Konten dari Pengguna

Arab Saudi: Aturan Mencekam dan Kebebasan Perempuan

Rista Vauza
Mahasiswa Hubungan Internasional UPN Veteran Jawa Timur
24 Mei 2021 17:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rista Vauza tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Dokumen Penulis
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Dokumen Penulis
ADVERTISEMENT
Arab Saudi merupakan negara yang memiliki sistem hukum berdasarkan syariat islam. Arab Saudi menjadi negara monarki absolut sejak tahun 1992 dengan realita bahwa sistem politik dan keagamaan yang masih bersatu. Masyarakat Arab Saudi masih berhubungan erat dengan adanya dikotomi gender yang memberikan dampak negatif terhadap perempuan maupun laki-laki.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut dikarenakan prinsip dari agama islam yang merupakan agama mayoritas di Arab Saudi dan menjadi patokan dasar hukum Arab Saudi menyebabkan laki-laki diwajibkan untuk menjadi pribadi yang kuat, berwibawa, dan menjadi seorang pemimpin. Sedangkan perempuan diwajibkan menjadi sosok yang cukup berdiam diri di rumah, menjadi ibu rumah tangga, tidak boleh berpergian tanpa mahram, dan bahkan tidak boleh mengemudi. Cara pandang masyarakat Arab Saudi masih sangat patriarkis dengan mengagung-agungkan pria sebagai seseorang yang wajib memimpin dan perempuan hanya terbatas di ranah domestik.
Pernyataan Max Weber (1974) dalam karya tulis Errol Miller “Gender, Power and Politics: An Alternative Perspective”, menyebutkan terkait adanya patriarki yang didasari oleh konstruksi sosial sehingga menjadikan adanya ketidakseimbangan peran antara perempuan dan laki-laki. Terciptanya marjinalisasi laki-laki dan perempuan menjadikan kedua aspek tersebut sebagai dua elemen patriarki. Hal tersebut dapat dijabarkan dengan adanya kewajiban laki-laki sebagai pemimpin dalam perang, laki-laki dipaksa untuk menjadi kuat, berani, dan tidak boleh lemah.
ADVERTISEMENT
Padahal tidak semua laki-laki memiliki kekuatan besar untuk menjadi seorang pemimpin perang dan memenangkan peperangan. Apabila laki-laki sebagai pemimpin dalam perang dan mereka kalah, maka akan timbul reaksi dari masyarakat dengan mengucilkannya karena ia dianggap lemah. Selanjutnya perihal marjinalisasi perempuan, apabila perempuan memiliki keberanian dalam menentang suatu peraturan, maka perempuan tersebut dianggap sebagai pemberontak dan tidak mencerminkan sebagai perempuan syariat islam. Oleh karena itu, muncul gerakan dan studi gender untuk menghilangkan konstruksi masyarakat terkait ketidakadilan di antara laki-laki dan perempuan. Perempuan bisa menjadi sosok maskulin dan begitupun laki-laki bisa menjadi sosok yang feminin.
Larangan Perempuan dalam Berkendara
Kerajaan Arab Saudi mengeluarkan berbagai dekrit kerajaan terkait berbagai permasalahan, tak terkecuali dengan berbagai kebijakan terkait larangan kegiatan perempuan. Lembaga Ulama Senior di Arab Saudi, yakni Hai’ah Kibar al-Ulama mengeluarkan pernyataan terkait larangan bagi perempuan untuk mengemudikan kendaraan yang dikeluarkan pada tahun 1990. Lembaga tersebut melarang perempuan untuk mengemudi karena hal tersebut tidak sesuai dengan ketetapan islam.
ADVERTISEMENT
Mereka menganggap bahwa akan timbul dampak negatif yang tidak mencerminkan wanita islam, yakni bisa menimbulkan zina apabila perempuan tersebut hanya mengemudi dengan laki-laki bukan mahram. Pandangan islam menyebutkan bahwa lebih baik seorang istri dan perempuan untuk tetap tinggal di rumah, menutup aurat, dan tidak memperlihatkan perhiasan yang dipakainya kepada yang bukan muhrim karena dapat menimbulkan dosa (Ramadhan & Shofwan, 2019). Tentunya larangan tersebut menimbulkan berbagai protes dari masyarakat, terutama dari perempuan karena hak mereka dirampas agar patuh terhadap syariat islam. Protes pertama muncul dari kejadian 40 orang perempuan yang berkendara dengan mobil untuk mengelilingi kota Riyadh. Protes tersebut kemudian menyebabkan mereka dipecat dari pekerjaan mereka dan dihentikan oleh polisi sebagai bentuk konsekuensi atas protes yang dilakukan 40 perempuan tersebut.
