
Ketika pimpinan produksi akan memulai rapat, datanglah Eddy Bitel dan Bonny Agogo. Setelah dirasa lengkap, mereka pun mulai berdiskusi mengenai bagaimana akhir cerita dari film Di Balik Sinar Suram. Cukup banyak waktu yang mereka makan, namun diskusi berjalan alot. Karena banyaknya pendapat sehingga mereka belum juga dapat menemukan titik terang mengenai akhir cerita tersebut.
Pada dasarnya film Di Balik Sinar Suram memiliki akhir cerita yang sarat dengan makna dan nilai dari kehidupan, meskipun akhir ceritanya penuh dengan kesedihan. Namum, Ateng Sujanggo tidak menginginkan hal tersebut. Baginya akhir cerita yang sedih tidak akan laku di pasaran film. Orang-orang sudah banyak menelan kesedihan dan pahitnya kehidupan, mereka tak ingin melihat lagi kesedihan di dalam film, yang mereka inginkan adalah kebahagiaan. Begitulah sekiranya pendapat dari Ateng Sujanggo. Akhirnya pendapat Ateng Sujanggo pun disetujui, tinggal bagaimana adegan yang pantas untuk penutup cerita tersebut.
ADVERTISEMENT
Sebagian dari mereka tidak mempermasalahkan jika adegan tersebut menyimpang dari jalan cerita, asalkan pundi-pundi rupiah dapat mereka kantongi dengan banyak. Kemudian sebagian lagi dari mereka ingin tetap mempertahankan arti dan tujuan dari cerita. Akhirnya Bintang Purawasari pun memiliki ide untuk mengundang orang luar untuk memberikan pendapatnya pada diskusi mereka. Akhirnya orang misterius tadi yang ingin bertemu dengan Ateng Sujanggo dipanggil untuk mengutarakan pendapatnya.
Alih-alih memberikan solusi, datangnya orang misterius tersebut justru memicu perdebatan. Karena orang misterius tersebut tidak menginginkan jalan cerita lain kecuali jalan cerita yang asli. Keadaan semakin memanas. Akhirnya orang misterius tersebut pun meninggalkan ruangan rapat dengan amarah yang menggebu-gebu. Di sinilah plot twist terjadi, orang misterius yang mereka tidak kenal dan tentunya tidak mereka sukai, merupakan Farid Arif Senjaya, pengarang dari cerita Di Balik Sinar Suram.
ADVERTISEMENT
Salah satu topik menarik yang ingin penulis angkat dari pertunjukan ini adalah mengenai sebuah idealisme. Di dalam cerita ditunjukkan bahwa para tokoh tak lagi memikirkan mengenai nilai moralitas yang mesti disampaikan kepada penonton. Tidak lagi memikirkan mengenai kemurnian teks cerita. Mengubah isi teks kemudian menyesuaikannya dengan selera masyarakat, juga memproduksi film yang laris di perindustrian merupakan hal yang mereka kedepankan.
Hal ini mengingatkan penulis kepada salah satu stasiun televisi yang memiliki slogan Televisi Masa Kini. Beberapa waktu lalu, sontak beredar mengenai isu bahwa stasiun televisi tersebut nyaris mengalami kebangkrutan. Hal itu didasari dari cuitan twitter yang menyebutkan bahwa terjadi PHK secara besar-besaran pada stasiun televisi tersebut. Stasiun televisi ini memang dikenal memiliki idealisme yang tinggi serta konsep program yang edgy. Namun hal inilah justru yang menyebabkan minimnya peminat, karena memiliki konsep yang berseberangan dengan selera kebanyakan masyarakat Indonesia yang menikmati televisi.
ADVERTISEMENT
Kembali pada pembahasan mengenai pertunjukan Di Balik Sinar Suram, di sini kita ditampakkan mengenai nilai idealisme para tokoh yang mulai runtuh ketika harus berhadapan dengan kondisi masyarakat yang tengah terjadi. Pertunjukan ini menyelesaikan cerita dengan akhir yang menggantung. Tidak dituturkan lebih lanjut mengenai keputusan yang akan diambil para tokoh. Hal ini menunjukkan bahwa akhir cerita diserahkan kepada sudut pandang masing-masing penonton. Di sisi lain mencuat pula pertanyaan: Apakah para tokoh akan mengacuhkan prinsip idealismenya yang mulai runtuh? Atau malah sebaliknya? Jawabannya tentu tidak ada pembenaran dan penyalahan dari kedua pilihan tersebut.
Fenomena di atas merupakan salah satu potret kecil yang saat ini terjadi di masyarakat. Pada momen-momen tertentu memang ada kalanya kita perlu mengesampingkan idealisme, selama itu masih dalam batas wajar. Bukan hal aneh, jika idealisme menjadi boomerang bagi diri kita sendiri. Setiap sesuatu memiliki sisi kanan dan kiri, sisi positif dan negatif. Idealisme sendiri dapat dikatakan betul dan dapat pula dikatakan salah. Sesuai dengan bagaimana kondisi dan situasi seseorang tengah berada. Baik idealis ataupun realis perlu disesuaikan dengan porsinya masing-masing. Sekian.
ADVERTISEMENT
Sumber Referensi:
Joko Yulianto, Kaum Minor: Pengakuan, Agama, Sastra, (Pati: Al-Qalam Media Lestari, 2018), hal. 62-63.