Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.0
Konten dari Pengguna
Sampah, No Thanks! Gaya Hidup Sustainable Living yang Kekinian
16 Februari 2025 9:19 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Risnawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di era modern yang serba cepat ini, tren gaya hidup terus berkembang mengikuti perubahan zaman. Salah satu tren yang semakin populer adalah sustainable living atau gaya hidup berkelanjutan. Mulai dari selebriti hingga anak muda di media sosial, banyak yang bangga menunjukkan kebiasaan ramah lingkungan mereka—mulai dari membawa tumbler ke kafe, memakai tote bag, hingga mendaur ulang sampah rumah tangga. Namun, apakah tren ini benar-benar didorong oleh kesadaran lingkungan atau hanya sekadar gaya hidup kekinian yang sedang naik daun?
![Source: Freepik](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01jkz7d3m32tqhmdq7q1x34e0n.png)
Sustainable Living: Antara Kesadaran dan Tren Sosial
ADVERTISEMENT
Gaya hidup berkelanjutan bertujuan untuk mengurangi jejak ekologis dengan meminimalisir limbah, menghemat sumber daya, dan memilih produk yang ramah lingkungan. Konsep ini bukanlah sesuatu yang baru, tetapi semakin populer karena meningkatnya kesadaran akan krisis lingkungan. Data dari UN Environment Programme menunjukkan bahwa produksi sampah plastik global telah meningkat drastis, mencapai 400 juta ton per tahun, dan hanya 9% yang didaur ulang. Fakta ini memicu kekhawatiran besar, mendorong banyak orang untuk mengadopsi gaya hidup yang lebih ramah lingkungan.
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa sustainable living juga telah menjadi bagian dari tren sosial yang kerap dipamerkan di media sosial. Hashtag seperti #ZeroWaste, #SustainableLiving, dan #PlasticFree membanjiri Instagram dan TikTok, menampilkan estetika gaya hidup minimalis dan eco-friendly yang sering kali terlihat eksklusif dan mahal. Lalu, muncul pertanyaan: apakah semua orang yang menerapkan gaya hidup ini benar-benar peduli pada lingkungan, atau sekadar mengikuti tren agar terlihat "kekinian"?
ADVERTISEMENT
Kritik terhadap Konsumerisme dalam Sustainable Living
Ironisnya, beberapa aspek dari gaya hidup berkelanjutan justru mengarah pada konsumsi berlebihan. Munculnya berbagai produk "ramah lingkungan" seperti sedotan stainless, botol minum kaca, dan kemasan bambu sering kali mendorong orang untuk membeli lebih banyak barang—yang sebenarnya bertentangan dengan prinsip utama sustainable living: mengurangi konsumsi.
Sebagai contoh, banyak orang membuang sedotan plastik mereka dan menggantinya dengan sedotan stainless, padahal sedotan plastik yang sudah ada bisa digunakan berulang kali sebelum benar-benar dibuang. Begitu pula dengan tren pakaian berbahan organik dan tas tote bag, yang sering kali dibeli secara berlebihan tanpa mempertimbangkan dampak produksinya terhadap lingkungan. Menurut studi dari Danish Environmental Protection Agency, sebuah tas tote bag katun harus digunakan setidaknya 7.100 kali agar memiliki dampak lingkungan yang lebih rendah dibandingkan kantong plastik sekali pakai. Artinya, membeli tote bag hanya demi mengikuti tren tanpa benar-benar menggunakannya dalam jangka panjang justru menambah masalah baru.
ADVERTISEMENT
Sustainable Living yang Sejati: Mindset, Bukan Gaya Hidup Instan
Untuk benar-benar berkontribusi dalam menjaga lingkungan, gaya hidup berkelanjutan harus dimulai dari perubahan pola pikir, bukan sekadar mengikuti tren. Berikut beberapa prinsip dasar yang bisa diterapkan secara nyata:
1. Gunakan Apa yang Sudah Ada – Sebelum membeli barang "ramah lingkungan" baru, maksimalkan penggunaan barang yang sudah dimiliki. Jika masih bisa digunakan, jangan tergoda membeli yang baru hanya karena terlihat lebih stylish.
2. Kurangi Konsumsi, Bukan Sekadar Mengganti – Sustainable living bukan hanya soal mengganti plastik dengan alternatif yang lebih eco-friendly, tetapi lebih kepada mengurangi konsumsi secara keseluruhan.
3. Daur Ulang dengan Benar – Banyak orang berpikir bahwa mereka telah berkontribusi hanya dengan memilah sampah, tetapi sistem daur ulang di banyak negara masih belum optimal. Pelajari cara mendaur ulang dengan benar dan dukung kebijakan lingkungan yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
4. Edukasi Diri dan Orang Lain – Memahami dampak lingkungan dari setiap tindakan kita lebih penting daripada sekadar mengikuti tren. Mulai dari membaca artikel, mengikuti komunitas lingkungan, hingga mengedukasi orang lain agar lebih sadar terhadap isu ini.
Kesimpulan: Gaya Hidup yang Berarti, Bukan Sekadar Tren
Sustainable living memang tren yang positif, tetapi perlu diimbangi dengan kesadaran yang lebih dalam. Jangan sampai upaya menjaga lingkungan justru berubah menjadi ajang konsumsi baru yang tidak perlu. Alih-alih hanya mengikuti arus tren, mari jadikan gaya hidup ini sebagai komitmen jangka panjang yang benar-benar memberi dampak nyata bagi planet kita.
Jadi, sebelum Kita membeli produk "ramah lingkungan" baru atau mengikuti tantangan zero waste di media sosial, tanyakan pada diri sendiri: Apakah saya benar-benar melakukannya untuk lingkungan, atau hanya untuk terlihat keren?
ADVERTISEMENT