ADVERTISEMENT
Setelah aksi dan sanksi yang diberikan tersebut, tidak ada lagi aksi protes yang dibuat oleh perempuan-perempuan Arab karena mereka takut apabila dipecat dari pekerjaan mereka. Tetapi, pada tahun 2007, muncul aksi protes dari para aktivis HAM dan pembela hak perempuan dengan mengadakan kampanye dan memberikan petisi yang ditujukan ke Raja Abdullah untuk mencabut larangan tersebut. Aksi kampanye diawali dengan penyebaran video oleh salah satu aktivis, Wajeha al-Huwaider melaui kampanye women2drive dengan mengendarai mobil saat perayaan Hari Perempuan Internasional. Selanjutnya, muncul aksi yang sama yakni mengunggah video beberapa perempuan saat mengendarai mobil dan diunggah di platform Youtube di tahun 2011 (Mujihastuti, 2019). Aksi-aksi tersebut kemudian menimbulkan respons dari dunia internasional yang juga meminta Arab Saudi untuk segera mencabut larangan tersebut.
ADVERTISEMENT
Pemerintah Arab Saudi memberikan respons represif sebagai bentuk sanksi atau hukuman terhadap perempuan yang melanggar kebijakan pemerintah dengan memberikan perjanjian berupa larangan terhadap perempuan-perempuan yang melakukan aksi untuk tidak mengemudi kembali, selain itu hukuman bagi perempuan yang melanggar yakni berupa hukuman cambuk dan penahanan.
Larangan Perempuan dalam Berpergian Tanpa Mahram
Permasalahan diskriminasi antara perempuan dan laki-laki di Arab Saudi tidak berhenti dalam persoalan mengendarai kendaraan saja. Pemerintah Arab Saudi juga melarang perempuan untuk pergi ke luar negeri dan memiliki paspor sendiri tanpa izin mahramnya. Sejak tahun 1932 hingga pertengahan tahun 2019, monarki Arab masih memberlakukan larangan bagi perempuan untuk berpergian tanpa ditemani mahramnya.
Peraturan tersebut menghambat kegiatan perempuan dan membatasi hak perempuan untuk berpergian. Selain itu, peraturan tersebut menghambat akses pendidikan terhadap perempuan yang ingin melanjutkan pendidikannya ke luar negeri. Perempuan-perempuan Arab wajib untuk ditemani oleh ayah, saudara laki-laki kandung, paman, atau kakeknya apabila ingin berpergian. Interpretasi berbagai nilai yang terkandung dalam ajaran Islam dijadikan tolak ukur dalam sistem hukum di Arab. Hal tersebut menyebabkan terbatasnya ruang gerak perempuan di ruang publik dalam berbagai aspek kehidupan. Perempuan dipaksa untuk taat terhadap hukum yang mengikat.
ADVERTISEMENT
Sesuai dengan Dekrit Kerajaan Arab Saudi M/24 2000, pemerintah Arab memerintahkan bahwa pembuatan paspor hanya diberlakukan kepada laki-laki saja. Pembuatan paspor bagi perempuan memerlukan buklet keluarga ayah atau suami dan membutuhkan persetujuan tertulis dari suami atau wali yang sah, dengan dilengkapi dengan bukti surat nikah atau kartu keluarga (Bank, 2019).
Perempuan yang belum menikah wajib mencantumkan nama dan nomor KTP laki-laki mahram mereka di formulir pendaftaran paspor dan dilengkapi dengan tanda tangan wali sebagai bukti bahwa perempuan tersebut diizinkan untuk memiliki paspor.
Hal tersebut tentunya merupakan ketidakadilan atas perempuan karena tidak memiliki akses yang sama dalam kepemilikan paspor. Tentunya kebijakan tersebut mendapatkan kecaman dari masyarakat Arab Saudi dan dunia internasional karena kebebasan hak perempuan Arab dirampas. Hukuman bagi masyarakat yang melanggar ialah dengan memasukkan perempuan tersebut ke dalam daftar hitam dan melarang perjalanan mereka (Bank, 2019).
ADVERTISEMENT
Tekanan Regional dan Internasional
Dua kebijakan yang merugikan perempuan Arab terkait larangan untuk mengemudi dan memiliki paspor tanpa izin mahram menyebabkan kecaman dari dalam negeri maupun dunia internasional. Masyarakat Arab Saudi menuntut agar pemerintah segera mengubah kebijakan tersebut dan menciptakan keadilan bagi perempuan. Masyarakat internasional yang dibantu dengan The UN Committee on the Elimination of Discrimination against Women (CEDAW) berharap Arab Saudi untuk menghapus kebijakan yang mendiskriminasi perempuan tersebut.
Pada tahun 2019, Australia dalam pertemuan PBB di Jenewa menyampaikan keprihatinan atas adanya penganiayaan dan intimidasi di Arab Saudi (Equality Now, n.d). Tekanan masyarakat regional dan internasional membuahkan hasil yakni dengan keluarnya Dekrit Kerajaan Arab Saudi M/134 2019 terkait perizinan perempuan Arab Saudi untuk memiliki paspor dan berpergian ke luar negeri tanpa mahramnya dan dengan keluarnya dekrit kerajaan No. M/85 tahun 2017 terkait aturan lalu lintas, bahwa pemerintah memberikan izin kepada perempuan untuk mengemudi.
ADVERTISEMENT
Penghapusan dua kebijakan yang merugikan perempuan Arab Saudi tersebut memberikan respons positif dari berbagai pihak, khususnya perempuan Arab Saudi yang akhirnya mendapatkan kebebasan. Penghapusan kebijakan yang merugikan tersebut tidak lepas dari peran aktor yang memiliki power kuat dalam pemerintahan. Hal ini dibuktikan dengan adanya peran Pangeran Mohammed bin Salman yang ditetapkan sebagai Putera Mahkota Arab.
Menurut KSA (Kingdom of Saudi Arabia) 2016, Salman memiliki rencana yang direspons baik oleh masyarakat untuk meningkatkan perekonomian negara dengan menurunkan pengangguran dan yang terpenting ialah menambah jumlah partisipan perempuan dalam ketenagakerjaan. Perempuan Arab Saudi merasa rencana tersebut sangat membantu mereka untuk meningkatkan taraf hidup bagi perempuan, terlebih lagi sangat membantu para single-mom dalam memenuhi kebutuhannya. Perempuan akan lebih mudah untuk berkarier dan mengakses pendidikan baik di dalam maupun di luar negeri.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Dinamika politik dan agama Arab Saudi tentunya tidak lepas dari peran masyarakat dan penguasa Arab. Hukum Islam dapat menjadi patokan pemerintah Arab dalam mengambil dan mengubah sebuah keputusan. Tak terkecuali tentang kebijakan Arab Saudi terkait penghapusan larangan berpergian bagi perempuan tanpa mahramnya dan larangan perempuan untuk mengendarai kendaraan. Masyarakat berperan penting dalam perubahan kebijakan tersebut, karena apabila masyarakat tidak memiliki perhatian lebih terhadap ketidaksetaraan yang ada, maka pembuat kebijakan pun tidak akan mengubah suatu kebijakan pemerintah. Selain itu, diperlukan juga bantuan dari dunia internasional dan aktor penting dalam pemerintah untuk segera mendengarkan aspirasi rakyat. Meskipun demikian, sudah seharusnya Arab Saudi untuk memisahkan kepentingan politik dengan agama. Karena dalam dunia yang modern, ada berbagai hak asasi manusia yang harus lebih diperhatikan. Diskriminasi gender yang masih ada di Arab Saudi juga perlu untuk dibenahi agar menciptakan dunia yang aman dan adil bagi seluruh umat manusia.
ADVERTISEMENT
Referensi
Bank, I. B. (2019). Achieving Universal Access to ID: Gender-based Legal Barriers Against Womenand Good Practice Reforms. Dipetik Mei 24, 2021, dari http://documents1.worldbank.org/curated/en/606011569301719515/pdf/Achieving-Universal-Access-to-ID-Gender-based-Legal-Barriers-Against-Women-and-Good-Practice-Reforms.pdf
Equality Now. (n.d). Ending Male Guardianship in Saudi Arabia. Dipetik Mei 23, 2021, dari https://www.equalitynow.org/ending_male_guardianship_in_saudi_arabia
Kingdom of Saudi Arabia. (2016). Message From HRH Prince Mohammed bin Salman bin Abdulaziz Al-Saud. Dipetik April 12, 2021, dari https://www.vision2030.gov.sa/en/vision/crown-message
Mansyuroh, F. A. (2020). Perempuan Berpergian Tanpa Mahram (Studi Kasus Dekrit Kerajaan Arab Saudi Nomor M/134 Tahun 2019). Kafa'ah Journal, 10(1). Dipetik April 12, 2021, dari http://kafaah.org/index.php/kafaah/index
Miller, E. (2001). Gender, Power and Politics: An Alternative Perspective. Dalam I. Skjelsbæk, & D. Smith (Penyunt.), Gender, Peace and Conflict (hal. 80-103). SAGE Publications Ltd. doi:http://dx.doi.org/10.4135/9781446220290
ADVERTISEMENT
Mujihastuti, N. A. (2019). Analisis Perubahan Kebijakan Arab Saudi Tentang Peran Perempuan di Ranah Publik: Studi Kasus Royal Decree No. M/95 Tahun 2017. Dipetik April 12, 2021, dari http://repository.unair.ac.id/id/eprint/87518
Ramadhan, R. B., & Shofwan, I. (2019, Januari 1). Keputusan Hukum Izin Mengemudibagi Perempuan Saudi Arabia Ditinjaudalam Perspektif Maqashid As-syari’ah. Islamic World and Politics, 3(1). Dipetik April 12, 2021, dari https://journal.umy.ac.id/index.php/jiwp/article/download/4917/pdf_11
Sadek, G. (2019). Saudi Arabia: Law on Passports Amended to Allow Women to Travel Abroad Without a Male Guardian. Library of Congress Law. Dipetik April 12, 2021, dari https://www.loc.gov/law/foreign-news/article/saudi-arabia-law-on-passports-amended-to-allow-women-to-travel-abroad-without-a-male-guardian/